Antrean Sampel Tes Usap di DKI Jakarta Belum Bisa Dipersingkat
Keberhasilan pengendalian pandemi korona ditentukan pemeriksaan sampel dan penelusuran kontak pasien positif Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan kapasitas pemeriksaan sampel tes reaksi berantai polimerase atau PCR di laboratorium mendesak dilakukan karena sistem pemantauan dan pelaporan yang efektif belum juga tercapai antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan fasilitas kesehatan ataupun laboratorium swasta. Perlu dipertimbangkan sinergi dengan laboratorium di luar Ibu Kota.
”Kita boleh saja berambisi menjadi nomor satu se-Indonesia, tetapi harus dipikirkan matang-matang cara dan kapasitas kelembagaan, alat, dan sumber daya manusianya. Jangan tentukan target di awal yang pada akhirnya sukar dipenuhi,” kata Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI-P Johnny Simanjuntak ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (18/10/2020).
Ia mengamati sinergi pihak pemerintah dengan swasta dalam rangka tes PCR dan menganalisis sampel belum maksimal. Pemprov DKI Jakarta memiliki 90 rumah sakit rujukan Covid-19. Di luar itu, terdapat 54 laboratorium milik lembaga negeri dan swasta yang bertugas menganalisis sampel hasil usap tenggorokan yang dilakukan fasilitas kesehatan.
Permasalahan utama tes PCR adalah sampel mengantre di laboratorium berhari-hari. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti pada awal Oktober mengatakan, banyak laboratorium menyanggupi menganalisis 1.000 sampel per hari di bulan April. Namun, setelah enam bulan pandemi Covid-19 berlangsung, ternyata mereka hanya mampu menganalisis maksimal 500 sampel setiap hari.
”Pastinya terdapat pilihan laboratorium lain dari pihak swasta yang lebih mumpuni, termasuk perguruan tinggi. Terkait soal anggaran operasional, walaupun memang ada kontraksi, tetap bisa disisihkan untuk meningkatkan kapasitas analisis dan penelusuran kontak pasien positif Covid-19,” ujar Johnny.
Ia mengemukakan, kerja sama pemerintah-swasta ini jangan hanya dilihat dalam lingkup Jakarta. Sebagai bagian dari wilayah agregat, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi memiliki banyak laboratorium dan fasilitas kesehatan yang potensial untuk diajak bekerja sama. Bersama mereka bisa meringankan beban Jakarta sekaligus membangun sinergi penanganan Covid-19 dalam kesatuan wilayah. Apabila kesepakatan antarpemerintah daerah belum bisa dicapai, Pemprov DKI Jakarta dapat menggunakan kerja sama dengan pihak swasta.
Idealnya, lanjut Johnny, dibentuk gugus tugas penanganan Covid-19 se-Jabodetabek. Pekerja di Jakarta mayoritas berasal dari Bodetabek. Jika aturan protokol kesehatan hanya berlaku di Jakarta, penanganan jumlah kasus positif Covid-19 tidak akan maksimal.
Sebelumnya, pakar biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Indonesia, Iwan Ariawan, mengingatkan pemerintah agar segera meningkatkan kapasitas pemeriksaan sampel dan penelusuran kontak pasien positif Covid-19. Keberhasilan pengendalian pandemi ditentukan dua aspek itu dan kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, minimal 85 persen dari jumlah penduduk.
Lamanya proses tes PCR hingga mendapat hasil dialami HT, pasien positif Covid-19 yang kini menjalani perawatan di salah satu rumah sakit rujukan di Ibu Kota. Ia mengaku mengalami gejala gangguan pencernaan dan demam sehingga memeriksakan diri ke sebuah puskesmas di Jakarta Timur pada 6 Oktober. Dokter menganjurkan agar HT mengikuti tes PCR untuk memastikan. Namun, HT baru mendapat jadwal tes PCR tanggal 8 Oktober.
Seusai tes, ia diminta beristirahat dan jangan keluar rumah. Hasil tes baru keluar tanggal 12 Oktober dan menyatakan ia positif mengidap Covid-19. Akan tetapi, tanggal 13 Oktober ia baru bisa dimasukkan ke rumah sakit untuk dirawat.
”Prosedurnya pada tanggal 13 Oktober saya berangkat sendiri menyewa taksi ke puskesmas yang menjadi titik penjemputan. Dari sana ke rumah sakit naik kendaraan yang khusus disediakan,” ujarnya ketika dihubungi melalui sambungan telepon.
Tersendatnya pengumpulan data tampak dalam pengumuman perkembangan Covid-19 harian oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani. Dari 971 kasus positif hari Minggu, 95 kasus merupakan akumulasi 9-13 Oktober yang baru dilaporkan kepada Pemprov DKI Jakarta. Praktis, penelusuran kontaknya juga terlambat.
Sejauh ini, persentase kasus positif di DKI Jakarta masih 10,3 persen. Angka itu lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu 8,3 persen, dan dua kali lipat dari batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen.