Perusakan Fasilitas Umum Merugikan Kepentingan Publik
Unjuk rasa dengan cara merusak dapat menyusahkan publik sebagai pengguna aktif fasilitas umum. Sebagian pelaku unjuk rasa mengaku terpicu oleh amarah saat melakukan aksinya.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Unjuk rasa vandalistis atau yang bersifat merusak, bagaimanapun praktiknya, cenderung merugikan publik yang menjadi pengguna aktif berbagai fasilitas umum. Ahli memandang cara tersebut egois dan tidak tepat sasaran dalam penyampaian aspirasi.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, memahami unjuk rasa terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja adalah bentuk kekesalan publik terhadap pemerintah yang tidak membuka ruang dialog. Namun, saat mulai terjadi perusakan fasilitas umum, publik yang akan paling merugi. Sebab, kepentingan fasilitas itu ditujukan untuk kalangan publik secara luas.
"Saya paham ada kekesalan, frustrasi dan emosi dengan respons pemerintah saat ini. Namun, aksi vandalisme tetap merugikan publik secara keseluruhan. Dengan kata lain, kalau publik marah terhadap proses yang terjadi di pemerintah, maka tidak pada tempatnya merusak halte bus, dan berbagai fasilitas umum lain," ungkap Imam, Jumat (9/10/2020).
Mengutip kompas.com, pada unjuk rasa Kamis (8/10/2020) lalu, terdapat 20 halte di Jakarta dirusak massa. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperkirakan terjadi kerugian lebih dari Rp 55 miliar.
Perbaikan atas fasilitas umum yang sudah segera dilakukan. Untuk halte bus yang rusak ringan, Pemprov DKI menargetkan dapat menyelesaikan awal pekan depan, Senin (12/10/2020). Sementara, untuk sejumlah halte yang terbakar butuh waktu perbaikan sekitar dua bulan atau lebih. "Hari ini akan dilakukan review atas kerusakannya. Nanti sesegera mungkin kami susun langkahnya, tapi kami ingin ini berfungsi cepat seperti juga kebersihan," tutur Anies Baswedan.
Sejumlah warga menyayangkan perusakan fasilitas tersebut. Sumardjo (50), pengguna rutin bus Transjakarta, terpaksa pergi ke kantornya di Grogol, Jakarta Barat, dengan mobil pribadi.
Terpicu amarah
Aksi vandalisme yang pecah pada kemarin sore itu tidak terlepas dari pancingan kerumunan massa. Sejumlah peserta aksi sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi saat aksi, termasuk apabila terjadi kerusuhan. "Kalau sudah rusuh, godaan untuk merusak barang menjadi sangat besar. Mudah-mudahan enggak kejadian seperti itu," jelasnya saat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Imam mengatakan, perusakan fasilitas umum itu terjadi karena massa yang marah. Kemarahan massa tidak tiba-tiba muncul, tetapi dipicu oleh pemerintah yang kurang membuka dialog terkait pembahasan RUU Cipta Kerja kepada publik.
Ia menyayangkan kurangnya keterbukaan terkait pembahasan regulasi, sehingga ada kesan menimbulkan kecurigaan publik. Adapun kecurigaan serupa juga telah terpupuk sejak pembahasan Pilkada 2020, sehingga kini muncul kemarahan publik.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, mengatakan, Presiden Joko Widodo sebagai inisiator UU Cipta Kerja perlu mengundang pihak-pihak terkait untuk berdialog. Mereka meliputi pemimpin buruh, organisasi keislaman, dosen, dan guru besar yang menolak pengesahan UU. ”Perlu ada dialog dengan mereka karena di dalam masyarakat terdapat ketidakpercayaan,” tuturnya, kemarin.
Azyumardi juga mengimbau tokoh dan pemimpin demonstran untuk mengendalikan massa agar tak bertindak anarkistis. Tindakan anarkistis akan berujung pada perusakan fasilitas umum yang merugikan publik. Di sisi lain, polisi jangan sampai bertindak berlebihan. Kepala Polri perlu menginstruksikan jajarannya di lapangan supaya tetap melakukan pengamanan secara terkontrol dan terukur.
Meski di tengah kepasifan respons pemerintah, Imam berharap pengunjuk rasa selanjutnya bisa beraksi tanpa vandalisme. Menurut dia, ada banyak cara unjuk rasa yang lebih mengena ke publik dibandingkan dengan aksi yang vandalistis.
"Dalam pengerahan massa yang besar, saya memahami akan sulit sekali menghindari vandalisme. Tapi vandalisme hanyalah satu dari sekian cara. Ada baiknya unjuk rasa menganut prinsip Ahimsa atau antikekerasan seperti yang disebarkan oleh Mahatma Gandhi. Bisa melalui petisi, pertunjukan seni, selama pesannya benar-benar tersampaikan," kata Imam.