Saat protokol yang merupakan perisai masyarakat terhadap penularan virus korona masih prematur dan belum menjadi kebiasaan, masyarakat sudah telanjur santai karena jargon pelonggaran.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Kejenuhan berdiam di rumah dan berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah memunculkan sikap apatisme masyarakat. Libur panjang ini menjadi bukti bahwa hiburan lebih penting daripada protokol kesehatan. Apalagi, adanya pengadaan tes cepat di beberapa lokasi wisata menciptakan keamanan semu bahwa wisatawan terlindungi dari bahaya virus korona jenis baru.
”Informasi mengenai pandemi Covid-19 hingga kini tetap tidak sepenuhnya dipahami masyarakat sehingga kesadaran menerapkan protokol kesehatan rendah meskipun di berbagai titik ada tindakan pendisiplinan oleh aparat penegak hukum,” kata Ketua Laboratorium Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Syafrudin ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (31/10/2020).
Ia menjelaskan, ketika pandemi baru terjadi di Indonesia pada Maret 2020, masyarakat khawatir dengan Covid-19 sehingga banyak yang menghindar melakukan pengetesan karena takut ketahuan positif lalu mendapat stigma dari sekitar. Sekarang rasa takut itu mencair akibat berbagai kebijakan pemerintah yang melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Permasalahannya, ketika pelonggaran tersebut dilakukan, tingkat pemahaman dan penerapan protokol kesehatan memakai masker dengan tepat, menjaga jarak fisik, serta mencuci tangan dengan air dan sabun oleh masyarakat masih rendah. Dampaknya ialah saat protokol yang merupakan perisai masyarakat terhadap penularan virus ini masih prematur dan belum menjadi kebiasaan, masyarakat sudah telanjur santai karena jargon pelonggaran.
”Pengawasan oleh pemerintah juga terbatas karena ada kekurangan sumber daya manusia. Baru lembaga-lembaga atau perusahaan tertentu yang memang tertib melaksanakan protokol kesehatan bagi semua pengunjung,” kata Syafrudin.
Apalagi, kejenuhan akibat pelambatan ekonomi dan pembatasan gerak membuat liburan menjadi hal yang dinanti-nantikan untuk melepas stres. Keputusan pemerintah daerah seperti Jawa Barat melakukan tes cepat di sejumlah tempat wisata yang sering menjadi tujuan warga Jakarta dan Banten dianggap memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi para wisatawan. Padahal, lanjut Syaifudin, hal itu justru menunjukkan bahwa bahaya Covid-19 sangat ada di sekitar kita.
Di Puncak, Jawa Barat, misalnya, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor melakukan tes cepat kepada pengunjung. Dari 1.000 orang yang dites, ada 50 terkonfirmasi reaktif. Nama, alamat, dan nomor kartu tanda penduduk mereka dicatat oleh Dinkes Kabupaten Bogor yang kemudian mengontak dinas kesehatan kabupaten/kota asal individu tersebut agar melakukan tindak lanjut dan pelacakan. (Kompas, 30/10/2020)
Dinkes Kabupaten Bogor hanya menyuruh orang-orang yang reaktif itu balik arah meninggalkan Puncak. Akan tetapi, tidak ada pemastian bahwa mereka benar-benar pulang ke rumah masing-masing dan tidak singgah ke tempat lain dulu. Tidak ada kepastian juga Dinkes Kabupaten Bogor langsung mengontak dinkes kabupaten/kota lain pada saat itu juga atau menunggu beberapa jam kemudian serta tidak diketahui apakah dinkes yang dikontak langsung bergerak melakukan pelacakan.
Ketika dikontak beberapa waktu lalu, Ketua Perkumpulan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany mengkritik keputusan pemerintah pusat menetapkan tanggal 28 Oktober hingga 1 November sebagai cuti bersama. Menurut dia, langkah ini seperti sengaja bermain dengan api di tengah angka penularan Covid-19 yang terus naik secara wilayah agregat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
”Kesempatan bekerja dari rumah merupakan solusi terbaik, ditambah jika bisa pengaturan jadwal kerja yang lebih fleksibel sehingga warga yang memang harus pergi bertamasya tidak menumpuk pada hari-hari yang sama,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Komunikasi Perusahaan dan Pengembangan Masyarakat PT Jasa Marga Dwimawan Heru, melalui rilis yang diterima Kompas mengungkapkan, hingga hari Sabtu sebanyak 655.000 kendaraan meninggalkan Jakarta. Jumlah ini 28,3 persen di atas hari-hari biasa sejak ada PSBB transisi. Setengah dari jumlah kendaraan ini menuju arah timur melalui Tol Cikampek dan Kalihurip. Sisanya menuju barat dan selatan.
Dwimawan mengatakan, puncak laju kendaraan ialah pada hari Rabu tanggal 28 Oktober. Jumlah kendaraan yang meninggalkan Jakarta pada saat itu sebanyak 192.754. Sebagai tambahan, Faiza Riani dari bagian humas Jasa Marga menuturkan, arus balik menuju Jakarta belum terlihat karena jadwal pemantauan hari Sabtu akan berakhir pada Minggu pukul 06.00. Baru pukul 10.00 akan terlihat pola perubahan arus lalu lintas.