Secara umum Komis D setuju dengan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari negara untuk Pemprov DKI Jakarta. Sebaiknya pengerjaannya jangan ditunda lagi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DPRD DKI Jakarta menyetujui pembebasan 630 lahan untuk penanganan banjir. Akan tetapi, mereka mendorong agar sinergi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang berada di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat segera diperjelas dan dieksekusi.
Demikian diungkapkan oleh anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian Untayana, ketika dihubungi di Jakarta seusai rapat paripurna, Senin (2/11/2020). Komisi D bertugas membahas isu pembangunan di Ibu Kota, termasuk penanganan bantaran sungai dan waduk guna mencegah terjadinya banjir di musim hujan dan luapan air rob di pesisir.
”Secara umum Komisi D setuju dengan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) dari negara untuk Pemprov DKI Jakarta. Sebaiknya pengerjaannya jangan ditunda lagi,” kata legislator dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia ini.
DPRD DKI Jakarta mencatat rincian dana itu ialah Rp 552 miliar untuk pengadaan lahan saluran air dan Rp 229,2 miliar untuk lahan pengadaan waduk. Dana itu dikelola oleh Dinas Sumber Daya Air Jakarta. Di dalamnya termasuk rencana pembebasan 630 lahan yang berada di sekitar lima waduk dan dua sungai. Sebelumnya, pada tahun 2019 juga sudah ada pembebasan lahan saluran air sepanjang 8,2 kilometer yang tersebar di tiga lokasi.
Justin menjabarkan, aspek yang belum dipahami oleh DPRD DKI Jakarta adalah Kementerian PUPR sudah mengalokasikan dana untuk pembenahan aliran sungai di ketiga lokasi tersebut pada tahun 2021. Pemprov DKI Jakarta bertindak sebagai penyedia lahan, tetapi Kementerian PUPR melalui BBWSCC bertindak sebagai eksekutor pembangunan.
”Hendaknya komunikasi antara provinsi dan pusat digencarkan kembali. Sudah sejak tahun 2018 tidak ada pembenahan daerah bantaran sungai,” tutur Justin.
Menurut dia, adanya dana PEN memungkinkan Pemprov DKI Jakarta memberi warga yang hendak dipindahkan dari lokasi tinggal saat ini ganti rugi yang layak. Pembebasan lahan bisa dimoderasi sehingga dilakukan dengan cara yang manusiawi dan menghindari konflik di akar rumput.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji untuk menggunakan kantor jasa penilai publik (KJPP) yang independen untuk datang ke lokasi-lokasi yang hendak dibebaskan. Para petugas KJPP ini akan menghitung harga tanah setiap meter persegi yang sesuai untuk harga ganti rugi. Faktor yang dipertimbangkan, di antaranya lokasi persis lahan, luas, besar bangunan, besar tanah garapan beserta tanaman yang ada, dan status sertifikat hak milik atau sebatas hak guna.
Pakar tata kota dari Center for Metropolitan Studies atau pusat kajian kota dan real estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, menjelaskan, sejatinya pembebasan lahan adalah langkah jangka pendek dalam strategi pembaruan serta peningkatan mutu kota. Pemprov DKI Jakarta harus memikirkan rencana jangka panjang yang mungkin tidak bisa dilaksanakan segera, tetapi sudah harus dibuat skemanya dengan DPRD sebagai pengawas.
Rencana ini ialah konsolidasi lahan yang artinya pencegahan banjir tidak hanya ditanggung oleh warga yang akan dipindahkan dari bantaran sungai, tetapi juga oleh warga pada wilayah itu secara keseluruhan. Jika ada pembebasan lahan untuk naturalisasi dan normalisasi sungai, orang-orang yang berada di permukiman legal sebelah sungai mendapat untung. Alasannya adalah selain sungai dirapikan dan tidak banjir, mereka juga mendapat jalan inspeksi kali. Otomatis harga tanah di pasar juga naik.
Konsep konsolidasi ini mengacu terutama kepada permukiman padat di sekitar sungai. Walaupun tidak persis di bantaran, permukiman ini juga direlokasi sementara dan daerah itu dibenahi. Bisa berupa konsolidasi lahan vertikal dengan membangun rumah susun yang kemudian dihuni kembali oleh warga wilayah itu. Rumah susun atau perkampungan vertikal ini memungkinkan ruang terbuka hijau di sekitar menjadi lebih luas.
”Sungai jangan dilihat sebatas untuk pencegahan banjir. Sungai adalah bagian dari peremajaan kota dan peningkatan mutu kehidupan. Sungai bisa menjadi sarana transportasi, drainase, sumber air olahan, dan di sepanjangnya bisa dikelola sebagai hunian terjangkau yang legal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tentu saja konsep hunian ini tidak bisa lagi berupa rumah petak dan bedeng-bedeng. Harus yang humanis, sehat, dan rapi,” kata Suryono.