Kepatuhan Bermasker Masih Kendur meski Ada Ketentuan Pidana
Warga di sudut-sudut kota Jakarta masih kerap mengabaikan aturan pakai masker. Kendurnya kepatuhan bermasker itu terjadi di tengah penguatan regulasi penanggulangan Covid-19 lewat peraturan daerah DKI Jakarta.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama tujuh bulan pandemi Covid-19, kepatuhan warga pakai masker masih kendur di sejumlah wilayah sudut kota Jakarta. Warga di beberapa lokasi itu kurang waspada dengan situasi pandemi.
Pantauan Kompas sepanjang Selasa (20/10/2020), beberapa warga di wilayah Jakarta Timur tampak tidak memakai masker. Ada pula sebagian warga yang memakai masker dalam posisi kurang tepat, misalnya, menggantung di dagu atau sekadar menggantung di salah satu telinga. Kondisi seperti itu banyak terjadi di wilayah Kecamatan Ciracas dan Pasar Rebo.
Situasi serupa juga terjadi di sebagian wilayah Kecamatan Pasar Minggu dan Pancoran, Jakarta Selatan. Sebagian lokasi di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur itu tampak tidak diawasi petugas berwajib pada Selasa siang. Beberapa pejalan kaki dan pengendara motor di sana bebas berlalu-lalang tanpa masker.
Darimin (58), warga Ciracas, Jakarta Timur, hanya mengalungkan masker di leher saat sedang bertugas memarkirkan kendaraan. Masker itu hampir tidak dipakai sepanjang siang. ”Masker baru dipakai kalau ada razia,” ujarnya saat ditemui siang itu.
Bukan cuma Darimin, beberapa tukang parkir di sekitar perempatan Arundina Cibubur, Ciracas, juga tidak memakai masker dengan benar. Masker hanya menggantung di leher dan baru dipakai saat ada razia.
Darimin bercerita, belum ada lagi razia masker dari satuan polisi pamong praja (satpol PP) setempat sejak 11 Oktober 2020 silam. Karena kondisi itu, dia beranggapan pandemi Covid-19 sudah melandai seiring dengan masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) per 12 Oktober.
Sarnuri (42), warga Pasar Rebo, mengendurkan masker saat berdagang di Pasar Induk Kramatjati. Alasannya, banyak pedagang lain yang tidak memakai masker dan merasa sehat-sehat. Dia sendiri yakin dirinya tidak akan mudah tertular Covid-19.
”Kita yang berdagang begini susah menjaga diri agar tidak berkerumun di pasar. Kalau pakai masker terus-terusan, capek juga. Kalau lagi longgar, ya, saya lepas. Pokoknya pasang mindset yakin sehat saja,” ungkapnya.
Kepatuhan bermasker yang rendah tidak banyak berbeda dengan di Pasar Minggu dan Pancoran. Nindya (36), warga Pancoran, kerap khawatir dengan kewaspadaan bermasker orang lain yang rendah. ”Kayaknya penegakan protokol kesehatan itu cuma ketat di pusat kota. Makin ke pinggiran, orang makin abai pakai masker,” ucap perempuan itu.
Kepatuhan bermasker yang rendah itu seakan paradoks dengan penguatan regulasi yang berjalan. DPRD DKI Jakarta per Oktober ini mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanggulangan Covid-19. Perda tersebut bertujuan memperkuat kepastian hukum bagi petugas berwajib, tenaga kesehatan, serta publik dalam penanganan pandemi Covid-19.
Dengan Perda DKI Jakarta tentang Penanggulangan Covid-19, penindakan kepada pelanggar protokol kesehatan akan lebih tegas dan berdasar hukum. Misalkan, Bab 10 Pasal 29-32 diatur untuk pelanggaran pidana yang dilakukan akan mendapat denda maksimal sampai dengan Rp 7,5 juta.
”Untuk pelanggaran (protokol kesehatan) itu nanti akan sidang tindak pidana ringan dan melibatkan hakim sehingga besaran denda tergantung penilaian hakim,” ujar Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Yayan Yuhanah.
Meski regulasi kini lebih berdasar hukum, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai, adanya Perda akan percuma apabila pengawasan lemah. Selama ini, pengawasan protokol kesehatan hanya ketat di pusat kota, tetapi makin longgar di sudut-sudut kota.
Trubus juga menyarankan adanya pidana kurungan bagi orang yang terbukti berkali-kali melanggar. Pidana kurungan bisa masuk akal karena seorang pelanggar turut membahayakan nyawa orang lain saat tidak memakai masker atau menerapkan protokol kesehatan.
Walakin, sesuai perda, tidak ada kurungan. Yayan menuturkan, bentuk-bentuk tindakan yang bisa dikategorikan pidana, antara lain, menolak untuk dilakukan tes PCR, tindakan dengan sengaja tanpa izin membawa jenazah yang berstatus probable atau konfirmasi, serta melalaikan penggunaan masker. Apabila terbukti melakukan tindak pidana, pelanggar dikenai sanksi berupa denda.
Trubus menekankan, rendahnya kewaspadaan publik saat ini adalah implikasi dari sosialisasi pandemi yang kurang. Pemerintah mesti terus mengingatkan situasi pandemi belum aman hingga ke seluruh daerah. Setelah itu, penindakan terhadap pelanggar bisa lebih masuk akal.
Profesor Riset Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat berharap ada kolaborasi penanganan Covid-19 yang lebih masif di lingkup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sebab, kelima wilayah itu sesungguhnya adalah kesatuan secara sosial-ekonomi (Kompas, 19/10/2020).
Syarif memandang, harus ada inisiatif dari pemerintah daerah lintas wilayah untuk penanganan pandemi. Misalkan, adanya pembentukan gugus tugas penanganan Covid-19 lintas wilayah untuk Jabodetabek yang melibatkan provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Hal itu akan memudahkan koordinasi serta tindakan yang sesuai untuk menangani pandemi. Alasan Syarif masuk akal karena menurut studi Lembaga Demografi Universitas Indonesia tahun 2018, sebanyak 80 persen pelaju yang bekerja di Jakarta berasal dari Bodetabek. Wilayah Jabodetabek adalah kesatuan sosial-ekonomi. Apabila kebijakan penanganan Covid-19 tidak sinkron, akan sukar menurunkan angka penularan.