Tempat Usaha dan Tempat Kerja Wajib Mendata Pengunjung dan Karyawan
Memudahkan penelusuran kasus, pengusaha diminta menerapkan pendataan karyawan dan pengunjung baik elektronik maupun manual. Pemprov DKI didorong menyiapakan aplikasi terstandar agar pendataan akurat dan tersimpan baik.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai bagian dari upaya penelusuran kasus selama pandemi Covid-19, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meminta semua tempat usaha dan tempat kerja untuk menerapkan pendataan pengunjung dan pekerja. Dinas terkait tengah menyosialisasikan secara masif aturan yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Nomor 101 Tahun 2020 itu.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah, Rabu (14/10/2020), menjelaskan, sebetulnya saat Pemprov DKI mulai menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi pada Juni silam, aturan pendataan pengunjung di tempat usaha itu sudah diterapkan, antara lain di tempat-tempat wisata dan di sejumlah pusat perbelanjaan. Namun, di area perkantoran, tempat usaha, perhotelan, hingga tempat usaha mandiri belum banyak yang melakukan pendataan ini.
”Jadi metode itu bukan kita terapkan pada saat kita menerapkan PSBB transisi saat sekarang saja di mana kita meminta perusahaan untuk mendata pekerjanya, pengunjungnya lewat aplikasi, apakah lewat QR atau aplikasi lain boleh saja. Ini supaya bisa melakukan pencegahan Covid-19. Apakah itu pekerjanya atau pengunjungnya terkonfirmasi sehingga peningkatan jumlah peyebaran bisa kita tekan,” kata Andri.
Dijelaskan oleh Andri, Pemprov DKI tegas menegakkan aturan itu karena dilatarbelakangi timbulnya kluster perkantoran yang cukup besar angka kasusnya pada masa PSBB transisi jilid I pada 5 Juni-13 September 2020.
”Ini saya bicara latar belakangnya dulu. Pada masa PSBB transisi sebelumnya, untuk pendataan ada yang melakukan ada yang tidak melakukan sehingga kasus, terutama di kluster perkantoran, meningkat,” ujarnya.
Pada PSBB transisi sebelumnya, yang sudah melaksanakan pendataan itu adalah sejumlah pusat perbelanjaan, perhotelan, dan tempat-tempat pariwisata. Namun, secara umum karena angka kasus terus tinggi, DKI sempat kembali ke PSBB yang diperketat.
Kemudian, ketika akhirnya Pemprov DKI menerapkan kembali PSBB transisi, pendataan ini salah satu yang wajib dilakukan, yaitu secara elektronik, tidak hanya dengan QR code.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dalam keterangan resmi tentang penerapan kembali PSBB transisi di DKI Jakarta, Minggu (11/10/2020), menjelaskan, ada sejumlah ketentuan baru yang harus dipatuhi semua pihak.
Kebijakan baru yang diterapkan dalam PSBB masa transisi adalah pendataan pengunjung dan karyawan dalam sektor yang dibuka dapat menggunakan buku tamu (manual) ataupun aplikasi teknologi yang telah berkolaborasi dengan pemerintah untuk memudahkan analisis epidemiologi khususnya pelacakan kontak erat terhadap kasus positif. Adapun informasi yang harus tersedia, yaitu nama, nomor telepon, dan nomor induk karyawan (NIK).
Dengan cara itu, Pemprov DKI Jakarta dapat melaksanakan kegiatan penelusuran secara masif selama PSBB masa transisi. Di sisi lain, Anies mengungkapkan, kegiatan pengetesan maupun upaya isolasi dan perawatan di rumah sakit akan terus ditingkatkan kapasitasnya.
Andri, yang juga Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah (PPKUKM) DKI Jakarta, menambahkan, pendataan juga akan menyasar ke usaha-usaha mandiri di luar usaha yang ada di dalam pusat perbelanjaan.
”Ini juga harus dilakukan sampai ke usaha mandiri supaya kalau ada yang terpapar kita mudah penelusuranya,” kata Andri.
