Kisah dari Tengah Massa Unjuk Rasa RUU Cipta Kerja di Ibu Kota
Unjuk rasa sepanjang Kamis (8/10/2020) di pusat kota Jakarta tak hanya berujung bentrok, tetapi juga kerusakan publik dan luka bagi polisi dan demonstran. Ada ketakutan, ketidaktahuan, dan kekecewaan di sana.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Teriakan massa demonstran yang menentang pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di sekitar Bundaran Patung Arjuna Wijaya untuk bertahan dari tembakan gas air mata polisi, Kamis (8/10/2020), berubah menjadi teriakan kepanikan. Ketakutan.
Mereka yang sudah bertahan hingga pukul 15.30, akhirnya membubarkan diri karena rentetan tembakan gas air mata. Tembakan tersebut membuat massa terdesak dan lari ke arah Jalan Abdul Muis.
Tak sedikit massa yang terinjak dan pingsan. Banyak pula yang mengalami luka-luka, bukan karena bentrok langsung dengan petugas keamanan, melainkan karena terinjak dan saling sikut menyelamatkan diri dari kejaran polisi dan tembakan air gas. Gas air mata tak hanya memerihkan mata, tetapi juga membuat massa muntah-muntah, termasuk sejumlah wartawan yang masuk kerumunan massa.
Dulhadi (17) dan Aris (16) berjalan cepat membopong teman mereka, Ciko (16), menembus massa demonstran di Jalan Abdul Muis. ”Tolong, minggir, tolong. Kasih jalan, tolong minggir,” teriak Aris di tengah kerumunan demonstran, Kamis.
Napas Ciko tersengal, matanya berair, kepalanya basah oleh air bercampur darah. Dibopong dua temannya, tubuhnya seperti lunglai. Di tengah tembakan gas air mata yang terus menghujani kumpulan massa, ketiga pemuda itu terus berusaha lepas dari kejaran polisi.
Petugas di salah satu kantor di Jalan Abdul Muis membuka gerbang. ”Yang sakit masuk, yang sakit masuk,” kata petugas jaga kantor tersebut.
Mendengar teriakan petugas tersebut, Dulhadi dan Aris masuk ke gerbang itu. Di selasar kantor, dua pemuda itu membaringkan Ciko yang tak lagi bergerak, sejumlah petugas pun membawa air, kain, dan perlengkapan P3K untuk membantu Ciko. Tak sampai semenit, kantor tersebut ramai oleh korban yang kehabisan napas dan luka-luka.
Setelah mendapat perawatan, Dulhadi meninggalkan kedua temannya untuk masuk kembali ke barisan demonstran. ”Saya enggak apa-apa, masih kuat, masih bisa ikut demo. Saya akan bertahan. Kami rakyat bersuara untuk rakyat,” kata pria yang tak lulus STM di Jakarta Barat tersebut.
Alasan turun ke jalan
Ia mengaku turun ke jalan berunjuk rasa karena mengikuti ajakan teman-temannya untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Ia sendiri tak mengerti apa yang ia suarakan dalam aksinya.
Pelajar STM lainnya dari Bekasi, Jawa Barat, Odam (16) dan Fahmi (17), terpisah dari teman-teman yang berjumlah 10 orang. Sejak bentrok berakhir pukul 18.00 karena azan Magrib, mereka bersembunyi dari kejaran polisi. Namun, kata Odam, setiap bersembunyi dan berjalan seperti warga biasa, mereka terus diincar polisi.
”Setiap bertemu polisi kami ditanya terus. Kami enggak bilang kalau ikut demo. Akhirnya kami disuruh pulang. Tapi bertemu lagi polisi, ditanya-tanya lagi. Ini mau pulang ke Bekasi bingung, banyak polisi jaga. Sepeda motor kami juga enggak tahu di mana. Tunggu sampai kondusif dulu,” kata Odam.
Sama seperti pelajar lainnya, Odam dan Fahmi turun berunjuk rasa ikut ajakan yang tersebar di Facebook, Twitter, dan grup Whatsapp. Ajakan tersebut mereka anggap sebagai aksi solidaritas sesama teman STM.
”Kami mikir masa depan juga. Kan, undang-undang ini bermasalah. Nanti kami enggak bisa kerja,” kata Fahmi yang juga tak mengerti UU yang bermasalah seperti apa.
Hingga pukul 20.40, kedua pemuda ini masih bertahan di sebuah warung tak jauh dari Patung Arjuna Wijaya. Mereka tak berani beranjak masuk ke kawasan Patung Arjuna Wijaya karena polisi masih berjaga.
”Takut ditangkap polisi, takut dimarahi orangtua juga jam segini belum pulang. Mereka enggak tahu kami ikut demo. Tadi enggak izin. Kami datang pukul 11.00 tadi,” kata Odam.
Sementara itu, Bombom (18), mahasiswa Politeknik Negeri di Jakarta Selatan, mengatakan, ia datang bersama teman-teman sekampus sekitar 500 orang. Ia kesal unjuk rasa berakhir bentrok. Padahal, awal aksi tuntunan pencabutan keputusan RUU Cipta Kerja berlangsung damai.
”Kami datang bukan untuk rusuh. Murni kami datang untuk mempertanyakan keputusan anggota Dewan. Kami turun agar UU itu dicabut. Banyak pasal yang bermasalah,” kata Bombom.
Salah satu yang menjadi perhatian mahasiswa, kata Bombom, adalah terkait cuti dan jam kerja. Dua hal itu ia nilai melanggar hak para pekerja.
Selain itu, kata Bombom, ia menyesalkan aksi sejumlah oknum dan STM yang ikut turun ke jalan dan berakhir bentrok. ”Tidak perlu ada bentrok seperti ini, apalagi sampai merusak fasilitas publik. Kami bertahan untuk tidak bentrok, bersama teman-teman kampus lain menahan teman lainnya untuk tidak terpancing. Fokus apa yang menjadi tujuan awal,” katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, polisi akan menyelidiki perusuh yang merusak fasilitas publik, salah satunya Halte bus Transjakarta Harmoni, Bundaran Hotel Indonesia, Tosari, dan Sarinah.
Yusri mengatakan, massa yang terlibat kericuhan diduga sekelompok orang yang menyusup di tengah aksi unjuk rasa mahasiswa. ”Selain menyelidiki kerusakan fasilitas publik, kami menangkap sekitar 1.000 orang. Sementara korban polisi ada enam orang,” kata Yusri.
Setelah mereda, sekitar pukul 17.10, massa yang didominasi mahasiswa dan pelajar dari Merdeka Utara masuk kembali ke kawasan Patung Arjuna Wijaya menuju Jalan Merdeka Barat. Lagu-lagu penyemangat dan yel-yel berkumandang. Tak ada bentrok kali ini. Namun, massa tertahan oleh polisi dan TNI sehingga tak bisa maju lebih jauh. Massa akhirnya terbagi dua, bertahan di Merdeka Barat dan massa yang lain kembali ke Bundaran Patung Arjuna Wijaya.
Bentrok kembali pecah di bundaran itu, massa melempar petasan dan batu ke arah polisi, dan dibalas dengan tembakan gas air mata. Kumandang azan menghentikan bentrok tersebut.
Bentrok tak kunjung berhenti hingga pukul 18.30, membuat TNI turun menenangkan massa. Mereka meminta untuk tidak melanjutkan aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh.