LBH: Penahanan 1.192 Demonstran Tidak Tepat
Polisi menangkap 1.000-an orang yang disebut perusuh saat terjadi unjuk rasa, Kamis (8/10/2020). LBH Jakarta menegaskan, penahanan itu tidak tepat karena mereka ditangkap sebelum ikut unjuk rasa.
JAKARTA, KOMPAS -- Aparat Polda Metro Jaya menahan 1.192 peserta aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Jakarta. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Jumat (9/10/2020), menjelaskan, 1.192 orang yang diamankan tersebut datang dari beberapa daerah di luar Jakarta. Mereka disebut datang ke Jakarta tidak murni untuk mengikuti aksi demonstrasi menolak RUU Cipta Kerja.
”Kedatangan mereka memang bertujuan merusuh. Itu bukti yang kami peroleh dari telepon seluler mereka,” ujar Yusri di Polda Metro Jaya.
Polisi hingga saat ini telah mengambil keterangan dari 1.192 orang yang ditahan. Mereka diduga merupakan bagian dari kelompok Anarko. Mayoritas dari mereka masih berstatus pelajar dan berasal dari sejumlah daerah di Jawa Barat, seperti Bogor, Purwakarta, dan Karawang.
Selain 1.192 orang itu, masih ada 285 orang lagi yang terindikasi terlibat dalam aksi kerusuhan karena membawa senjata tajam dan melawan petugas kepolisian. Sebanyak 23 personel kepolisian menderita luka-luka setelah terlibat bentrok dengan peserta demonstrasi. Kepala Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota Komisaris Besar Sugeng Hariyanto menjadi salah satu yang menderita luka di bagian wajah.
Baca juga: Coretan Kekecewaan Pengunjuk Rasa
Dampak demonstrasi yang berakhir rusuh itu, 18 pos polisi dan pos pengamanan dirusak. Sebanyak 9 pos pengamanan dibakar dan 9 lainnya rusak berat. Halte Transjakarta tidak luput dari aksi pembakaran. Dari data yang dihimpun polisi, ada 16 halte Transjakarta yang rusak dan dibakar massa. Sehari pascademonstrasi, Yusri mengklaim Jakarta sudah kondusif.
Polisi menduga ada pihak tertentu yang menggerakkan 1.192 orang tersebut menuju Jakarta. Dari keterangan yang diperoleh polisi, mereka mengaku mendapat undangan mengikuti demonstrasi di Jakarta. Kebutuhan akomodasi dan transportasi mereka ditanggung.
Meskipun demikian, ketika disinggung mengenai pihak yang mendanai keberangkatan 1.192 orang tersebut, Yusri menyampaikan, hal itu masih dalam penyelidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
”Kami masih dalami. Kami ambil keterangan mereka semua. Ini bisa membantu penyidik. Kami ambil rekaman perusuh yang sedang merusak dan kami cari keterangan saksi yang lain,” ujarnya.
Saat unjuk rasa, Kamis, sebagian mahasiswa yang turun ke jalan menduga ada provokator yang memicu ricuh saat aksi. ”Kalau menurut saya, itu karena ada provokatornya,” kata perwakilan mahasiswa dari Semarang, Jawa Tengah, Aska Muqorobin (Kompas.id, 8 Oktober 2020).
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengecam kekerasan yang dilakukan polisi saat menangani peserta unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja. Menurut Asfinawati, banyak saksi mata yang melaporkan ke YLBHI bahwa ada peserta aksi unjuk rasa yang diamankan polisi sebelum ikut aksi.
YLBHI mencatat ada 1.579 orang yang ditangkap polisi di wilayah Jabodetabek. Data tersebut dikumpulkan YLBHI dan bersumber dari pengaduan masyarakat. ”Jadi bagaimana bisa merusuh kalau sampai di tempat aksi saja belum,” katanya.
Ia mendesak Presiden dan Kapolri bertanggung jawab atas tindakan penangkapan terhadap peserta aksi. Kekerasan yang dilakukan polisi, menurut Asfinawati, mencederai keadilan dan menodai aspek kebebasan menyampaikan pendapat.
