Melawan Ketimpangan Tangerang Selatan
Kota Tangerang Selatan masih bergelut dengan ketimpangan infrastruktur. Pemerintah belum mampu menyamai kinerja pengembang swasta dalam menghadirkan infrastruktur mumpuni.
Kota Tangerang Selatan masih bergelut dengan ketimpangan infrastruktur. Pemerintah belum mampu menyamai kinerja pengembang swasta dalam menghadirkan infrastruktur mumpuni. Wali kota terpilih dihadapkan pada tantangan pemerataan infrastruktur.
Huda Rizki (26) tersenyum kecut ketika memperhatikan foto dari media sosial di layar gawainya. Foto itu memperlihatkan jalan beraspal mulus yang dikelilingi jalanan rusak berbatu. Di bagian jalan beraspal tertulis Bintaro, BSD (Bumi Serpong Damai), dan Alam Sutera. Sementara di bagian jalan yang berbatu dan rusak tertulis Pamulang dan Pondok Aren.
Foto tersebut memperlihatkan dua sisi wajah Tangerang Selatan (Tangsel) yang bertolak belakang. Bintaro, Alam Sutera, dan BSD merupakan sebagian kawasan di Tangsel yang dikuasai dan dikelola pengembang swasta.
Infrastruktur di wilayah tersebut sangat mumpuni. Jalan raya dengan aspal mulus bersanding dengan pohon peneduh di sepanjang jalan. Ada pula trotoar lebar bagi pedestrian serta hamparan rumput hias bak permadani di tepiannya.
Baca juga : Kesenjangan Sosial di Masa Pandemi Covid-19
Kondisi sebaliknya terlihat di wilayah lain yang tak dikelola pengembang. Infrastruktur yang dibangun pemerintah seolah ala kadarnya. Jalan-jalan rusak dan berlubang dibiarkan begitu saja selama bertahun-tahun. Kerap kali jalanan berlubang itu menyebabkan pengendara sepeda motor terjatuh.
”Pemerintah tertinggal oleh swasta dalam urusan membangun kota. BSD dan Bintaro itu bagus bener, tapi kawasan di sebelahnya ya gitu-gitu aja,” kata Huda, Senin (19/10/2020).
Huda termasuk warga Tangsel yang setiap hari mengalami perbedaan kondisi di wilayah yang dikelola pengembang dan pemerintah. Setiap hari ia berangkat kerja dari rumahnya di Serpong Utara menuju tempat kerja di Kelurahan Jombang, Ciputat, Tangsel.
Untuk mencapai tempat kerja, Huda beberapa kali melewati kawasan yang dibangun pengembang, seperti BSD dan Alam Sutera. Saat melintasi kawasan tersebut, perjalanan Huda lancar. Namun, setelah melewati kawasan BSD atau Alam Sutera, laju sepeda motornya terguncang dan terasa tak nyaman karena melewati jalanan rusak.
Apa yang dialami Huda menunjukkan kesenjangan infrastruktur menjadi persoalan yang belum terselesaikan di Kota Tangsel. Menjelang usianya yang ke-12 tahun pada 26 November 2020, pemerintah kota ini masih kesulitan menyamakan derap langkah dengan pengembang swasta dalam membangun infrastruktur yang mumpuni.
Baca juga : Kisah Tangerang Selatan, Kota yang Lekat dengan Kualitas Udara Buruk
Di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Tangsel 2016-2021 teridentifikasi ada delapan permasalahan pokok pembangunan, salah satunya jaringan dan kualitas jalan yang belum mendukung fungsi kota. Kondisi itu mengakibatkan tidak terintegrasinya pembangunan antarkawasan. Contohnya, drainase antara perumahan dan lingkungan sekitar, juga jalan, yang tidak saling tersambung memicu banjir atau kemacetan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tangsel menunjukkan, kondisi jalan raya di Tangsel secara garis besar dalam keadaan baik. Panjang jalan dengan kondisi baik juga meningkat tiap tahun, yaitu 219,45 kilometer (km) pada 2018 dan 376,85 km pada 2019.
