Meski kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi untuk melakukan tes Covid-19, upaya pemerintah melakukan tes masif menghadapi tantangan dari sebagian masyarakat yang menolak melakukan tes.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI (LITBANG KOMPAS)
·4 menit baca
Pandemi telah berjalan delapan bulan, dengan angka kasus yang cenderung naik dan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Belum semua masyarakat menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin. Namun, perlahan mulai ada kesadaran masyarakat untuk melakukan tes deteksi virus, baik secara mandiri maupun gratis.
Sikap tersebut terungkap dalam jajak pendapat Kompas, pertengahan Oktober lalu. Hampir tiga perempat responden bersedia untuk melakukan tes cepat ataupun tes usap secara gratis.
Dari kelompok responden tersebut, separuhnya bersedia menjalani tes karena membutuhkan keyakinan bahwa kondisinya sehat dan bebas virus. Hal ini terutama bagi masyarakat yang sering bepergian menggunakan moda transportasi yang mensyaratkan adanya surat hasil tes cepat (rapid) yang nonreaktif.
Selain itu, 38 persen responden memang bersedia ikut tes sukarela tanpa syarat. Sebanyak 11,2 persen mau ikut tes karena diwajibkan. Hal ini menunjukkan, angka kesadaran cukup tinggi terbentuk karena masyarakat sudah mengerti bahwa virus ini bisa menyerang siapa saja, baik dengan gejala maupun tanpa gejala.
Meski kesadaran cukup tinggi, baru sekitar 40 persen yang mengaku pernah mengikuti tes deteksi Covid-19. Sebanyak 37 persen menyatakan pernah menjalani tes cepat, sementara untuk tes usap sudah dilakukan oleh 7,3 persen responden.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk terus melakukan tes masif Covid-19 di masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk menjalani tes cukup tinggi, tetapi yang benar-benar melakukannya kurang dari separuh. Bisa jadi karena terhambat biaya untuk melakukan tes yang harganya relatif mahal, yakni Rp 150.000 untuk tes cepat dan Rp 900.000 untuk tes usap.
Tes masif tersebut terlihat dari angka pemeriksaan spesimen. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sampai 22 Oktober, pemeriksaan spesimen rata-rata 270.000 spesimen per minggu. Dengan kata lain berada pada posisi 82,51 persen dari yang ditargetkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Capaian pemerintah tersebut juga didukung oleh pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengujian terhadap banyak orang. Mayoritas responden (68 persen) sudah mengetahui perbedaan antara tes usap dengan metode polimerase berantai (PCR) dan tes cepat. Mereka juga sudah memahami jika tes PCR lebih akurat dibandingkan dengan tes cepat yang hanya menggunakan indikator tetesan darah di jari ataupun lengan.
Penolakan
Di sisi lain, masih ada sekitar seperempat responden yang tidak bersedia mengikuti tes. Sikap masyarakat ini perlu digarisbawahi karena berpotensi meningkatkan kasus penyebaran virus.
Berbagai alasan dikemukakan responden yang menolak tes masif ini. Dua dari lima responden mengaku merasa sehat sehingga tidak perlu dites. Alasan mayoritas responden ini mengkhawatirkan karena bisa berpotensi menjadi orang tanpa gejala (OTG) karena pernah kontak dengan orang yang terinfeksi virus korona.
OTG ini berbahaya karena tidak memiliki gejala dan tidak merasakan sakit sehingga membuat orang tidak sadar bahwa dirinya sudah terinfeksi virus korona. Mereka masih bebas keluar rumah, beraktivitas, naik transportasi umum, bahkan berkumpul di kerumunan. Para OTG ini dengan mudah dapat menularkannya kepada orang lain, apalagi jika tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Kasus OTG ini tergolong tinggi seperti disebutkan dalam laman Kompas.com (13/9/2020). Sebanyak 55,2 persen kasus terkonfirmasi Covid-19 di Jakarta adalah kasus dengan penularan tanpa gejala.
Penolakan pemeriksaan Covid-19 sedikit banyak juga dipengaruhi oleh faktor psikologis. Sebanyak 17,4 persen responden tidak mau mengikuti tes karena takut jika hasilnya reaktif akan dikarantina bahkan dikucilkan warga lainnya. Mereka juga khawatir jika harus terpisah dengan keluarga dan tidak bisa bekerja.
Ketakutan menjalani pemeriksaan, seperti pengambilan sampel darah untuk tes cepat atau pengambilan sampel lendir dari bagian dalam hidung atau tenggorokan pada tes usap juga memengaruhi keputusan seseorang bersedia mengikuti tes atau tidak. Ketakutan ini diakui 13,4 persen responden. Selain itu 8 persen responden masih meragukan kebersihan atau ketidaksterilan alat tes.
Kesediaan masyarakat untuk menjalani pemeriksaan tes Covid-19 bisa menjadi modal pemerintah untuk gencar melakukan tes masif di masyarakat. Di sisi lain, penolakan sebagian masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk gencar melakukan sosialisasi informasi mengenai gejala dan proses pemeriksaan tes Covid-19.