Warga Bersedia Pindah dari Bantaran Ciliwung asal Ganti Rugi Seharga Pasar
Pemerintah mematok harga ganti rugi lahan berdasarkan NJOP, padahal nilai di pasaran bisa jauh lebih tinggi. Dengan modal dari ganti rugi yang memadai, warga dapat pindah ke rumah yang layak huni di daerah lain.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Bantaran Sungai Ciliwung di RW 010 Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (24/9/2020). Di seberangnya adalah bantaran yang masuk wilayah Kelurahan Bidara Cina, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Keduanya tidak diturap sehingga setiap kali hujan, wilayah ini kebanjiran.
JAKARTA, KOMPAS — Warga di sejumlah wilayah Ibu Kota yang rutin terdampak banjir setiap musim hujan mengungkapkan bersedia pindah dari tempat tinggal mereka di bantaran kali. Syaratnya, pemerintah mengganti rugi rumah maupun tanah mereka seharga pasar, bukan berpatokan pada nilai jual obyek pajak atau NJOP.
Salah satu wilayah yang terbuka untuk merundingkan harga tanah adalah di RW (rukun warga) 010, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Daerah itu selalu digenangi air saat musim hujan karena bantaran Sungai Ciliwung yang mengelilingi RW tersebut belum ditanggul beton. Gara-gara RW 010, limpahan air juga melanda Kebon Baru secara umum.
”Kami sadar betul permasalahannya. Warga setiap tahun juga merugi karena kebanjiran dan kami mengakui banyak warga yang membangun di sepanjang bantaran sungai,” kata Purwoto, Ketua RW 010 Kebon Baru, ketika ditemui pada hari Selasa (27/10/2020).
Tercatat ada 220 rumah di RW 010 yang dibangun di bantaran kali. Apabila Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) hendak membeton bantaran, otomatis rumah-rumah itu harus digusur. Selama hampir lima tahun rencana relokasi itu alot karena warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum sepakat soal jumlah ganti rugi.
Jika rumah dilepas oleh pemiliknya berdasar NJOP, mereka tidak akan punya modal untuk membeli tanah dan membangun rumah di tempat baru. Setidaknya, dalam kondisi sekarang ini, warga merasa mapan biarpun rumahnya kecil, tetapi milik sendiri. (Maryoto)
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sedimentasi Sungai Ciliwung di antara Kelurahan Kebon Baru, Jakarta Selatan, dan Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur, Kamis (24/9/2020). Menurut warga, wilayah itu tidak lagi dikeruk sejak tahun 2016.
Purwoto menuturkan, warga tidak mau harga ganti rugi ditentukan oleh NJOP karena terlalu rendah dari harga pasar. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2019 tentang Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 2019 harga tanah di Tebet paling rendah Rp 2.925.000 untuk setiap meter persegi.
”Jika dibandingkan dengan harga pasaran rumah di Kebon Baru, bisa minimal Rp 5 juta per meter persegi. Bahkan, ada beberapa wilayah di Kebon Baru yang harga tanahnya mencapai Rp 10 juta per meter persegi,” kata Purwoto.
Ketua rukun tetangga (RT) 009 RW 010 Kebon Baru Maryoto menjelaskan alasan warga meminta harga pasar. Satu rumah di RT itu dihuni oleh satu hingga tiga kepala keluarga (KK). Ukuran setiap rumah juga berbeda-beda. Jika rumah dilepas oleh pemiliknya berdasar NJOP, mereka tidak akan punya modal untuk membeli tanah dan membangun rumah di tempat baru. Setidaknya, dalam kondisi sekarang ini, warga merasa mapan biarpun rumahnya kecil, tetapi milik sendiri.
Menurut Maryoto, warga tidak mau dipindah ke rumah susun. Mereka meminta bebas menentukan hunian baru mereka karena tidak semua keluarga ingin dipindahkan bersama-sama. Oleh sebab itu, ganti rugi berupa uang tunai menjadi syarat utama.
Pemprov DKI Jakarta baru-baru ini menerima dana pemulihan ekonomi nasional dari negara. Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta memperoleh Rp 758,5 miliar untuk membenahi saluran air, sungai, dan waduk sebagai pencegahan banjir. Diperkirakan dana itu juga bisa dipakai untuk membebaskan lahan di bantaran sungai.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pekerja memperbaiki turap Kali Ciliwung di kawasan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan, yang longsor saat banjir melanda Jabodetabek awal Januari lalu, Sabtu (14/3/2020).
Pindah mandiri
Camat Mampang Prapatan Djaharudin mengatakan, wilayah yang masih sering terkena banjir adalah di Kemang Selatan dan Timur. Terdapat permukiman padat dengan rumah-rumah di sepanjang bantaran Kali Krukut dan Kali Mampang.
Sosialisasi kepada warga mengenai risiko tinggal di bantaran kali beserta dampak negatifnya bagi diri sendiri maupun masyarakat Jakarta telah dilaksanakan selama beberapa tahun. Mayoritas warga yang tinggal di sana bukan penduduk Jakarta, melainkan pendatang yang bekerja di Jakarta. Secara bertahap sudah mulai ada yang pindah mencari kontrakan baru di daerah lain.
”Ada juga lahan yang akan kami bebaskan di bantaran kali. Tapi itu lahan kosong. Di atasnya tidak ada rumah maupun tempat usaha,” kata Djaharudin.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pekerja Dinas Sumber Daya Air memperbaiki pembatas turap dan jalan kali Ciliwung di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (27/10/2020).
Permintaan pembenahan saluran air juga datang dari warga. Salah satunya adalah Ellen Christin, warga Greenville, Kebon Jeruk Jakarta Barat. Menurut dia, wilayah itu sebelumnya tidak pernah banjir, tetapi sekarang tergenang air karena saluran air yang tidak beraturan.
Salah satu gedung apartemen di daerah itu tidak menggali saluran air hingga ke bawah jembatan Daan Mogot yang memang merupakan kanal. Sebaliknya, mereka menghentikan saluran air di tempat penampungan air sementara milik warga di Taman Ratu Greenville yang berada di dataran rendah. Akibatnya, di hujan kali ini terjadi genangan.