Pemerintah Diminta Awasi Ketat Mobilitas, Tes, dan Pelacakan
Pemerintah jangan tidak boleh kecolongan dengan membiarkan bebas mobilitas warga. Pelonggaran PSBB dan aksi demonstrasi akan berdampak kluster keluarga semakin luas.
BOGOR, KOMPAS — Pekan ini, Satuan Tugas Nasional Covid-19 mulai meninjau kesiapan dan kelayakan satu hotel di Kota Bogor untuk penanganan pasien tanpa gejala. Sementara itu, pelonggaran di Jabotabek dan aksi demonstrasi dikhawatirkan berdampak kluster keluarga semakin meluas. Pemerintah perlu memikirkan lagi untuk mengawasi ketat mobilitas warga dan mengencarkan tes kesehatan dan pelacakan.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pengajuan hotel sebagai tempat isolasi pasien Covid-19 dengan gejala ringan atau orang tanpa gejala (OTG) sedang dalam peninjauan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Jawa Barat, salah satunya tentang skema pembiayaan.
Baca juga: Tempat Usaha dan Tempat Kerja Wajib Mendata Pengunjung dan Karyawan
”Seperti yang disampaikan Pak Luhut (Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional), sistem pembiayaan diserahkan ke BPKP dan BNPB. Kita akan percepat agar hotel ini bisa segera digunakan,” kata Bima, Rabu (14/10/2020).
Bima melanjutkan, Pemkot Bogor dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI)) akan menyerahkan data hotel ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dari data tersebut, BNPB akan menerima data okupansi hotel dalam tiga bulan terakhir. Dari situ akan disepakati angka pembiayaannya.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim menambahkan, pekan ini Satuan Tugas Nasional Covid-19 berencana menguji kelayakan hotel yang dijadikan tempat isolasi pasien OTG. ”Satgas nasional minggu ini akan mulai proses. Semoga minggu segera diselesaikan dan segera bisa digunakan secepatnya. Ada 300 kamar yang disiapkan,” kata Dedie, yang belum bersedia menyebut nama hotel tersebut.
Dedie menuturkan, meski sudah memiliki gedung BNN Lido, pemerintah setempat masih perlu menambah tempat isolasi karena melonjaknya pasien OTG di Kota Bogor. Penambahan tempat isolasi fasilitas non-kesehatan diharapkan dapat menekan kasus terutama dari kluster keluarga yang masih cukup tinggi. Isolasi mandiri di rumah memiliki risiko penularan lebih tinggi untuk lingkungan sekitar.
”Hotel yang kami pilih bukan hotel dengan sistem pendingin udaranya sentral. Jadi, sirkulasi hotel ini memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga risiko penularan Covid-19 dapat ditekan. Warga yang terkonfirmasi positif OTG akan segera pindahkan. Doakan segera terealisasi agar kluster keluarga tidak semakin meluas,” kata Dedie.
Bima melanjutkan, meski ada penyesuaian kebijakan pelonggaran unit usaha karena pihaknya akan tetap memantau dan mengawasi protokol kesehatan terutama di lingkungan keluarga dan perkantoran.
Bima kembali menegaskan, jika melihat tren, kluster keluarga penyumbang terbesar kasus positif. Namun, jika didalami, kluster keluarga terpapar dari tempat kerja dan luar kota. Penularan lebih minim terjadi di rumah makan dan restoran.
”Kami mengimbau perkantoran membentuk satgas sendiri dan nanti kami akan cek. Satgas kantor harus berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 Kota Bogor. Pengetatan protokol kesehatan di kantor seperti maksimal 50 persen, pekerja dengan penyakit penyerta bekerja di rumah,” kata Bima.
Upaya lain untuk menekan penularan di lingkup keluarga dan perkantoran, menurut Bima, ialah melacak minimal 20 kontak erat per kasus. Kasus positif yang ditemukan akan dipetakan berdasarkan tingkat risiko kesehatan. Warga dengan gejala ringan atau OTG akan diisolasi di BNN Lido dan satu hotel yang saat ini masih disiapkan.
Sementara itu, setelah Wisma Makara Universitas Indonesia batal menjadi tempat isolasi pasien Covid-19, Pemkot Depok bergegas menyiapkan fasilitas non-kesehatan lain. Pejabat Sementara Wali Kota Depok Dedi Supandi mengatakan, pihaknya bergerak cepat untuk menyiapkan fasilitas non-kesehatan agar kluster keluarga tidak semakin meluas.
”Kami segera siapkan agar warga yang positif agar bisa segera dirawat. Pak Gubernur Kamil juga sudah memerintahkan Sekda dan BPKP segera mengambil langkah untuk membuat standar harga di hotel atau wisma versi BPKP sesuai dengan administrasif keuangan. Ada satu gedung saat ini yang kami siapkan,” kata Dedi.
Diberitakan sebelumnnya, Kompas (13/10/2020), hingga saat ini ruang isolasi khusus pasien OTG juga tidak kunjung beroperasi. Padahal, sangat dibutuhkan. Kluster keluarga di Kota Depok juga cukup tinggi dan perlu segera ditangani, salah satunya dengan penyediaan ruang isolasi.
Kamil mengatakan, salah satu fasilitas non-kesehatan, seperti Wisma Makara Universitas Indonesia, seharusnya sudah bisa digunakan untuk pasien OTG agar menekan okupansi di rumah sakit rujukan dan penularan Covid-19 di lingkup keluarga. Namun, Kamil yang dijadwalkan mengunjungi Wisma Makara batal datang melihat fasilitas non-kesehatan untuk pasien OTG tersebut. Rombongan mobil Gubernur Jawa Barat tersebut justru berbalik arah menuju Jalan Tol Cijago.
Dedi mengatakan, pihak Wisma Makara Universitas Indonesia mengundurkan diri. Alasan pengunduran diri ialah dalam kurun waktu sepekan terakhir belum ada kesimpulan dan titik temu terkait teknis penggunaan Wisma Makara sebagai tempat ruang isolasi OTG.
”Belum ada kesimpulan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sehingga terjadi last business, dari aspek bisnis. Sementara kontrak tidak kunjung tiba. Wisma Maskara sebenarnya layak, tetapi mereka mundur untuk menangani Covid-19,” kata Dedi.
Gagalnya Wisma Makara Universitas Indonesia sebagai ruang isolasi pasien Covid-19, menurut Dedi, menjadi evaluasi agar ke depan saat hendak digunakan sebagai ruang isolasi tidak batal di tengah jalan.
”Ini bagian yang dievaluasi juga dengan Pak Gubernur Kamil dan Pak Menko Luhut yang kesimpulannya, kapasitas untuk penanganan baik itu di hotel maupun wisma diserahkan dari keputusan rapat video conference kepada gubernur masing-masing, lalu dikomunikasikan dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata Dedi.
Pengetatan
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, adanya pelonggaran di Jabodetabek, khususnya di Jakarta, akan membuat arus massa kembali ramai. Hal ini akan semakin berisiko pada penularan yang lebih luas terutama di perkantoran yang bisa berujung pada penyebaran di keluarga. Jika tidak ada pengetatan dan pengawasan protokol kesehatan, wilayah Jabodetabek akan semakin terjerat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, setiap kepala daerah dan pemerintah pusat kembali memetakan permasalah penyebaran di perkantoran.
”Tugas selanjutnya adalah pengawasan 50 persen di kantor, ini harus dan penting mengawasi protokol kesehatan. Juli-Agustus sebenarnya orang sudah mulai masuk kantor. Kemudian mudah sekali penyebarannya karena tidak ada kontrol dan pengawasan ketat. Tak heran, Agustus-September kemarin angka kasus di perkantoran meningkat. Ini yang perlu diantisipasi dan jangan sampai kecolongan lagi. Dampaknya di keluarga, ini sudah terjadi dan semakin tinggi,” kata Pandu.
Pandu menuturkan, setiap kebijakan pelonggaran akan selau berisiko terhadap peningkatan status atau kenaikan jumlah kasus. Selain masalah pelonggaran yang menimbulkan pergerakan massa di Jabodetabek dan perkantoran, peristiwa demonstrasi juga semakin menambah permasalahan dalam penanganan pandemi Covid-19.
Dua masalah tersebut, menurut Pandu, dikhawatirkan menimbulkan lonjakan kasus dalam satu-dua minggu ke depan. ”Masalah besar kita ada dua, yaitu pelonggaran dan demonstrasi yang sama-sama berefek pada keluarga. Runtutan demo kemarin banyak anak muda turun dan mereka sangat berisiko tertular dan kemungkinan akan berstatus tanpa gejala. Kalau pulang rumah atau kos. Ini yang kita khawatirkan, meluasnya paparan di keluarga dan perkampungan juga,” tutur Pandu.
Pandu melanjutkan, tes kesehatan massif aktif harus digencarkan lagi oleh pemerintah. Selain itu, hasil tes juga harus cepat keluar maksimal dalam satu hari agar penelusuran dan pelacakan kontak erat dengan kasus positif segera dilakukan. Penelusuran suspek atau kontak erat juga perlu lebih gencar dan sebanyak mungkin minimal 20 orang.
”Pemerintah harus bergerak cepat, harus segera. Pelacakan harus gencar. Yang suspek, yang positif, segera dibawa dan masuk ruang isolasi yang sudah disiapkan agar kluster keluarga tidak semakin meluas,” kata Pandu.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengatakan, pemerintah pusat perlu mengambil kebijakan untuk merangkul kepala daerah di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, yang merangkul wilayah Jabodetabek, untuk merumuskan pengetatan.
Baca juga: Tanpa Isolasi Ketat, Risiko Kluster Keluarga Pasca-Unjuk Rasa di Depan Mata
”Setiap kepala daerah perlu sinergi lebih kuat, bolanya ada di pemerintah pusat. Ini situasi kita semakin rawan dengan adanya pelonggaran dan aksi demonstrasi. Pemerintah harus semakin mengawasi protokol kesehatan tidak hanya di kantor tapi semuanya. Mobilitas warga juga penting diawasi, kalau perlu dibatasi. Oleh karena itu, jika pemerintah serius, seharusnya ada kebijakan mengatur kembali pengawasan ketat dan mobilitas warga di Jabodetabek ini,” kata Trubus.
Trubus melanjut, intervensi langsung oleh pemerintah sangat penting karena setiap kepala daerah di Bodetabek tidak bisa menahan atau mengawasi langsung pergerakan warganya untuk datang ke Jakarta yang saat ini sudah melonggarkan kebijakan PSBB.