Baca juga: Abstraksi Imaji Pascaamuk Demokrasi
Terkait penangkapan para terduga perusuh yang di dalamnya mencakup buruh serta pekerja, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia Dika Moehammad menjelaskan, organisasinya yang merupakan bagian dari Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) mematuhi proses hukum. Oleh sebab itu, hendaknya polisi melakukan penyelidikan terbuka untuk membuktikan keterlibatan setiap individu.
Jangan menutupi apabila ada fakta bahwa unjuk rasa disusupi pihak-pihak lain yang memang bertujuan anarkistis. Di samping itu, juga berikan akses hukum kepada mereka yang ditangkap untuk menjamin proses hukum berkeadilan.
Fokus pada isu utama
Di luar masalah penahanan orang-orang saat unjuk rasa, para pegiat hak dan kesejahteraan buruh mengajak agar para pengunjuk rasa di DKI Jakarta tetap pada tujuan untuk meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Jangan sampai tujuan itu tercemar perilaku anarkistis yang menjauhkan simpati publik dari kepentingan bersama.
Hal tersebut, antara lain, disampaikan Dika Moehammad. FRI, menurut Dika, turut berunjuk rasa karena meyakini RUU Cipta Kerja ini memiliki proses pembahasan yang tidak komprehensif dan banyak pasal di dalamnya justru merugikan hak pekerja, buruh, serta lingkungan hidup.
Unjuk rasa berlangsung ricuh dengan perusakan sejumlah kantor pemerintah dan fasilitas umum. Salah satu yang dirusak ialah bagian dari fasilitas milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dika memaparkan, FRI bersama para buruh dan pekerja melakukan jalan kaki damai dari Salemba, Jakarta Pusat, menuju Tugu Tani. Tiba-tiba, di Tugu Tani mereka disambut tembakan gas air mata oleh sejumlah aparat penegak hukum sehingga barisan itu kocar-kacir.
”Kami tidak ingin akibat adanya kerusuhan ini perhatian publik teralihkan dari isu pokok, yaitu keadilan dan kesejahteraan bagi para pekerja. Oleh sebab itu, semua pihak yang berunjuk rasa agar tidak termakan hasutan dan fokus kepada meminta Presiden Joko Widodo membuat perppu,” kata Dika.
Ia menjelaskan, permintaan pembuatan perppu ini karena FRI tidak ingin mengikuti langkah birokratis, yaitu menggugat UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Alasannya, cara itu mengindikasikan pekerja dan buruh menyetujui bahwa UU Cipta Kerja merupakan solusi bagi masyarakat, padahal kenyataan membuktikan sebaliknya.
Menurut Dika, selama belum ada tindakan dari pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja atau membuat perppu, unjuk rasa akan terus ada untuk menuntut keadilan. Proses ini merupakan hak rakyat dalam demokrasi. Baik pihak pengunjuk rasa maupun aparat penegak hukum semestinya bersikap dewasa dengan mengutamakan pendekatan persuasif.
”Kita ingat waktu ada aksi 212 tidak ada kerusuhan karena baik polisi maupun pendemo sama-sama bersikap persuasif. Unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja juga bisa kondusif aman seperti itu,” ujarnya.
Dana Rp 55 miliar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat meninjau fasilitas publik yang dirusak ataupun dibakar massa, menyebutkan, total ada 20 halte yang rusak dengan perkiraan kerugian mencapai Rp 55 miliar. Selain itu, kerusuhan di hari Kamis turut merusak gedung bioskop Grand Theatre di Senen, Jakarta Pusat, serta empat rumah toko. Belum ada rilis mengenai kerugian materiil akibat aksi vandalisme itu.
Anies menyayangkan karena ruko-ruko yang dirusak adalah penerbit dan percetakan buku. ”Berapa banyak ilmu yang hancur karena aksi. Yang dirugikan pengusaha mikro, kecil, dan menengah,” katanya.
Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memanggil para pengusaha yang terdampak kerusuhan. Mereka akan diberi ganti rugi, kemungkinan dengan pinjaman modal untuk membangun kembali usaha mereka.
Baca juga: Perusakan Fasilitas Umum Merugikan Kepentingan Publik