Mendadak gemar bercocok tanam atau bersepeda lalu mampir membeli ikan hias. Inilah fenomena tak terduga warga urban untuk menyenangkan diri sendiri yang berdampak pada orang lain. Yang penting, tetap rasional saja.
Oleh
Neli Triana
·6 menit baca
KOMPAS/NELI TRIANA
Penjual tanaman hias di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (14/10/2020).
Suatu sore, sebuah mobil sport keluaran terkini terparkir di depan salah satu kios tanaman hias di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Pintu bagasi dibuka. Pengemudi mobil menerima instruksi melalui telepon genggam. Bergegas ia lanjutkan pesan suara di ponsel, menyebut beberapa jenis tanaman hias kepada penjaga kios.
Tak berapa lama, bagasi mobil itu penuh dengan rupa-rupa tanaman berbunga cantik dan berdaun indah. Perburuan tak berhenti di sana. Giliran kios khusus pot lalu penjual batu hias tanaman digeruduk. Terbayangkan, di sebuah rumah entah di mana, sore itu bersalin rupa lebih cantik dengan kehadiran beragam tanaman dan segala ”infrastruktur” pendukungnya.
Hobi bertanam, termasuk memelihara tanaman hias, seperti banyak hobi lain, beberapa waktu terakhir menimbulkan gelombang suka menanam. Gelombang itu menyedot penggemar anyar yang tak hanya bermunculan di Ibu Kota dan sekitarnya, tetapi juga di kota-kota lain di Nusantara.
Di kawasan Bintaro, misalnya, sudah ada beberapa sentra tanaman hias sejak sebelum pandemi. Namun, sejauh pengamatan, baru kali ini pembeli sedemikian membeludak. Setiap sore, deretan mobil aneka merek menepi di depan kios-kios tanaman hias. Macet di lokasi itu menjadi lumrah, terlebih di akhir pekan. Kios-kios tanaman hias semarak dengan para pengunjung yang seperti berebut tanaman incaran.
Ibu-ibu, bapak-bapak, berikut anak-anak, juga sopir pribadi dan asisten rumah tangga keluar masuk kios. Sebagian pemborong tanaman hias ini mungkin pehobi lama yang kian berhasrat melengkapi koleksinya selama pagebluk. Sebagian lagi, tentunya para newbie.
KOMPAS/NELI TRIANA
Calon konsumen melihat-lihat koleksi tanaman hias di salah satu kios tanaman hias di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (14/10/2020).
Baik yang kawakan maupun pendatang baru, semua sama-sama merogoh kocek demi tanaman incaran. Sedikit atau banyak, transaksi itu memutar roda ekonomi. Tren itu menjadi semacam oase di tengah padang gurung perlambatan ekonomi negeri ini. Sesuatu yang bahkan oleh pemerintah di daerah maupun di pusat sepertinya tidak terbayangkan sebelumnya.
Banyaknya para penghobi baru menanam beberapa bulan terakhir tidak bisa dipisahkan dari perubahan pola hidup. Rumah menjadi kian dekat dengan kehidupan warga urban. Kebijakan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dibarengi upaya mengerem mobilitas dan mengurangi berkumpul dengan banyak orang membuat kita mau tidak mau harus betah di rumah. Segala daya upaya dikerahkan agar betah di rumah.
Ada di rumah bergelut dengan gawai setiap hari, diiringi banjir informasi pandemi dan isu politik negeri ini yang sering kali menyedihkan hingga pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang memicu keriuhan, membikin pusing. Jelas sudah, betapa kita perlu mencari hal-hal baru untuk mengusir jenuh.
Tanpa program khusus dari pemerintah, respons-respons publik yang positif bermunculan. Masih ingat di awal korona melanda, tujuh bulan lalu, tren jualan via Whatsapp grup, Instagram, Facebook, dan Twitter tiba-tiba melonjak. Mereka yang terdampak mata pencariannya akibat wabah atau sekadar menyalurkan hobi memasak ataupun membuat aneka kerajinan menemukan pelepasan dengan berjualan berbagai produk via lapak daring.
Tak berapa lama, publik digaet gandrung bersepeda. Hal serupa terjadi dengan hobi tanaman hias, juga ikan hias.
Terasa mewah sekaligus istimewa ketika bisa menyisihkan waktu menepi di sudut rumah sembari mengagumi anggrek bulan, lili paris, simbar menjangan, jengger ayam, lidah mertua, pakis, dan bermacam tanaman lain. Gemericik air dan tingkah ikan-ikan hias mondar-mandir di akuarium menjadi semacam ”pendulum”, menghipnotis pikiran menjauh dari rutinitas yang melelahkan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pedagang ikan hias di Pusat Promosi Ikan Hias, Jakarta, mengganti air di akuarium, Selasa (11/12/2012).
