Energi Sumpah Pemuda bagi Kesembuhan Pasien di Wisma Atlet
Lebih dari 1.000 sukarelawan di Wisma Atlet berusia 30 tahun ke bawah. Energi muda mereka turut membantu menyemangati para pasien Covid-19 di sana agar bangkit dan sembuh.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
Tahun 1928, di tengah penjajahan bangsa lain, para pemuda lintas asal-muasal mengikat sumpah persatuan, menjadikannya fondasi kemerdekaan Tanah Air 17 tahun kemudian. Dalam ”penjajahan” virus korona tahun 2020, para pemuda di Wisma Atlet mengumandangkan sumpah kembali. Kali ini, agar bangsanya merdeka dari pandemi.
Taman terbuka di tengah Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, diramaikan oleh para pemburu sinar matahari, Rabu (28/10/2020) pagi. Sebagian olah gerak dengan berjalan kaki melewati lintasan pedestrian, sebagian lainnya sekadar duduk-duduk menerima dengan pasrah sengatan sang surya. Ada pula anak kecil yang berlatih mengumpan bola dengan anak lain. Kadang-kadang, terdapat penghuni yang memetik gitar di sana.
Tidak ada ekspresi kesedihan yang terpancar dari wajah atau bahasa tubuh mereka. Padahal, mereka semua merupakan pasien positif Covid-19. ”Kami memang merancang agar mereka merasa senang. Di sini 10 hari atau 12 hari, tidak terasa, tiba-tiba sudah negatif saja,” ucap Komandan Lapangan Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Letnan Kolonel Laut dokter gigi M Arifin.
Dokter belia yang punya semangat untuk menjadi sukarelawan bertugas di Wisma Atlet banyak, sampai-sampai harus ada seleksi untuk menjadi sukarelawan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) guna ditempatkan di sana.
Sebanyak empat menara eks wisma olahragawan Asian Games 2018 di sana disulap jadi tempat karantina ribuan orang yang terpapar virus korona baru. Menara 6 dan 7 lebih dulu digunakan, disebut sebagai RSDC Wisma Atlet. Fungsinya, merawat pasien-pasien bergejala ringan-sedang. Menara 4 dan 5, yang difungsikan kemudian dengan nama Flat Isolasi Mandiri Kemayoran, menjadi tempat isolasi bagi orang tanpa gejala atau bergejala ringan.
Terpeliharanya kebahagiaan para pasien amat menopang semangat untuk sembuh. Namun, di balik senyum dan tawa mereka, ada orang-orang yang mempertaruhkan nyawa berhadap-hadapan dengan virus. Inilah para sukarelawan Wisma Atlet, yang lebih dari 1.000 di antaranya masih tergolong pemuda dan pemudi.
Salah satunya, dokter Maulina Chairunnisa (25). Ia mengikhlaskan diri untuk ”dipenjara” minimal 44 hari di Wisma Atlet, mulai hari Jumat (23/10/2020) yang lalu. Memenuhi panggilan negara untuk menjadi sukarelawan tenaga kesehatan di sana, ia rela dilarang bertemu ayah, ibu, dan saudara-saudaranya untuk sementara.
”Tapi enaknya, di sini punya keluarga baru,” ucap Maulina. Setelah beberapa hari bertugas, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan, itu merasa tidak ada masalah berarti, bahkan menyatakan siap memperpanjang karyanya di Wisma Atlet jika dibutuhkan.
Bagi perempuan berhijab ini, bekerja di Wisma Atlet memberi pengalaman yang mewah untuk menjadi bekal bagi kelanjutan kariernya. Dokter belia yang punya semangat seperti dia pun banyak, sampai-sampai harus ada seleksi untuk menjadi sukarelawan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) guna ditempatkan di sana.
Gairah untuk mencecap pengalaman bekerja di tengah ribuan pasien positif Covid-19 juga mendorong Consita Victoria (25) mendaftar sebagai sukarelawan IDI di Wisma Atlet. Apalagi, belum tentu—dan jangan sampai—ada wabah lagi setelah pandemi Covid-19 sekarang. ”Saya ingin jadi bagian dari sejarah,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur, tersebut.
