Pandemi memunculkan berbagai inovasi, salah satunya pameran secara virtual. Namun, minimnya sosialisasi serta perbedaan pengalaman melihat dan memegang langsung produk memengaruhi daya tarik kunjungan ke pameran virtual.
Oleh
Budiawan Sidik A (Litbang Kompas)
·3 menit baca
TANGKAPAN LAYAR IFRA VIRTUAL EXPO
A Penampakan visual salah satu stan peserta pameran waralaba dan lisensi virtual, International Franchise, License and Business Concept Expo & Conference (IFRA) Virtual Expo, September 2020.
Pandemi yang diikuti dengan kebijakan pembatasan sosial cukup memengaruhi aktivitas jual-beli produk di pameran. Sebelum pandemi, hampir setiap bulan diadakan pameran produk/jasa, seperti kerajinan, kuliner, elektronik, otomotif, komputer, serta pameran rumah dan pendidikan, di sejumlah kota besar. Pemeran merupakan ajang pemasaran barang/jasa yang efektif untuk mengenalkan produk, menjaring pembeli, dan berpotensi menghasilkan transaksi bisnis yang besar.
Pameran virtual dipilih untuk menggantikan pameran produk tatap muka di masa pandemi untuk menghindari paparan virus. Beberapa pameran virtual telah diselenggarakan selama tujuh bulan pandemi ini, di antaranya Pameran The 18th Indonesia Franchise, License and Business Concept Expo and Conference (IFRA). Selain itu, ada juga IndoBuildTech Expo hingga pameran virtual UMKM yang diselenggarakan Pertamina, Bank Indonesia, dan pemerintah daerah.
Kendati banyak aktivitas pameran kini beralih ke dunia maya, tidak sedikit masyarakat belum mengetahui hal ini. Fenomena tersebut terungkap dalam jajak pendapat Kompas awal Oktober lalu. Hampir 60 persen responden mengaku tidak mengetahui adanya pameran virtual. Bahkan, 62 persen yang mengetahuinya pun belum menyatakan ketertarikan hadir dalam pameran virtual.
Masyarakat yang berminat mengikuti ajang ekshibisi maya tersebut masih terbilang minim. Hanya sekitar 16 persen responden jajak pendapat yang menyatakan ketertarikannya menghadiri pameran virual. Hal ini menunjukkan bahwa dari 10 responden, baru ada satu atau dua orang saja yang berminat hadir di pameran dunia maya.
Kondisi tersebut tentu saja bukanlah hal yang menjadi harapan para peserta pameran, penyelenggara, atau juga pemerintah. Hal ini dikarenakan pameran virtual mempunyai peran sebagai salah satu ajang memperkenalkan apa yang dipamerkan sehingga akhirnya bisa memperluas pangsa pasar.
Alasan di balik rendahnya minat masyarakat mengikuti pameran virtual tak lepas dari penyesuaian perubahan akibat pandemi Covid-19. Tidak bisa dimungkiri, aktivitas pertemuan yang menimbulkan kerumunan tidak mungkin dilaksanakan guna menekan penyebaran Covid-19.
Di sisi lain, ada sejumlah aktivitas yang memerlukan pengalaman indrawi manusia. Pameran konvensional adalah salah satu aktivitas manusia yang memerlukan pengetahuan secara pasti warna, ukuran, bentuk, berat, dan berbagai dimensi lain dari sebuah produk yang dijual.
Pentingnya pengalaman langsung tersebut diakui sebagai responden sebagai sisi lemah dari pelaksanaan pameran virtual. Lebih dari sepertiga responden jajak pendapat ini menyatakan tidak datang ke pameran virtual karena tidak bisa mengetahui secara pasti kualitas produk yang dipamerkan. Seperlima lebih responden lainnya juga mengungkapkan ketidakhadirannya di pameran daring karena dan tidak bisa mencoba secara langsung produk yang dipamerkan.
Perubahan cara melakukan pameran tersebut juga menghilangkan kebiasaan lain manusia, yaitu berkomunikasi secara tatap muka. Lebih kurang 16 persen responden juga beralasan, ketiadaan diskusi tatap muka langsung dengan penjual produk mengurangi animo mereka datang ke pameran virtual.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Tangkapan layar pameran virtual Gangguan Tenggara di Galeri Bega, Australia.
Mempertimbangkan
Pendapat mayoritas responden dalam jajak pendapat ini paling tidak menjadi potret sebagian masyarakat yang merupakan kalangan konsumen konvensional. Tipe konsumen ini membutuhkan pengalaman pribadi terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan ekonomi.
Kendati demikian, kekurangan dari pameran virtual tidak serta-merta menjadi tolok ukur pasti bahwa pameran virtual tak akan mendapat tempat di masyarakat. Meski belum banyak dikunjungi, hampir separuh responden mempertimbangkan untuk hadir jika ada penyelenggaraan pameran virtual lagi. Pada dasarnya, hal ini juga tak lepas dari sejumlah manfaat dan keunggulan dari pameran daring.
Hampir sepertiga responden menyatakan bisa mengetahui tren produk terbaru dengan cepat jika datang ke pameran virtual. Adapun tiga dari 10 responden lain juga berpendapat bahwa pameran virtual memudahkan mereka mencari produk dengan cepat dan murah. Aktivitas daring, termasuk pameran, juga mempunyai manfaat mengusir kejenuhan saat harus banyak beraktivitas di rumah, menurut sebagian kecil responden.
KOMPAS/DAHONO FITRIANTO
Tampilan pameran virtual GLB GLA Virtual Expo yang digelar PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia (MBDI), selaku distributor resmi kendaraan penumpang Mercedes-Benz di Indonesia, 25-27 September 2020.
Melihat pertimbangan tersebut, bukan tidak mungkin kalangan responden konvensial akan tertarik mengunjungi pameran virtual jika semakin mengenal dan terbiasa dengan ajang semacam ini. Mereka akan menyesuaikan diri untuk tetap hadir layaknya berkunjung ke pameran secara langsung. Konsumen konvensional boleh jadi memerlukan intensitas paparan informasi lebih besar terkait dengan berbagai ajang pameran virtual.