Operasi Yustisi dan Peningkatan Kapasitas Faskes Jadi Senjata DKI Sambut Libur Panjang
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, terkesan menjadi repot sendiri akibat kebijakan cuti bersama pekan depan. Sementara ancaman penularan wabah di tengah masyarakat diyakini bakal meningkat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang libur akhir pekan yang panjang pada 28 Oktober hingga 1 November 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap akan melaksanakan operasi yustisi untuk menjaring orang-orang yang tidak menerapkan protokol kesehatan memakai masker dan menjaga jarak. Keputusan pemerintah pusat menerapkan libur panjang ini sendiri menuai kritik dari sejumlah pakar kesehatan karena dianggap sengaja mengambil risiko meningkatkan penularan Covid-19.
”Pastinya operasi yustisi terus berlangsung di bawah satuan polisi pamong praja. Bertambahnya jumlah aliran warga membutuhkan pengawasan lebih,” kata Suharti, Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pengendalian Penduduk dan Permukiman, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (24/10/2020).
Operasi yustisi kini memiliki kekuatan hukum pidana karena telah dicantumkan di dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Penanganan Covid-19 yang disahkan pekan ini oleh DPRD Jakarta. Saat ini, perda masih dalam proses untuk diundangkan. Para pelanggar protokol yang lalai memakai masker bisa dikenai sanksi denda mulai dari Rp 250.000. Jika tidak mampu membayar, akan ditukar dengan sanksi kerja sosial, seperti menyapu jalanan. Bagi perusahaan, kantor, dan tempat makan, sanksi juga bisa berujung pada pencabutan izin operasional sementara hingga permanen.
Suharti mengatakan, di samping razia juga ada persiapan fasilitas kesehatan dalam kapasitas melakukan tes reaksi berantai polimerase (PCR) dan penelusuran kontak erat bagi individu yang terbukti positif terjangkit Covid-19. Langkah ini diambil sebagai kewaspadaan terjadinya peningkatan jumlah kasus setelah libur panjang tersebut.
Libur panjang selama lima hari itu diumumkan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 19 Oktober lalu. Libur dimulai pada 28 Oktober yang merupakan Hari Sumpah Pemuda dan tepat satu hari sebelum tanggal merah 29 Oktober, yakni Maulid Nabi Muhammad SAW. Libur berlanjut hingga 1 November.
Pengumuman tersebut dilanjutkan dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 440/5876/SJ kepada seluruh kepala daerah, mulai dari gubernur sampai bupati dan wali kota, agar mengajak warga menghabiskan liburan di dalam wilayah masing-masing. Artinya, kalau bisa jangan ke luar kota karena pandemi masih berlangsung.
Khusus di Jakarta, pengalaman libur Idul Adha pada akhir Juli membuahkan angka kenaikan kasus harian secara drastis. Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria juga menuturkan akan menyosialisasikan kepada warga agar sebaiknya jangan meninggalkan Ibu Kota. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengimbau agar warga Jakarta dan Depok jangan berwisata ke Bogor dulu, terutama ke Kebun Raya dan Puncak.
Sebagai gambaran, ketika Idul Adha dirayakan pada 31 Juli, jumlah kasus positif Covid-19 di Jakarta adalah 21.201. Jumlah kasus positif satu pekan kemudian pada 7 Agustus adalah 24.521. Pada 13 Agustus, jumlahnya naik menjadi 27.863 kasus. Data ini berdasarkan yang tercantum dalam situs corona.jakarta.go.id milik Pemprov DKI Jakarta.
Sejumlah pakar kesehatan dan epidemiologi mempertanyakan keputusan pemerintah pusat menetapkan libur cuti bersama ini. Salah satunya adalah Ketua Perkumpulan Ahli Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany. Hal ini mengingat masih tingginya risiko penularan virus korona baru.
”Apalagi dengan masih banyak perusahaan menerapkan work from home, bekerja dari rumah, toh rekreasi juga bisa dilakukan kapan saja tanpa perlu menunggu akhir pekan. Kalau semua ditumpuk di akhir pekan pasti akan mengakibatkan keramaian,” ujarnya.