Bijak Bermobilitas, Cegah Penularan Covid-19 Semakin Luas
Pembatasan mobilitas dilakukan untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Namun, upaya tersebut akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi kesadaran warga agar tidak tertular dan menularkan virus.
Oleh
Albertus Krisna
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pengendara sepeda motor berjalan di samping bus TransJabodetabek yang melintas di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Selasa (22/9/2020). Mobilitas warga selama pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap kedua cenderung tetap tinggi.
Pandemi Covid-19 telah mengubah pola pergerakan warga. Dibandingkan awal tahun 2020, kini tren mobilitas warga lebih banyak terpusat di area tempat tinggal. Secara nasional, menurut hasil analisis Google dalam ”Covid-19 Mobility Reports”, rata-rata mobilitas hariannya melonjak hingga 9,7 persen.
Dari 34 provinsi, lonjakan mobilitas di tempat tinggal ini paling tinggi ditemukan di Jakarta. Dari 15 Februari hingga 4 Oktober 2020, tercatat rata-rata peningkatannya hampir 15 persen. Selain di Jakarta, kenaikan mobilitas di kawasan rumah juga terjadi di Bali (14,3 persen), Banten (13,4 persen), Jawa Barat (12,8 persen), Yogyakarta (12,3 persen), dan Jawa Timur (11,5 persen).
Tingginya aktivitas warga DKI Jakarta di rumah selama masa pandemi tidak lepas dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah berlaku sejak awal pandemi. Mulai dari PSBB pada 10 April 2020, PSBB transisi 4 Juni, dan terakhir pengetatan PSBB 14 September 2020. Melalui kebijakan ini, seluruh kegiatan nonesensial dibatasi dan warga diharapkan bekerja dari rumah (work from home).
Meski demikian, penerapan kebijakan ini tidaklah mudah. Di balik tingginya peningkatan mobilitas warga di rumah, Jakarta merupakan provinsi terpadat di Indonesia dengan 10,5 juta penduduk pada 2019. Belum lagi di tahun yang sama, BPS mencatat ada sekitar 1,2 juta pelaku komuter dari wilayah Bodetabek yang setiap hari hilir mudik ke Jakarta.
Catatan BPS Februari 2020 menunjukkan, 30,9 persen pekerja di DKI menggeluti sektor jasa, seperti penyediaan akomodasi makan minum, transportasi pergudangan, jasa keuangan, konstruksi, hingga jasa kesehatan. Pekerjaan jasa ini menuntut warga untuk tetap bekerja di luar rumah.
Tantangan
Memasuki minggu keempat pemberlakuan pengetatan PSBB, pertambahan kasus Covid-19 di DKI Jakarta mulai melandai. Data Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan, akumulasi kasus selama minggu ketiga PSBB sebanyak 8.409 atau turun 0,8 persen dari minggu sebelumnya. Sama halnya dengan akumulasi minggu pertama sebanyak 7.746 atau turun hingga 1,8 persen.
Penurunan kasus ini merupakan berita baik sekaligus sebagai tantangan ke depan. Jumlah kasus harian di Jakarta dibandingkan provinsi lain tercatat paling tinggi. Jakarta juga masih menjadi episentrum penularan Covid-19. Hingga 4 Oktober, akumulasi kasus di provinsi ini mencapai 78.850 atau 25,98 persen dari total kasus nasional.
Dari total kasus itu, 64.299 atau 81,46 persen di antaranya telah dinyatakan sembuh. Namun, masih ada kasus aktif sebanyak 12.866 (16,32 persen). Angka ini pun terpantau terus meningkat dibandingkan tanggal 27 September yang masih 12.426 kasus.
Maraknya orang tanpa gejala (OTG) juga menyebabkan penularan virus dapat terjadi di mana saja, membentuk kluster-kluster baru, dan tidak semua dapat dideteksi. Hingga awal Oktober 2020, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti menyebutkan, 53 persen dari total kasus aktif masuk dalam kategori OTG ini (Kompas.id, 2/10/2020).
Sementara itu, dari 4 Juni hingga 30 September 2020, Pemprov DKI baru berhasil mencatat 519 kluster penularan dengan total 5.462 kasus. Kasus terbanyak justru berasal dari kluster perkantoran, mulai dari kantor swasta sebesar 20,6 persen, kantor kementerian 23,7 persen, kantor badan atau lembaga pemerintah 13,1 persen, hingga petugas lapangan Pemprov DKI Jakarta 7,4 persen.
Banyaknya kasus dari kluster ini seirama dengan mayoritas penderita Covid-19 yang mengelompok pada usia produktif. Hingga 4 Oktober, sebanyak 30,83 persen dari total kasus positif di Jakarta merupakan warga usia 30-45 tahun. Setelah itu usia 19-30 tahun (25,14 persen) dan usia 46-59 tahun (23,11 persen).
Banyaknya OTG dan penderita usia produktif ini menjadi tantangan ketika mereka kembali ke rumah. Risiko penularan virus akan muncul, terutama pada anggota keluarga lansia atau komorbid dengan penyakit bawaannya. Kasus meninggal paling banyak berasal dari kelompok usia ini, yaitu lebih dari 59 tahun (46,23 persen) dan 46-59 tahun (38,40 persen).
Kesadaran
Di tengah upaya pemprov menggalakkan PSBB, kesadaran warga akan pentingnya proteksi diri justru masih lemah. Dari 14 September hingga 2 Oktober 2020, tim gabungan operasi yustisi di wilayah Jakarta mencatat ada 42 kantor dan 413 restoran yang ditutup sementara karena melanggar protokol kesehatan.
Di lapangan, petugas juga menindak hingga 108.088 pelanggar protokol kesehatan. Ada juga 31.968 pelanggar mendapat sanksi sosial dan 1.780 pelanggar sanksi denda administrasi dengan total sekitar Rp 360,1 juta (Kompas.com, 2/10/2020).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Suasana penumpang yang akan masuk Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, saat jam pulang kerja, Jumat (4/9/2020).
Alasan ketidakpatuhan ini terekam pada hasil survei BPS pada 7-14 September 2020. Sebanyak 55 persen responden mengungkapkan alasan tidak adanya sanksi. Kemudian 39 persen responden menjawab tidak ada kejadian penderita Covid-19 di lingkungan sekitar. Alasan lainnya (33 persen), adanya protokol kesehatan menyulitkan proses bekerja.
Soal sanksi sudah diterapkan. Selanjutnya dengan alasan, baru akan mematuhi protokol kesehatan jika ada penderita di lingkungan sekitarnya harus diluruskan. Keberadaan OTG membuat masyarakat harus waspada pada penyebaran virus ini. Justru dengan penerapan protokol kesehatan, potensi kejadian Covid-19 di lingkungan sekitar akan berkurang.
Mobilitas adalah hal penting yang tidak dapat dihindarkan. Proteksi diri melalui penerapan protokol kesehatan merupakan langkah terbaik. Kesadaran warga akan hal ini harus terus digaungkan agar tidak menjadi tertular atau menularkan virus ke orang lain. (LITBANG KOMPAS)