Namun, kondisi jalan raya di Tangsel yang rusak juga meningkat. Pada 2018, panjang jalan yang rusak mencapai 1,13 km. Jumlahnya naik menjadi 1,25 km pada 2019. Adapun panjang jalan yang rusak berat terdata sepanjang 0,32 km pada 2018 dan naik menjadi 1,13 km pada 2019. Total panjang jalan di Tangsel pada 2018 tercatat 227,14 km dan pada 2019 sepanjang 384,68 km.
Infrastruktur drainase di beberapa titik di luar wilayah yang dikelola pengembang juga bermasalah. Di Jalan Ceger Raya, Pondok Aren, misalnya, sistem drainase yang buruk menyebabkan banjir selalu hadir saat musim hujan sehingga menyebabkan kemacetan panjang. Kondisi ini sudah bertahun-tahun dikeluhkan masyarakat Tangsel.
Koordinator Tangerang Public Transparency Watch (Truth) Aco Ardiansyah mengatakan, 70 hingga 80 persen wilayah di Tangsel dikelola pengembang swasta. Besarnya porsi pengembang swasta dalam mengelola wilayah membuat Aco menyebut Tangsel sebagai kota ”autopilot”.
”Karena sebagian besar sudah dikelola swasta, walau tidak disentuh pemerintah, kawasan itu juga sudah akan bagus dengan sendirinya. Alam Sutera, Bintaro, dan BSD itu sebegitu luasnya. Itulah yang menjadikan mengapa kondisi jalan di Tangsel dalam data BPS rata-rata bagus,” kata Aco.
Baca juga : Sepotong ”Eropa” di Tangerang Selatan
Di luar kawasan yang dibangun pengembang, menurut Aco, masih banyak kawasan yang menjadi tanggung jawab pemerintah kini dalam kondisi lebih buruk. Dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2019 mencapai Rp 3,4 triliun, bagi Aco, pembangunan infrastruktur oleh Pemkot Tangsel semestinya bisa jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang ada saat ini.
Besarnya peran swasta ini juga diakui Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany yang mengatakan sebanyak 80 persen lahan di Tangerang Selatan dikuasai swasta, baik perusahaan pengembang maupun perorangan.
”Detailnya saya tidak hafal. Namun, yang pasti hanya 20 persen yang merupakan tanah milik pemerintah,” kata Airin (Kompas, 2/8/2011).
Pembonceng gratis
Kehadiran sejumlah pengembang swasta di Tangsel turut pula menimbulkan fenomena pembonceng gratis atau free rider di sekitar kawasan permukiman yang dibangun pengembang. Menurut penelitian Diningrat (2018), fenomena pembonceng gratis merujuk pada kecenderungan pengembang menengah dan kecil yang membangun perumahan di sekitar lokasi yang dikelola pengembang besar. Membangun perumahan di sekitar kawasan yang dibangun pengembang besar bertujuan memperoleh keuntungan dengan cara menumpang kelengkapan fasilitas yang telah dibangun pengembang besar.
Fenomena pembonceng gratis membuat Tangsel menjadi incaran bagi pengembang perumahan untuk membangun permukiman di sana, selain karena lokasi Tangsel yang dekat dengan DKI Jakarta. Akibatnya banyak permukiman baru bermunculan. Kondisi itu terlihat pula dari sektor ekonomi di Tangsel pada 2019 yang sebagian besar didominasi real estat sebesar 17,92 persen dan konstruksi (16,26 persen).
Baca juga : Kelurahan Sawah Tanpa Sawah
Situasi tersebut tidak jarang menimbulkan konflik sosial antara pengembang perumahan dan masyarakat yang tinggal di perkampungan sekitar. Seperti yang dialami Nurizkiyah (33) serta warga Kampung Gunung, Ciputat, Tangsel, yang merasa amat keberatan dengan kehadiran pengembang swasta di sekitar tempat tinggal mereka.
”Selama 35 tahun tinggal di sini, tapi sejak pengembang membangun perumahan dua tahun lalu di dekat sini, rumah saya selalu kebanjiran,” katanya.
Potensi konflik sosial bisa semakin besar jika ditilik dari rasio gini Tangsel yang lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Banten. Pada 2016, rasio gini Tangsel mencapai 0,41 dan Banten 0,39. Sementara pada 2017, rasio gini Tangsel tercatat 0,38 dan Banten 0,37. Nilai rasio gini mendekati 1 menunjukkan semakin ada ketimpangan.
Kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, mengatakan, salah satu ekses dari ketimpangan adalah meningkatnya jumlah kasus kriminalitas dalam suatu wilayah. Kondisi itu tecermin dari jumlah kasus kriminalitas seperti pencurian dengan kekerasan dan pencurian kendaraan bermotor di Tangsel yang meningkat pada periode 2016-2017. Pada 2016 jumlah kasus pencurian dengan kekerasan mencapai 17 kasus dan naik menjadi 53 kasus pada 2017. Sementara kasus pencurian kendaraan bermotor pada 2017 sebanyak 354 kasus, naik dari 252 kasus pada 2016.
Sekaitan dengan tingkat kriminalitas dan konflik sosial itu pula pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriatna, memandang penting bagi wali kota Tangsel untuk melawan jurang ketimpangan agar tidak semakin curam. Wali kota terpilih, katanya, tidak boleh membiarkan Tangsel ”berwajah dua”, satu kawasan makmur dan satu lagi tertinggal.
Yayat mendesak wali kota Tangsel agar tidak membuat wilayah yang dikelola pemerintah semakin terdegradasi, tertinggal, dan tidak terurus. Kawasan tertinggal mesti didorong lebih maju dan dilengkapi dengan jaringan utilitas dasar kota, seperti infrastruktur jalan dan air bersih. Wali kota, kata Yayat, wajib mengedepankan prinsip keadilan dalam bertata ruang.
”Tugas wali kota baru itu menyetarakan wilayah yang bukan menjadi tanggung jawab pengembang,” katanya.
Pilkada Tangsel menjadi salah satu ajang pemilihan kepala daerah yang menyita perhatian publik. Ini mengingat adanya tokoh-tokoh penting yang menyokong setiap pasangan calon.
Ada tiga pasangan calon wali kota dan wakil wali kota di Tangsel, yaitu Muhamad-Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Siti Nur Azizah Ma’aruf-Ruhamaben, dan Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan.
Rahayu Saraswati merupakan keponakan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Sementara Siti Nur Azizah adalah putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Adapun Pilar Saga Ichsan menjadi representasi dari dinasti politik yang dibangun Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten periode 2007-2014. Pilar yang berprofesi sebagai arsitek juga adalah putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah dan keponakan Airin Rachmi Diany.
Tiga pasangan calon wali kota yang akan bertarung pada pilkada nanti menyadari tantangan pemerataan dan melawan ketimpangan wilayah. Muhamad memandang penting untuk menutup jurang kesenjangan infrastruktur karena perhubungan darat berkaitan dengan transportasi dan aksesibilitas. Ia akan mencoba meningkatkan konektivitas antarkawasan dengan membangun sistem transportasi publik terintegrasi. Dari segi pendidikan, Muhamad berupaya memastikan kapasitas seluruh sekolah yang ada di Tangsel cukup untuk semua siswa. Selama ini, menurut dia, jumlah kursi siswa SMP lebih sedikit dibandingkan dengan SD.
Sementara Siti Nur Azizah berkomitmen mengedepankan pemerataan yang tecermin dari tagline ”Permata” yang merupakan akronim dari Pemerataan Kemajuan bagi Masyarakat Tangsel. Pemerataan akan coba diwujudkan dalam program-program yang ia tawarkan. Secara garis besar, program-program tersebut berbasis pada penguatan pada RT/RW untuk mengatasi ketertinggalan. Tiap RT/RW akan mendapat intensif dalam besaran tertentu setiap bulan.
Adapun Benyamin Davnie menyatakan akan membangun komunikasi dan kerja sama yang lebih intens antara pemerintah dan pengembang swasta. Menurut Benyamin, pengembang swasta dan juga pemerintah memiliki peran dan tugas masing-masing dalam memeratakan pembangunan infrastruktur. Untuk infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pemerintah, Benyamin menjamin akan menyediakan alokasi anggaran yang memadai.
Arah pemerataan pembangunan Tangsel pada akhirnya akan bergantung kepada siapa masyarakat Tangsel menjatuhkan pilihannya. Belajar dari yang sudah-sudah, satu hal yang setidaknya senantiasa diingat adalah pemimpin biasa punya kutipan, pemimpin yang baik punya rencana, dan pemimpin yang luar biasa memiliki sistem.