Tugas seabrek dalam pembelajaran jarak jauh kerap membuat siswa kewalahan. Dalam hal ini, peran guru bimbingan konseling serta orangtua sangat krusial untuk mencegah anak menjadi depresi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meninggalnya MI (16), siswi asal Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (17/10/2020), sempat menggemparkan dunia pendidikan. MI diduga bunuh diri. Ia diperkirakan depresi akibat banyaknya tugas selama pembelajaran jarak jauh atau PJJ. Selain tugas yang menumpuk, MI juga sempat mengeluhkan sulitnya mengakses internet. Keterangan ini didapatkan dari teman-teman MI (Kompas, 20 Oktober 2020).
Tugas yang seabrek rupanya juga dikeluhkan oleh sejumlah siswa lain. Sebut saja Aulia (17), siswi kelas XII di salah satu SMA negeri di Blora, Jawa Tengah. Ia mengaku kerap mengorbankan waktu senggangnya demi merampungkan tugas-tugas PJJ.
”Kalau tugasnya banyak, itu menyiksa banget. Tugas sedikit kalau susah juga sama menyiksanya,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Setiap hari, Aulia harus mengikuti PJJ selama 10 jam pelajaran. Jika memungkinkan, guru akan mengajar secara tatap muka melalui konferensi video. Jika tidak, guru hanya memberikan tugas.
Tugas yang menurut dia ringan dapat diselesaikan pada hari yang sama. Seringnya, tugas ia kirimkan pada malam hari. Tidak jarang tugas yang diterima Aulia sangat kompleks sehingga cukup menyita waktu, tenaga, hingga paket data.
Ia mencontohkan tugas membuat video atau kerajinan tangan. Tugas-tugas ini biasanya diberikan dengan tenggat yang lebih lama, bahkan sampai satu hingga tiga pekan, tergantung tingkat kesulitannya.
Meski waktu pengumpulan tugas masih panjang, Aulia biasanya memilih mengerjakannya pada akhir pekan terdekat. Sebab, pada hari biasa, ia selalu disibukkan dengan tugas-tugas harian dari guru lain.
”Kalau bikin video biasanya akhir pekan. Kalau hari biasa enggak sempet. Capek. Soalnya kalau bikin video, kan, harus ngedit juga,” ungkap siswa peringkat ketiga di kelasnya ini.
Guru Bimbingan Konseling (BK) SMA Negeri 35 Jakarta, Faza Farhansyah, tidak memungkiri, banyak siswa di sekolahnya yang mengeluh selama PJJ. Beberapa di antaranya mengaku kesulitan mengikuti pelajaran, termasuk mengerjakan tugas dari guru.
Untuk menjembatani masalah ini, SMA Negeri 35 Jakarta membuka layanan konseling setiap hari Jumat. Dari sana, para siswa dapat menyampaikan unek-unek dan masukannya mengenai PJJ. Di sisi lain, Faza juga membentuk grup Whatsapp yang berisikan siswa dari tiap-tiap kelas.
”Masalahnya, masih banyak yang canggung karena siswa kelas X belum pernah ketemu saya langsung. Tetapi, beberapa ada yang sudah curhat,” kata guru BK kelas X ini saat ditemui di ruang kerjanya.
Dari situ, sekolah sudah mengambil sejumlah kebijakan agar siswa tidak merasa terbebani. PJJ, misalnya, hanya dilakukan pukul 07.00-12.00 setiap hari. Guru yang masih memberikan tenggat penyelesaian tugas setelah jam tersebut harus meminta izin kepada wakil kepala SMA bidang kurikulum terlebih dahulu.
”Guru juga sudah mengurangi intensitas menggunakan videoconference. Tugas juga tidak terlalu berat,” ujar Faza.
Siswa juga sempat mengeluhkan masalah paket data. Namun, masalah ini sudah tuntas. Selain bantuan dari sekolah, semua siswa sudah menerima bantuan subsidi paket data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Seharusnya tidak ada lagi siswa yang mangkir dengan alasan paket data.
Selain itu, banyak siswa di sana yang juga masih mengeluhkan soal ponsel. Sejumlah siswa mengatakan, ponsel mereka tidak layak untuk PJJ. Dalam hal ini, sekolah juga sudah meminjamkan ponsel kepada para siswa yang membutuhkan. ”Kami undang mereka dan orangtua. Kami cek handphone-nya seperti apa. Kalau misalnya benar, kami akan pinjami. Ada delapan siswa yang sudah kami pinjami,” tutur Faza.
Selain masalah tugas, paket data, dan ponsel, para siswa juga ingin secepatnya masuk sekolah dan berjumpa dengan teman-teman mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menyarankan agar SMA Negeri 35 Jakarta dibuka untuk 50 persen siswa setiap harinya.
Marno (50), warga Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, juga dapat merasakan beban yang dialami oleh anak-anaknya selama PJJ, terutama putrinya yang kini duduk di bangku kelas X SMK.
Marno dan keluarga tinggal di sebuah permukiman padat penduduk yang cukup bising. Di samping rumahnya terdapat gang berukuran kurang dari 2 meter yang sering dilalui warga. Tak jarang, putrinya yang sedang belajar terganggu dengan suara ibu-ibu yang sedang bergosip dan anak-anak yang sedang bermain.
Terlebih pada pekan lalu saat putrinya sedang menjalani ujian tengah semester secara daring. ”Kasian, pintu jendela sudah saya tutup, tetapi dia masih keganggu. Sampai-sampai dia ngerjain di pojokan rumah,” ungkapnya.
Selama PJJ ini, Marno mengatakan jarang melihat anaknya memiliki waktu senggang. Hampir sebagian waktunya habis untuk belajar dan mengerjakan tugas. Meski salut dengan ketekunan putrinya, Marno khawatir jika putrinya menjadi stres.
Apalagi, hingga saat ini, putri Marno belum mengenal teman sekelasnya sehingga jarang bermain. Ia hanya bermain saat akhir pekan saja, itu pun dengan teman-teman SMP dan SD-nya. Marno berusaha memberikan perhatian kepada putrinya dengan memberikan keistimewaan pada akhir pekan.
”Makanya, kalau akhir pekan, saya biarin dia mau bangun siang. Mau main ke tempat temannya sampai sore juga saya biarin. Biar gak stres ngerjain tugas mulu,” katanya.
Menurut komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, anak sering kali butuh perhatian orang lain untuk mendengarkan ceritanya. Tidak hanya sahabat, tetapi guru BK dan wali kelas juga dapat menjadi teman curhatnya (Kompas, 20 Oktober 2020).