Pertumbuhan Ekonomi DKI Triwulan III-2020 Minus 3,82 Persen
Pandemi Covid-19 berdampak pada pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta. Meski tidak sedalam triwulan II 2020, pertumbuhan di triwulan III 2020 masih minus 3,82 persen. Perputaran ekonomi didorong oleh kebijakan PSBB transisi.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 semakin berdampak pada pertumbuhan perekonomian DKI Jakarta. Jika pada triwulan II-2020 pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta minus 8,32 persen, pada triwulan III-2020 pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta membaik meski masih minus, yaitu minus 3,82 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta Buyung Airlangga dalam paparan secara daring terkait PDRB dan pertumbuhan ekonomi, Kamis (5/11/2020), menjelaskan, pada triwulan III-2020, perekonomian Jakarta masih berada di bawah normal. Namun, dengan adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi yang dimulai awal Juni 2020, pelan-pelan roda perekonomian Ibu Kota kembali berputar.
Hampir semua lapangan usaha tumbuh positif, di antaranya akomodasi dan penyediaan makan minum, transportasi dan pergudangan, serta jasa kesehatan. (Buyung Airlangga)
Saat pemberlakuan PSBB transisi, kegiatan ekonomi di sejumlah sektor mulai dibuka meski tetap dengan memperhatikan protokol kesehatan. Kunjungan wisatawan asing mulai bertambah di triwulan III, yaitu pada Juli-Agustus-September 2020.
Pada 1 November 2020, BPS DKI Jakarta merilis angka kunjungan wisatawan asing ke DKI Jakarta sebanyak 7.528 orang pada September 2020, sementara pada Agustus tahun ini turis mancanegara yang masuk Jakarta sebanyak 4.478 orang. Namun, jika dibandingkan, angka kunjungan September 2020 turun 96,45 persen dari September 2019.
Buyung mengatakan, jika dibandingkan dengan triwulan II-2020, pada triwulan III-2020 terlihat ada pertumbuhan ekonomi 8,38 persen. Hampir semua lapangan usaha tumbuh positif, di antaranya akomodasi dan penyediaan makan minum, transportasi dan pergudangan, serta jasa kesehatan.
Namun, jika pertumbuhan triwulan III-2020 dibandingkan dengan triwulan III-2019 (yoy), pertumbuhan ekonomi Jakarta minus 3,82 persen. Sementara, jika pertumbuhan ekonomi Januari-September 2020 dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Januari-September 2019, pertumbuhan ekonomi masih minus 2,38 persen.
Tekanan perekonomian selama dua triwulan ini, lanjut Buyung, berimplikasi terhadap daya beli masyarakat. Permintaan domestik, seperti konsumsi rumah tangga dan investasi, masih rendah dan belum menunjukkan perbaikan. Kedua agregat permintaan itu terkontraksi sehingga mempersulit upaya perbaikan ekonomi.
Untuk menyeimbangkan tekanan tersebut, konsumsi pemerintah, terutama terkait dengan belanja untuk menangani Covid-19, meningkat secara signifikan. Meski emikian, upaya tersebut belum bisa mengembalikan kekuatan domestic expenditures sebagai motor pertumbuhan. Melihat pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta yang minus selama dua triwulan berturut-turut, memang belum cukup membawa Jakarta keluar dari angka negatif.
Harum Setiawati, Direktur Kantor Perwakilan BI Provinsi DKI Jakarta menjelaskan, kontraksi pertumbuhan ekonomi pada triwulan III memang tidak sedalam kontraksi yang terjadi pada triwulan II-2020. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada triwulan III-2020 terkontraksi dalam jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan III- 2020 yang sebesar 3,49 persen.
Faktor-faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi DKI minus, dilihat dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan terendah pada triwulan III-2020 terjadi pada sektor penyedia akomodasi dan makan minum yang tumbuh minus 18,52 persen dibandingkan dengan triwulan yang sama 2019. Itu terjadi seiring dengan masih terdapat pembatasan aktivitas di Jakarta.
Pertumbuhan di industri pengolahan minus 12,0 persen (yoy), seiring dengan penurunan industri alat angkutan. Sementara pengadaan listrik dan gas yang minus 10,60 persen sering kontraksi dalam perekonomian.
Pertumbuhan lapangan usaha utama DKI Jakarta juga mengalami pertumbuhan minus. Lapangan usaha utama tersebut, yaitu sektor perdagangan besar dan eceran yang minus 9,91 persen (yoy), salah satunya bersumber dari penurunan perdagangan mobil, sepeda motor, dan reparasinya. Sektor konstruksi minus 6,37 persen (yoy), seiring masih tertahannya proyek pemerintah dan perilaku wait and see dari investasi swasta. Demikian juga sektor jasa keuangan yang minus 4,52 persen (yoy).
Sektor yang memberi andil pada pertumbuhan terbesar di triwulan III-2020 dilihat dari sisi lapangan usaha adalah sektor perdagangan (minus 1,60 persen), sektor industri pengolahan (minus 1,42 persen), serta sektor penyediaan akomodasi dan makan minum (minus 0,92 persen).
Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan pada triwulan III-2020 rata-rata minus. Dari sektor konsumsi rumah tangga minus 5,28 persen jika dibandingkan triwulan III 2019 (yoy), seiring dengan perilaku menahan konsumsi yang tecermin dari meningkatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Sektor ekspor yang tumbuh minus 20,75 persen (yoy), di antaranya terjadi pada ekspor kendaraan dan bagiannya, lemak dan minyak hewan/nabati, ikan dan udang.
Sektor pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang merupakan pengeluaran untuk barang modal yang mempunyai umur pemakaian lebih dari satu tahun dan tidak merupakan barang konsumsi, bertumbuh minus 8,92 persen (yoy), terutama pada investasi bangunan seiring kontraksi pada LU konstruksi. Sementara konsumsi pemerintah bertumbuh 57,89 persen, terutama dari bansos.
Ketiga sektor itu memberi andil pertumbuhan terbesar triwulan III-2020 dari sisi pengeluaran. Untuk sektor konsumsi pemerintah memberi andil 5,34 persen, sektor PMTB minus 3,64 persen, dan sektor konsumsi rumah tangga minus 3,03 persen.