Irasional
Jumlah penggemar yang tiba-tiba membengkak dan belum menunjukkan tanda melandai membuat berbagai produk terkait hobi itu melonjak. Tanaman simbar menjangan alias tanduk rusa, misalnya, sekitar dua bulan lalu bisa dibeli seharga Rp 35.000-Rp 50.000 dengan minimal 1-2 titik tempat daun tumbuh menjuntai. Sekarang, satu paket dengan tiga titik daun tumbuh paling murah Rp 100.000. Jika daun menjuntai panjang, tebal, hijau segar, harga lebih tinggi lagi.
Rumput krokot, tanaman hias murah meriah yang dulu paling dihargai Rp 5.000 tanpa pot (hanya kantong plastik), kini dipatok Rp 15.000 per kantong kecil. Jenis lain ikut berlomba-lomba melonjak harganya.
Kenaikan harga hingga 100-200 persen itu sebenarnya masih cukup masuk akal melihat tingginya permintaan pasar. Namun, di jagat tanaman hias, sejak bertahun lalu sering ada tren tanaman tertentu yang demi memilikinya harus merelakan uang jutaan rupiah. Demam gelombang cinta, bagian dari Anthurium, sekira satu dekade lalu, sempat mengentak pasar.
Bahkan, ada penggemar yang rela mengeluarkan rupiah, setara harga mobil Toyota Avanza baru pada masa itu, demi membawa pulang satu pot tanaman dengan daun lebar bergelombang ini.
Banyak orang mengembangbiakkan gelombang cinta dengan harapan keuntungan membubung tinggi saat dijual nantinya. Namun, sebagaimana hukum sebuah tren, demam gelombang cinta tiba-tiba meredup dan harganya jatuh, yang memicu patah hati banyak orang. Kini, demam itu tak muncul lagi.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Tanaman hias janda bolong atau ”Monstera adansonii”.
”Kegilaan” serupa muncul kembali. Kali ini jenis Monstera adansonii dengan daun tak kalah lebar dengan lubang-lubang unik pada permukaan daunnya yang merajai pasar tanaman hias. Selain per pot, tanaman yang kini berjuluk janda bolong ini juga dihargai per helai daunnya. Pada salah satu kanal berita daring dikabarkan, satu helai daun yang terawat baik, sehat, dan cantik bisa bernilai Rp 15 juta!
Masih ingat aglonema? Tanaman hias berdaun rentan sobek dengan semburat kuning dan merah itu sempat menjadi primadona. Harganya juga ditentukan per lembar daun. Semakin sering menang kontes aglonema, harganya kian bikin geleng-geleng kepala: puluhan juta rupiah. Kini, jenis yang sama dijual dua puluhan ribu rupiah saja di marketplace.
Melejitnya harga tanaman hias, khususnya jenis-jenis tertentu ini, tidak beda jauh dengan harga sepeda yang melambung beberapa waktu lalu hingga serasa nyaris menyentuh langit.
Bisa jadi ini yang disebut tindakan ekonomi irasional, yakni ketika seseorang atau pihak tertentu memiliki sebuah perkiraan menguntungkan tanpa memperhitungkan faktor rasional. Kenyataannya, cepat atau lambat tindakan ini justru akan merugikan, terutama bagi konsumen.
Demi ”membius” konsumen agar bertindak irasional berkelanjutan, berbagai gimmick digoreng. Di masa kini, media sosial, media massa daring, dan kanal popular, seperti Youtube, menjadi amat berperan membentuk opini publik, termasuk soal produk-produk apa yang dijual mahal, menaikkan gengsi, sampai menjadi ladang investasi baru.
Kisah orang Jepang yang membeli satu pot monstera di Bogor, Jawa Barat, senilai Rp 120 juta disebut menandai mulai tersedotnya perhatian publik terhadap tanaman tersebut. Cerita itu banyak disebut di pemberitaan media daring. Namun, kesahihan kisah itu sulit dicari kebenarannya. Publik telanjur mabuk monstera.
KOMPAS/NELI TRIANA
Tanaman hias di salah satu kios di sentra tanaman hias di Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (14/10/2020).
Mengikuti tren tidak ada salahnya. Apalagi, jika kepuasan batin dan kesehatan jiwa direngkuh karenanya. Namun, kendali ada pada diri kita sendiri. Setidaknya, tetap ingat alasan dasar menggeluti hobi di masa sulit ini, yakni menemukan katarsis dan melepaskan emosi negatif demi memanen energi positif yang amat dibutuhkan melawan pagebluk yang belum berhenti menggebuk ini.
Syukur-syukur energi positif warga melalui hobi-hobi kekinian itu bakal turut memengaruhi pemegang kekuasaan untuk menelurkan kebijakan yang rasional sesuai nalar. Memupuk berbagai kesempatan yang lahir di tengah impitan kesulitan, misalnya, bisa menjadi jalan menuju warga sehat dan sejahtera bersama. Bukan bertindak ataupun mengambil kebijakan yang mencederai keadilan dan kepercayaan rakyat.
Ah, sudahlah. Lupakan sejenak yang ruwet-ruwet. Jadi, mau menanam apa lagi hari ini?