Gedung-gedung Sekolah di DKI Jakarta Disiapkan Jadi Posko Banjir
Mumpung sekolah-sekolah masih menerapkan belajar di rumah, gedungnya dipakai untuk tempat mengungsi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah kecamatan di Ibu Kota menyiapkan sekolah-sekolah sebagai tempat pengungsian bagi warga yang terkena banjir akibat hujan yang kian sering turun. Langkah ini diambil untuk menambah jumlah titik pengungsian agar jaga jarak fisik bisa dilaksanakan demi mencegah penularan Covid-19 yang mengakibatkan kluster pengungsi.
Beberapa wilayah setiap tahun mengalami banjir selama musim hujan, seperti Kecamatan Tebet, Pasar Minggu, Mampang Prapatan, dan Menteng. Sedimentasi sungai serta maraknya warga yang membangun tempat tinggal maupun tempat usaha di sepanjang bantaran sungai masih menjadi penyebab wilayah-wilayah tersebut selalu digenangi air.
“Setiap tahun di wilayah Pejaten Timur ada enam rukun warga selalu terjadi genangan air dari luapan Sungai Ciliwung. Biasanya kalau di Katulampa, Bogor, ketinggian air sudah di atas 200 sentimeter (cm) , warga selalu kami minta bersiap mengungsi,” kata Camat Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Arif Wibowo ketika dihubungi pada hari Senin (26/10/2020).
Tidak perlu berdebat kusir mengenai istilah yang tepat karena faktor terpenting adalah semua wilayah bantaran sungai di Jakarta harus segera dibenahi. (Nirwono Joga)
Menurut dia, sebagian warga sudah membangun rumah mereka menjadi dua tingkat sehingga bila hujan dan terjadi banjir, mereka tinggal mengangkut barang-barang ke lantai atas. Meskipun demikian, tetap disediakan tempat-tempat pengungsian. Tempat-tempat itu ialah masjid, mushala, dan balai-balai kelurahan. Khusus di tahun 2020 ditambah dengan berbagai gedung sekolah.
“Adanya pandemi Covid-19 membuat warga rentan tertular kalau posko pengungsian terlalu ramai. Makanya, mumpung sekolah-sekolah masih menerapkan belajar di rumah, gedungnya dipakai untuk tempat mengungsi,” tutur Arif.
Ia mengatakan, hingga hujan yang turun senja ini belum ada warga yang terpaksa menempati posko pengungsi. Air menggenangi rumah-rumah warga setinggi 20-30 cm. Biasanya, dua jam sampai tiga jam sesudahnya air berangsur surut dan warga bisa mulai membersihkan lumpur yang terbawa masuk rumah. Di samping itu, beberapa pekan terakhir warga juga sudah bergotong royong membersihkan saluran air.
Demikian pula dengan di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Kepala Seksi Pemerintahan Lukman Haris mengatakan, warga juga belum ada yang mengungsi karena masih bisa mengatasi genangan air setinggi 30-40 cm. Pihak kecamatan menyediakan 20 titik pengungsian, termasuk di sekolah-sekolah dengan daya tampung 600-700 orang. Lokal-lokal di sekolah bisa digunakan untuk tempat tidur bagi maksimal 10 orang dengan jarak fisik minimal 1,2 meter.
Di kecamatan-kecamatan ini dibuka dialog dengan warga mengenai risiko tinggal di bantaran sungai. Di Pasar Minggu misalnya, Arif Wibowo mengatakan bahwa pembenahan wilayah tersebut berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC). Sudah ada perbincangan mengenai pemindahan warga secara mandiri, yaitu warga atas kesadaran sendiri mencari tempat tinggal baru yang tidak berada di bantaran sungai.
“Awal tahun ini sempat mulai membicarakan anggaran relokasi, tapi terhenti karena ada pandemi Covid-19,” katanya.
Sementara itu, Camat Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Djaharudin mengatakan di tempat tersebut ada dua titik yang terkena luapan air Kali Mampang dan Kali Krukut, yaitu di Kemang Timur dan Kemang Selatan. Wilayah ini memang memiliki permukiman padat yang sejumlah bangunannya ada di bantaran sungai.
Pihak kecamatan sudah mengeruk Kali Mampang dan Krukut, di saat yang sama juga melakukan sosialisasi kepada warga mengenai pentingnya mengembalikan trase kedua sungai tersebut. Kondisi ideal adalah trase kali selebar 20 meter. Saat ini, baik di Kali Mampang maupun Kali Krukut rata-rata lebar trase 10 meter.
“Mayoritas warga di permukiman padat bantaran kali adalah pengontrak, jadi mereka tidak tinggal di rumah pribadi. Di awal tahun ini sejumlah keluarga mulai pindah mencari tempat tinggal baru,” ujarnya.
Di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Lurah Parsiyo mengatakan tetap menyosialisasikan kepada warga agar jangan membangun rumah di bantaran sungai. Pada bulan Maret 2020 sebanyak 18 rumah di bantaran Ciliwung ambles akibat didera hujan lebat. Puing-puing sudah dirapikan pihak kecamatan, tetapi sejumlah warga mulai membangun bedeng-bedeng tripleks dan seng di titik bekas ambles.
Ia mengungkapkan, ketika rapat antara pemerintah kota Jakarta Pusat dan BBWSCC, sudah diusulkan agar sisi Kelurahan Pegangsaan segera dibenahi sampai ke Pintu Air Manggarai. Hal ini solusi permanen dari masalah banjir dan longsor. Warga secara umum setuju jika ada pembetonan bantaran sungai di tebing bawah rumah mereka, sekitar 1,5-2 meter dari permukaan sungai. Namun, menurut Parsiyo tema dialog mengenai pemindahan warga tetap bisa dilakukan dan dimoderasi dengan adil.
Beberapa pekan sebelumnya pada diskusi tiga tahun kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, pakar tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menjelaskan bahwa istilah normalisasi dan naturalisasi sesungguhnya tidak perlu dipertentangkan. Alasannya, kedua metode tersebut sama-sama bertujuan melancarkan aliran sungai dan memastikan jangan ada bangunan permanen di bantaran sungai.
Justru yang harus didorong oleh masyarakat ialah memastikan pemerintah pusat, provinsi DKI Jakarta, maupun kota serta kecamatan berkomitmen melaksanakan naturalisasi dan normalisasi dengan benar. Pendekatan-pendekatan di setiap titik bisa saja berbeda, ada yang dengan naturalisasi dan ada dengan normalisasi. Tidak perlu berdebat kusir mengenai istilah yang tepat karena faktor terpenting adalah semua wilayah bantaran sungai di Jakarta harus segera dibenahi.