Salah satu yang bakal sulit terlupa seusai pandemi nanti adalah pengalaman mengenakan alat pelindung diri yang begitu rapat dari atas sampai bawah selama delapan jam. Saat sedang giliran melayani pasien, Consita antara lain memakai baju khusus penanganan bahan berbahaya (hazmat) yang menutup tubuh dan kepala, masker, kacamata khusus, sarung tangan, dan sepatu bot. Membayangkannya saja sudah membuat sesak napas.
Dalam waktu setara menonton maraton empat film itu, Consita tidak bisa makan, minum, atau ke toilet untuk buang air. Ia pun bersiasat dengan cara tidak banyak minum dan tidak banyak gerak sebelum bertugas. Ketika APD sudah menyelubungi tubuh, ia pun membatasi laju saat berjalan untuk berpindah dari satu tempat pasien ke tempat pasien lainnya agar tidak kehabisan napas.
Para dokter sukarelawan mesti mengurus pasien di Menara 4-7. Berdasarkan data 28 Oktober pukul 08.00, ada 1.292 orang dirawat di RSDC Wisma Atlet Menara 6 dan 7, sedangkan di Flat Isolasi Mandiri (Menara 4 dan 5), terdapat 948 orang masih menjalani karantina.
Soal menahan buang air selama delapan jam, Consita dan Maulina tidak menemui kendala. Namun, sebagian rekan sejawat mereka memilih mengenakan popok dewasa karena kerap tidak mampu menahan hasrat tersebut.
Secara keseluruhan, ada 1.870 sukarelawan Wisma Atlet yang berusia 30 tahun ke bawah, baik tenaga kesehatan maupun bukan. Rinciannya, 246 sukarelawan merupakan kelahiran tahun 1990 (pada 2020 berusia 30 tahun), 194 orang lahir tahun 1991 (usia 29 tahun), 190 lahir pada 1992 (usia 28 tahun), 300 tahun 1993 (usia 27 tahun), 399 tahun 1994 (usia 26 tahun), dan 541 orang tahun 1995 (usia 25 tahun).
Koordinator RSDC Wismat Atlet Mayor Jenderal TNI dokter Tugas Ratmono mengatakan, di luar Wisma Atlet, masyarakat sedang dalam euforia libur panjang karena adanya cuti bersama Maulid Nabi Muhammad SAW. ”Namun, kami di Wisma Atlet terus bekerja tanpa melihat ada libur panjang,” ujar Kepala Pusat Kesehatan TNI ini.
Dedikasi kerja itu juga dilakoni para sukarelawan muda Wisma Atlet. Bagi Tugas, komitmen mereka itu secara nyata mengabadikan semangat jiwa-jiwa pendeklarasi Sumpah Pemuda 1928, melampaui peringatan seremonial setiap 28 Oktober.
Semangat sukarelawan muda, menurut Tugas, turut memotivasi para pasien untuk lepas dari jerat korona. RSDC Wisma Atlet kurun 23 Maret-28 Oktober tercatat merawat total 22.897 pasien positif Covid-19. Sebanyak 21.176 di antaranya, atau 92,48 persen, dinyatakan sembuh. Sementara Flat Isolasi Mandiri selama 15 September-28 Oktober dihuni total 12.258 pasien. Dari antara mereka, 11.192 orang (91,3 persen) sudah keluar karena sembuh.
Namun, semangat jiwa muda yang ikut menyumbang kemerdekaan banyak individu dari korona itu terancam sia-sia jika masyarakat luas tidak ikut menjadi sukarelawan. Kita tidak perlu ikut menghadapi ancaman di zona merah Wisma Atlet untuk disebut sebagai sukarelawan. Cukup bersukarela untuk berdiam di rumah saja selama libur panjang ini sudah sangat membantu.
”Setiap orang punya sumbangsihnya sendiri-sendiri. Kalau bisa di rumah, ya mohon untuk tetap di rumah,” pinta Maulina.