Awal Kemenangan Pengguna Transportasi Publik Jakarta
Bagaimana pendapat warga mengenai diakuinya pengembangan transportasi publik dan mobilitas di Ibu Kota Negara, Jakarta?
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian orang terkejut, heran, dan bertanya-tanya. Sementara sebagian yang lain mengapresiasi pencapaian Jakarta dalam meraih predikat kota terbaik di acara penganugerahan Sustainable Transport Award 2021. ”Terima kasih warga Jakarta! Mari terus berkolaborasi dalam mewujudkan transportasi yang terjangkau, adil, serta berkelanjutan di Jakarta!”
Demikian ucapan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui konten media sosial Instagram @dkijakarta. Ucapan selamat itu mengiringi pengumuman tersebut.
Pada ajang Sustainable Transport Award (STA) 2019, Jakarta pernah mendapat juara dua atau mendapat gelar ”Honorable Mention”. Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, Jakarta pun semakin ambisius memperluas jalur dan menambah fasilitas sepeda, merevitalisasi halte dan trotoar, menata fasilitas pejalan kaki di kampung-kampung, serta mengintegrasikan berbagai moda transportasi publik.
Ajang penganugerahan perbaikan mobilitas kota dan inovasi sistem transportasi itu pun membuat Jakarta menjadi kota pertama di Asia Tenggara yang memenangi penghargaan STA 2021, mengalahkan kota-kota besar lain di dunia, antara lain San Francisco, Frankfurt, dan Auckland.
Baca juga : Integrasi Antarmoda Dorong Penggunaan Angkutan Umum
Sebagai perbandingan, tahun 2020, STA menobatkan kota berpenduduk 3,5 juta orang, Pune, di India, sebagai jawara karena komitmennya dalam mengembangkan moda transportasi berbasis transit berkelanjutan dan diikuti dengan pertumbuhan cepat pada infrastruktur pejalan kaki.
”Ini adalah pengingat bahwa kami harus terus berupaya meningkatkan layanan transportasi yang sudah ada sehingga kenyamanan warga dalam bertransportasi terjamin,” ujar Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan melalui siaran pers resmi, Sabtu (31/10/2020).
Pencapaian ini nyatanya telah dirayakan masyarakat Jakarta. Ina Fajrina (25), warga muda yang lahir dan besar di Jakarta, merasakan perkembangan transportasi yang pesat di Jakarta, setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Perkembangan pesat ia rasakan dalam pembangunan jaringan bus Transjakarta, yang kini telah menjangkau daerah tempatnya tinggal di Kramatjati, Jakarta Timur. Sebelumnya, daerah yang cukup padat penduduk itu lebih banyak dilalui angkot dan bus kota, seperti Kopaja, yang kebanyakan tidak layak beroperasi.
Baca juga : Jakarta Kota Terbaik Versi Sustainable Transport Award 2021
”Perkembangan transportasi sudah mulai baik. Kalau bisa, diperbanyak cabangnya biar semua kalangan bisa merasakan dan punya akses untuk bepergian ke mana saja dengan naik transportasi umum secara fleksibel,” ujar Ina kepada Kompas, Minggu (1/11/2020).
Gadis yang kini bekerja di Sydney, Australia, itu pun berharap transportasi publik di Jakarta meniru kemajuan di kota negara lain. Ia mencontohkan, di Sydney, peraturan di transportasi publik sangat bagus, seperti adanya jadwal yang tepat waktu hingga kehadiran bus pengganti ketika transportasi seperti kereta sementara tidak bisa beroperasi.
Ketatnya aturan, seperti antre hingga pelarangan perusakan fasilitas umum, menurut dia, juga membuat warga Sydney patuh menjaga fasilitas transportasi dan mobilitas. Dengan demikian, masyarakat yang terbiasa naik transportasi publik pun akan semakin senang bertransportasi.
