Pemprov DKI Jakarta Berjanji Harga Pembebasan Lahan Tidak Memakai NJOP
Jumlah ganti rugi harus berdasarkan kajian KJPP independen yang menilai aspek lokasi, harga pasar di lokasi itu, jenis sertifikat hak milik atau sebatas hak guna, ukuran bangunan, dan tanaman.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menganalisis wilayah-wilayah yang harus dibebaskan lahannya guna melakukan naturalisasi ataupun normalisasi sungai dan saluran air. Perihal harga, Pemprov DKI Jakarta berjanji tidak menggunakan nilai jual obyek pajak atau NJOP sebagai landasan, tetapi memakai kantor jasa penilai publik atau KJPP. Meskipun demikian, tetap harus ada jaminan bahwa proses negosiasi pembebasan lahan dan ganti rugi atas properti warga jangan berlarut-larut sampai memakan waktu tahunan.
”Pastinya KJPP bersifat independen, bukan bagian dari pemerintah. Mereka nanti yang akan meninjau ke lokasi untuk memperkirakan jumlah harga tanah atau bangunan yang harus diganti rugi,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (28/10/2020).
Menurut dia, titik-titik lahan yang akan dibebaskan merupakan hasil kajian Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta. Pemprov DKI Jakarta mendapat bantuan dari negara melalui dana pemulihan ekonomi nasional tahun 2020 tahap pertama sebesar Rp 3,2 triliun. Dari jumlah itu, Rp 1,008 triliun khusus diperuntukkan pengendalian banjir di Ibu Kota.
Dana itu kemudian diturunkan lebih lanjut sebesar Rp 781,2 miliar untuk Dinas SDA. Spesifikasinya ialah membebaskan lahan di sekitar lima waduk dan lima sungai. Dinas SDA sendiri menargetkan pekerjaan untuk 630 bidang lahan ini bisa dikebut agar selesai sebelum tahun 2021 meskipun hal tersebut disanksikan oleh DPRD DKI Jakarta.
Bagi warga yang tinggal di bantaran sungai, pembebasan lahan dan pemindahan tidak dipermasalahkan apabila disertai ganti rugi yang adil. Ketua Rukun Warga 10 Kelurahan Kebon Baru, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Purwoto, misalnya, mengatakan, ada 220 rumah warganya yang dibangun di atas bantaran Sungai Ciliwung. Akibatnya, setiap kali hujan, air meluap dan menggenangi kelurahan itu (Kompas, 27 Oktober 2020).
Ia menuturkan, warga mengharapkan ganti rugi berbasis harga pasar karena harga jual tanah di Kebon Baru biasanya dimulai dari Rp 5 juta untuk setiap meter persegi. Apalagi warga di RW10 sudah mempunyai sertifikat hak milik atas tanah mereka. Bandingkan dengan harga berdasarkan NJOP yang dibawahkan oleh Peraturan Gubernur Jakarta Nomor 37 Tahun 2019 tentang Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 2019 yang menyatakan bahwa nilai tanah di Kecamatan Tebet dimulai dari Rp 2,9 juta. Jumlah ini tidak memungkinkan warga yang dipindahkan mampu membangun ataupun membeli hunian di tempat baru yang layak.
Ahli hukum pertanahan Universitas Trisakti, Irene Eka Sihombing, menjelaskan, masalah harga pembebasan lahan adalah masalah klasik. Dulu, solusi yang kerap diambil adalah menjumlah harga NJOP dengan harga pasar lalu dibagi dua. Hasilnya disepakati sebagai harga ganti rugi. Akan tetapi, kini ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dalam Pasal 10 dijelaskan, musyawarah antara pemprov dan warga bertujuan menentukan bentuk ganti rugi, bukan jumlah harga ganti rugi. Contoh bentuk ganti rugi ialah hanya berupa uang tunai, bisa pula uang tunai ditambah sebidang lahan baru di tempat lain atau uang tunai ditambah satu unit rumah susun. Adapun jumlah uang ganti rugi harus berdasarkan kajian KJPP independen yang menilai aspek lokasi, harga pasar di lokasi itu, jenis sertifikat hak milik atau sebatas hak guna, ukuran bangunan, dan tanaman.
”Jika tanahnya di bantaran kali, pasti harganya tidak akan sama dengan di tengah kelurahan. Perlu ditelisik pula kenapa bangunan di bantaran kali bisa memiliki sertifikat. Akan tetapi, kita anggap saja ini situasi ideal, setiap rumah akan memperoleh harga ganti rugi yang berbeda karena keluarga yang di pekarangannya ada tanaman pangan pasti akan dihitung lebih mahal dibandingkan rumah yang tidak punya pekarangan,” ujar Irene.
Menurut dia, seandainya warga tidak menyukai harga yang ditawarkan oleh Pemprov DKI Jakarta, pembayaran bisa dilakukan dengan cara konsinyasi sesuai Pasal 37 dan 38. Caranya uang ganti rugi dititipkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pencabutan hak
Jika negosiasi berakhir buntu, pemerintah memiliki hak untuk mencabut lahan tersebut dari warga. Hal ini sesuai UU 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya. Pemprov DKI Jakarta bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait pembebasan lahan untuk waduk dan sungai lalu mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar membuat surat keputusan (SK) pencabutan hak.
”Syaratnya harus ada bukti bahwa lahan itu memang untuk program pemerintah demi kepentingan umum dan program itu tidak bisa dialihkan ke wilayah lain,” ujar Irene.
Ketika hak warga atas lahan dicabut melalui SK Presiden, mereka wajib diberi ganti rugi yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah berdasarkan analisis KJPP. Ketidaksetujuan atas harga ini bisa diproses melalui banding di pengadilan untuk menegosiasikan harga yang dinilai pantas.