Refleksi Tiga Tahun Anies Baswedan: Jarak Target dengan Capaian Masih Jauh
Permasalahan di DKI yang masih menonjol yaitu penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mitigasi banjir, dan pembangunan daerah. Semua harus berbasis persepsi ketahanan Jakarta pascapandemi Covid-19.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Tiga tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah di samping capaian yang telah terjadi. Permasalahan yang masih menonjol ialah penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mitigasi banjir, dan pembangunan daerah. Semua harus berbasis persepsi ketahanan Jakarta pascapandemi Covid-19.
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual bertema ”Tiga Tahun Pemerintahan Anies Baswedan” sekaligus peluncuran buku berjudul Sudah Senja di Jakarta oleh lembaga riset Populi Center, di Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Dua problem utama yang dikemukakan dari diskusi itu terkait kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sekarang ialah mengenai keterbukaan anggaran serta ada berbagai praktik dan kebijakan yang bertolak belakang dengan payung hukum lebih tinggi, seperti undang-undang (UU) dan peraturan daerah (perda).
Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, William Aditya Sarana, mengkritisi bahwa di Pemprov Jakarta kini transparansi anggaran tidak ada. Ini berbeda dari pemerintahan gubernur-gubernur sebelumnya yang membuka informasi sejak tahap penyusunan anggaran hingga disahkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD).
Setiap dinas tidak bisa lagi sekadar mendapat jatah uang, tetapi harus menyusun proposal dengan merincikan setiap komponen yang mereka inginkan. Setelah itu, ditelaah oleh DPRD dan masyarakat guna memastikan komponen-komponen yang memang mendesak dipenuhi dan yang bisa ditunda.
”Kini kami tidak tahu proses penyusunan dan peruntukan pagu anggaran. Hanya diumumkan bahwa Pemprov DKI Jakarta membutuhkan APBD sekian triliun rupiah, akibatnya kinerja pemerintah tidak efisien karena ketepatgunaan dan tepat sasaran dana tidak diketahui,” kata William.
Menurut dia, adanya sarana pendanaan elektronik (e-budgeting) semestinya bisa melancarkan komunikasi, tetapi rupanya hal ini tidak dimanfaatkan untuk keterbukaan informasi.
Tumpang tindih
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, berpendapat ada kebijakan yang bentrok dengan UU ataupun perda. Pembagian tugas antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat juga tidak jelas sehingga banyak program yang terhambat pelaksanaannya. Contoh yang paling jelas adalah penanganan banjir.
Nirwono menjelaskan, sejatinya konsep naturalisasi dengan normalisasi bantaran sungai tidak perlu diperseterukan karena setiap wilayah memiliki kebutuhan pendekatan dan penanganan yang berbeda-beda. Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane kewenangannya dibagi antara pemprov dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
BBWSCC bertugas membangun tanggul beton ataupun melakukan normalisasi mengembalikan aliran sungai seperti sediakala sebelum terjadi sedimentasi yang menghambat laju air. Kedua program ini membutuhkan pembebasan lahan bantaran sungai dari permukiman milik warga yang sampai saat ini masih belum jelas langkah yang hendak diambil. Jika di bantaran yang harus diintervensi masih ada bangunan, otomatis BBWSCC tidak bisa turun tangan. Selain Ciliwung dan Cisadane, masih ada 11 sungai lain yang bantarannya perlu diintervensi.
Demikian pula dengan pencegahan banjir di wilayah sekitar waduk dan situ. Tercatat ada 109 waduk, situ, dan embung di Jakarta. Sejauh ini, tindakan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta baru sekadar mengeruk. Mencegah banjir membutuhkan upaya lebih, termasuk menata wilayah sekitar dengan menentukan wilayah resapan air, ruang terbuka hijau, dan batas aman permukiman ataupun tempat bisnis.
”Terdapat banyak program selain penanganan banjir, seperti penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang sebenarnya sudah dirintis sejak 10-15 tahun lalu, tetapi dihentikan dan diganti dengan program baru bertujuan serupa. Kinerja menjadi tidak efisien karena harus mengulang dari nol, sementara sebenarnya jika dilanjutkan dari program sebelumnya akan jauh lebih berkesinambungan,” kata Nirwono.
Ia mencontohkan program penyediaan rumah susun sewa (rusunawa) yang dihentikan dan diganti dengan program rumah dengan uang muka (DP) 0 persen yang kini diganti nama pula menjadi Program Samawa.
Menurut catatan Fraksi PSI DPRD Jakarta, Pemprov DKI Jakarta menargetkan pembangunan 300.000 rumah Samawa. Akan tetapi, baru terbangun 780 unit dan yang terisi baru 168 unit. Di saat yang sama, berbagai rusun yang telah dibangun juga masih belum terisi karena warga di bantaran sungai belum dipindah.
Keterlibatan warga
Pada waktu yang berbeda, juga diselenggarakan diskusi oleh Rujak Center for Urban Studies mengenai penataan Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara. Pokok pembahasannya ialah bahwa berbagai program pemerintah tidak akan berjalan baik tanpa keterlibatan warga.
Dalam hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Susi Dewi Harijanti menjelaskan bahwa warga tidak hanya diajak berdialog secara tatap muka karena pasti yang datang hanya segelintir.
”Perlu ada sosialisasi jangka waktu panjang, meminta pendapat setiap warga bisa dengan metode polling ataupun survei agar pendapat mereka benar-benar didengar, tidak hanya sekelompok orang yang mengatakan mereka perwakilan dari komunitasnya,” katanya.
Deputi Gubernur Jakarta Bidang Pengendalian Penduduk dan Permukiman Suharti menjabarkan bahwa pihaknya terbuka dengan berbagai macam dialog dengan kerja. Ia menyadari bahwa masalah hak milik lahan merupakan kunci dari terciptanya kolaborasi. Pastinya ada jalan keluar mengenai warga yang telah turun-temurun tinggal di tanah milik pemerintah daerah tanpa harus melakukan relokasi karena kehidupan warga sudah terpatri di lahan itu.
Beberapa skema yang ditawarkan Pemprov DKI Jakarta ialah hak guna lahan dan hak guna bangunan. Sistem ini diterapkan di Kampung Akuarium. Menurut Suharti, lama hak guna masih didiskusikan. Sejauh ini penawaran pemerintah adalah 60 tahun, tetapi warga masih memikirkan pilihan yang lain.
”Pengelolaan wilayah juga diserahkan kepada warga melalui koperasi. Jadi, warga yang menentukan biaya perawatan wilayah, kebersihan, sampai piket untuk menjaga keamanan,” ujarnya.
Menurut dia, ada 21 kampung prioritas yang akan ditata. Jumlah itu di luar 200 rukun warga kumuh yang juga perlu dibenahi. Terdapat pula kebutuhan untuk merapikan wilayah permukiman yang rawan terkena banjir agar tidak digenangi air lagi pada musim hujan. Pembenahan permukiman warga kini juga harus diselaraskan dengan kebutuhan menjaga kebersihan serta kesehatan lingkungan demi menangkal pandemi.