Jangan ke Luar Kota Saat Libur Panjang Pekan Depan
Untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 pascalibur panjang akhir pekan pada minggu depan, semua kepala daerah diminta mencegah warganya agar tidak bepergian, tidak berkerumun, dan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Oleh
Nikolaus Harbowo/Helena F Nababan/I Gusti Agung Bagus Angga Putra/Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan Surat Edaran Nomor 440/5876/SJ tentang Antisipasi Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Libur dan Cuti Bersama Tahun 2020. Surat edaran yang ditandatangani pada Rabu (21/10/2020) itu ditujukan kepada seluruh kepala daerah.
Dalam surat edaran tersebut, kepala daerah diharapkan mengimbau warganya agar menghindari perjalanan di libur panjang dan mematuhi protokol kesehatan Covid-19.
”Surat edaran ini tolong dapat diterima dan sekaligus diterjemahkan kembali. Semua kembali kepada local wisdom, karakteristik wilayah masing-masing,” kata Mendagri.
Menanggapi surat Mendagri, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza menyatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menyiapkan antisipasi untuk libur pada Rabu (28/10/2020) hingga Minggu (1/11/2020).
”Tadi pagi sudah rapat dengan pemerintah pusat. Memang kami minta kepada seluruh masyarakat sedapat mungkin tidak melakukan liburan ke luar kota,” katanya, Kamis (22/10/2020).
Saat ada libur panjang seperti saat libur Idul Adha pada 31 Juli lalu, yang terjadi warga dari Jakarta berlibur ke sekitar Ibu Kota. Jumlah kasus harian yang tercatat langsung meningkat tajam sekitar dua pekan setelah liburan.
Itu sebabnya, Ahmad Riza mengatakan, Pemprov DKI meminta warga Jakarta tetap melaksanakan protokol Covid-19.
”Warga sebaiknya tetap berada di rumah. Kedua, warga melakukan protokol Covid-19 dan, yang tidak kalah penting, warga meningkatkan kesehatan kekebalan tubuh,” tuturnya.
Di sisi lain, memasuki pekan kedua pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, per Kamis kemarin di DKI terdapat tambahan 781 kasus positif. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia memaparkan, dari tes reaksi berantai polimerase (PCR) terhadap 9.885 spesimen yang diambil dari 7.908 orang per Kamis, didapati 781 positif dan 7.127 negatif.
”Namun, total penambahan kasus positif sebanyak 989 kasus lantaran ada akumulasi 208 kasus dari 19 dan 20 Oktober,” ujarnya.
Untuk tingkat tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 109.905 tes. Adapun jumlah kasus aktif di Jakarta sampai kemarin sebanyak 12.748 orang, baik yang masih dirawat maupun diisolasi.
Total jumlah kasus konfirmasi di Jakarta ada 98.206 kasus. Dari jumlah itu, yang telah sembuh 83.338 orang dengan tingkat kesembuhan 84,9 persen dan 2.120 orang meninggal dengan tingkat kematian 2,2 persen, tingkat kematian di Indonesia sebesar 3,4 persen.
Adapun persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta 10,8 persen, secara nasional sebesar 8,4 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar persentase kasus positif tidak lebih dari 5 persen.
Kluster unjuk rasa
Dari Kabupaten Tangerang, Banten, dilaporkan kini tercatat ada 12 buruh positif Covid-19. ”Mereka ikut demonstrasi penolakan RUU Cipta Kerja dua pekan lalu. Mereka warga Kabupaten Tangerang yang bekerja di pabrik di wilayah Kota Tangerang,” ujar Hendra Tarmizi, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tangerang, ketika dihubungi pada Kamis.
Menurut Hendra, mereka diketahui positif Covid-19 setelah menjalani tes usap yang menjadi syarat perusahaan ketika buruh hendak kembali bekerja.
Selama ini, Pemerintah Kabupaten Tangerang menyerahkan tanggung jawab pelaksanaan tes terhadap buruh kepada perusahaan yang memperkerjakan mereka. Setelah diketahui ada buruh yang terkonfirmasi positif Covid-19, barulah Pemerintah Kabupaten Tangerang yang bertanggung jawab melakukan penelusuran kontak terhadap keluarga atau orang-orang yang berkontak erat dengan buruh itu.
Hendra memastikan akan ada lonjakan kasus baru dari kluster demonstrasi. Hal itu karena belum semua perusahaan melaporkan hasil tes karyawan mereka ke pemerintah.
”Kami menambah jumlah kamar di Hotel Yasmin yang digunakan sebagai lokasi isolasi bagi pasien Covid-19 tanpa gejala,” kata Hendra. Hotel Yasmin berlokasi di Karawaci, Kabupaten Tangerang. Hotel itu dijadikan sebagai lokasi isolasi bagi pasien Covid-19 tanpa gejala sejak 17 September 2020.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tangerang per 22 Oktober 2020, terdapat tambahan 3 kasus terkonfirmasi positif Covid-19. Penambahan jumlah kasus dalam sepekan terakhir di Kabupaten Tangerang sangat fluktuatif. Penambahan kasus tertinggi terjadi pada 15 Oktober, saat itu ada penambahan 117 kasus positif Covid-19 dalam sehari. Kini total kasus terkonfirmasi positif ada 2.643 kasus dengan 58 korban meninggal.
Di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), total kasus terkonfirmasi positif naik menjadi 1.575 kasus setelah ada penambahan 44 kasus baru. Kendati demikian, belum ada upaya atau terobosan lagi untuk menekan penambahan jumlah kasus baru.
Seiring dengan perpanjangan masa PSBB di wilayah Tangerang Raya hingga 19 November 2020, Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany hanya bisa mengimbau warganya untuk mematuhi protokol kesehatan.
Tidak tegas
Ketua Perhimpunan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menjelaskan, pencegahan sebagai senjata utama melawan Covid-19 hingga kini belum maksimal diterapkan. Perkara ini memang merupakan masalah berkelindan yang dilandasi masih tidak mengertinya masyarakat mengenai Covid-19, bahayanya, cara penularan, dan cara perlindungan dari risikonya. Selain itu, ada juga faktor watak masyarakat yang cenderung meremehkan masalah dengan menganggap tidak akan tertular, apalagi tubuhnya tidak menunjukkan gejala sakit.
”Kebijakan yang diambil pemerintah pusat dan daerah bersifat populis. Langkah ini tidak masalah jika persepsi masyarakat terhadap Covid-19 seragam dalam artian memahami risiko bahaya dan dampaknya bagi diri masing-masing. Namun, di Indonesia pemahaman terhadap Covid-19 itu sendiri sangat dangkal, bahkan banyak yang belum tahu,” tuturnya.
Hasil survei Badan Pusat Statistik pada 7-14 September, ada 17 persen responden tidak percaya akan tertular Covid-19. Hal itu karena responden tidak melihat penegakan aturan ataupun pemberian sanksi tegas. Mereka menganggap protokol kesehatan mengganggu pekerjaan. Selain itu, masih ada aparatur pemerintahan, termasuk penegak hukum, tidak menjalankan protokol kesehatan.