Ketua Badan Pengurus Daerah PHRI DKI Jakarta Krishnadi menjelaskan, PHRI sudah menyosialisasikan ketentuan itu kepada para anggota PHRI DKI Jakarta. ”Intinya adalah kita mengikuti anjuran pemerintah untuk mendata pengunjung. Didata, tapi tidak mesti pakai QR Code. Gubernur juga sudah ekspos bahwa pakai QR Code boleh, pakai buku tamu pun boleh, yang penting terdata. Jika nanti ada korban, ada yang positif mudah penelusurannya,” katanya.
Untuk ketentuan baru itu, menurut Krishnadi, sosialisasi sudah langsung diberikan kepada 200-an anggota PHRI DKI Jakarta. Tepatnya pada Minggu (11/10/2020) sore lalu. Sosialisasi selain melalui grup komunikasi, juga PHRI menyurati langsung para anggota.
Sarman Simanjorang, Ketua Dewan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, menjelaskan, terkait ketentuan itu mesti dipahami tujuan dari program QR Code ini sebenarnya dalam rangka mempermudah pelacakan jika tamu tersebut tertular Covid 19 sehingga mudah antisipasi. Kemudian sekaligus melakukan pengawasan tingkat kepatuhan pengusaha akan aturan yang hanya memperbolehkan kapasitas pengunjung atau tenaga kerja sebesar 50 persen. Kemudian, pemprov dapat memanfaatkan program ini untuk menunjang kebijakan identitas tunggal bagi warga Jakarta.
Hanya, lanjut Simanjorang, dalam penerapannya seharusnya pemerintah melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha secara intensif. Dengan demikian, pengusaha dapat mempersiapkan perangkat pendukung dan hal-hal terkait lainnya. ”Sejauh tidak memberatkan dari sisi pembiayaan, pengusaha pasti akan mendukung program ini,” ujarnya.
Hanya saja, apabila memang bila dibandingkan dengan PSBB transisi jilid I, yakni masih banyak yang belum melaksanakan program tersebut, ia melihat perlu ada persiapan. Persiapan yang dimaksud baik dari sisi pengadaan peralatan, tenaga, alur pelaksanaan program, dan sosialisasi kepada pelanggan/pengunjung.
Harus ada aplikasi terstandardisasi
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengatakan, terkait ketentuan baru tersebut, pendataan di perkantoran dan manufaktur tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah pendataan di sektor kuliner.
Untuk pengunjung di tempat usaha kuliner, dengan waktu yang terbatas di tempat makan atau restoran, mereka mempertanyakan pendataan itu. Apalagi, nomor telepon genggam itu sifatnya pribadi.
Selain itu, pemerintah juga mengatakan, pendataan, selain dengan menggunakan teknologi, juga bisa dengan manual. Apabila dengan manual, Diana menyatakan kekhawatirannya bahwa data itu tidak akan terintegrasi dan tidak akan terlindungi.
Seharusnya, lanjut Diana, Pemprov DKI Jakarta menyiapkan aplikasi pendataan yang terstandar sehingga bisa dipergunakan oleh semua pihak yang mesti melakukan pendataan. Data itu juga harus tersimpan oleh Pemprov DKI sehingga semua akan terproteksi. ”Kalau tidak, ini yang dikhawatirkan,” kata Diana.
Sementara Andri melanjutkan, upaya pendataan itu merupakan satu dari 19 poin protokol kesehatan yang wajib dilakukan pelaku usaha. Itu tertuang di dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf q Pergub No 101 Tahun 2020. Hal itu juga ada di Pasal 12 Ayat (1) huruf i. Di sana sudah disebutkan adanya aturan pendataan pengunjung yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, pengelola, penyelenggara atau penanggung jawab perkantoran, tempat kerja, tempat usaha, tempat industri, perhotelan, tempat wisata, juga oleh pengelola rumah makan, kafe, atau restoran.
”Untuk pelaksanaannya kami menyosialisasikan melalui asosiasi secara terus menerus,” ujar Andri.
Apabila tidak dilaksanakan, sanksi sudah diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 dan 6. ”Kebijakan ini bukan hanya untuk kepentingan pemerintah, tapi juga untuk kepentingan Anda juga. Ini memberi pesan kepada pengusaha dan masyarakat, mau PSBB ketat, transisi, itu tergantung kepada kedisplinan masyarakat dan pelaku usaha,” kata Andri.