Warga Tangerang Selatan, seperti Angga Permana (30), juga mengakui keberhasilan Jakarta dalam membangun sistem transportasinya. Ia yang telah bekerja di Jakarta selama hampir 10 tahun bersyukur dengan peningkatan kualitas sistem transportasi publik, khususnya kereta listrik, yang mendukung mobilitasnya.
”Saya pernah ngalamin masa ’kegelapan’ naik KRL sekitar tahun 2010-2012. Naik kereta ekonomi sudah seperti neraka yang saya maklumi, panas, banyak copet, sistem pembayaran dengan karcis kertas juga rawan dipermainkan penumpangnya,” tuturnya.
Selain perbaikan di KRL, kehadiran transportasi umum lainnya seperti moda raya terpadu (MRT) juga membuatnya bangga. Moda transportasi yang sebelumnya hanya ia temui di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, itu ternyata bisa hadir di Indonesia. Bahkan ia menantikan rencana pemerintah untuk menghadirkan MRT di Tangerang Selatan.
Berdasarkan informasi terakhir, rencana itu masih menunggu keputusan Pemerintah Provinsi Banten. Hal ini karena proyek tersebut akan melibatkan Pemprov DKI dan Banten.
Warga Batam, seperti Ridwan (28), yang kini tengah bertamu ke Jakarta, menyoroti kemajuan pembangunan jalan sepeda. Menurut dia, Pemerintah Daerah Jakarta beruntung telah memperpanjang jalur sepeda sebelum tren bersepeda booming di tengah pandemi.
”Setahun lalu ketika ke sini, saya juga ikut bingung kenapa jalan kendaraan dipersempit untuk menambah jalur sepeda. Ternyata ada hikmahnya ketika pandemi. Saya yang juga gemar bersepeda pun beruntung bisa menjajal jalur sepeda di Jakarta,” tutur Ridwan saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat.
Di sisi lain, ia masih mengkhawatirkan keamanan bersepeda di Jakarta, di tengah maraknya begal sepeda. Selain itu, juga ketidakpatuhan pesepeda atau pengguna transportasi lain yang meningkatkan risiko kecelakaan. Meski demikian, Ridwan menilai, pembangunan sistem transportasi dan mobilitas di Jakarta harus bisa ditiru kota-kota lain di Indonesia.
Komitmen
Pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, berpendapat, agar kesuksesan Jakarta membangun dan mengembangkan dapat terjadi di daerah lain, perlu komitmen bersama, khususnya dari pemerintah pusat dan daerah. ”Agak susah kalau tidak dibantu (pemerintah) pusat,” ujarnya kepada Kompas.
Selain intervensi pemerintah pusat, komitmen kepala daerah juga diperlukan. Sayangnya, komitmen pemerintah daerah di banyak tempat kebanyakan masih minim. Tidak hanya itu, anggaran yang minim, tidak sebesar DKI Jakarta, juga jadi halangan.
Tahun 2019, dalam komitmen membangun transportasi massal di Jakarta dalam jangka waktu 10 tahun, Anies Baswedan di hadapan pemerintah pusat mengatakan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun transportasi mencapai Rp 605 triliun. Dana itu dipakai untuk menambah armada dan jangkauan Transjakarta, MRT, serta kereta ringan (LRT).
Bagaimanapun, menurut Djoko, Jakarta sudah bisa menjadi kota percontohan penataan transportasi perkotaan bagi kota-kota lain di Indonesia. Keberhasilan itu, sekali lagi, terwujud karena komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta.
”Gubernur terdahulu, misalnya, juga memiliki andil. Kemudian, munculnya BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) atau PT KAI dengan operasionalisasi KRL Jabodetabek sejak 2013 adalah wujud kepedulian pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya,” katanya.
Pengukuhan program Pola Transportasi Makro (PTM) dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di DKI Jakarta juga berperan. Program PTM mempunyai strategi yang meliputi pengembangan angkutan umum, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan.
”PTM yang dibuat dalam perda menjadi penguat para gubernur DKI untuk mewujudkan transportasi yang humanis di Jakarta,” ucap Djoko.