Ragam Jenis Alat dan Reagen yang Berbeda-beda Memperlambat Hasil Tes PCR
Pemerintah bisa mengarahkan fasilitas kesehatan mengenai jenis alat dan reagen yang dipakai untuk tes PCR sehingga prosesnya seragam dan pemetaan hasil lebih mudah. Antrean hasil tes pun bisa dikendalikan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penentuan jenis alat dan reagen untuk tes reaksi berantai polimerase atau PCR oleh pemerintah tidak hanya membantu membuat tes ini terjangkau masyarakat secara luas, tetapi juga bisa membuat kecepatan tes dan analisis sampel terstandar waktunya. Hal ini akan mengurai kepadatan antrean sampel di laboratorium sehingga jumlah sampel yang dikaji bisa lebih banyak.
”Saat ini ada banyak ragam alat dan reagen PCR yang digunakan di fasilitas kesehatan. Memang untuk akurasi relatif setara, tetapi metode analisis dan lama waktunya berbeda-beda,” kata Guru Besar Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia Amal Chalik Sjaaf ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti mengungkapkan bahwa ada 54 laboratorium milik pemerintah dan swasta yang menjadi mitra Pemerintah Provinsi Jakarta dalam pengecekan sampel tes PCR. Awal pandemi Covid-19, bulan Maret, semua menyanggupi bisa mengkaji 1.000 sampel tes setiap hari. Ternyata, banyak laboratorium yang setelah berjalan hanya mampu mengetes maksimal 500 sampel per hari. Akibatnya, antrean sampel menumpuk dan penelusuran kontak erat terduga Covid-19 membutuhkan waktu berhari-hari.
Dari sisi rumah sakit (RS), Daniel Wibowo anggota Perhimpunan RS Indonesia, menerangkan bahwa tidak semua RS bebas menentukan jenis alat dan reagen yang dipakai. Ada RS yang mendapat reagen gratis karena bekerja sama dengan perusahaan pembuat alat, ada RS yang alat dan reagennya sepenuhnya sumbangan, dan ada beberapa RS besar yang bisa bebas mengganti alat dan reagen jika dibutuhkan.
Menanggapi hal ini, Amal memaparkan bahwa pandemi dari sisi kebijakan hukum adalah 100 persen tanggung jawab pemerintah, mulai dari pusat hingga daerah. Semestinya pemerintah yang mengarahkan fasilitas kesehatan mengenai jenis alat dan reagen yang dipakai untuk tes PCR sehingga prosesnya seragam dan pemetaan hasil lebih mudah.
Alat-alat ini seyogianya sudah masuk dalam daftar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pemerintah, bisa pada tingkat provinsi, memilih empat hingga lima jenis alat dari daftar ini dengan mempertimbangkan beberapa faktor. Pertama, alat tersedia dalam jumlah banyak dan pengadaannya mudah. Kedua, alat tersebut ramah digunakan oleh tenaga medis lokal.
Ketiga, alat mudah untuk dipelihara. Keempat, sebuah nilai plus jika alat tidak hanya untuk tes PCR Covid-19, tetapi juga bisa mendeteksi virus dan bakteri lain sehingga tidak mubazir ketika pandemi berakhir. Kelima, pemerintah bisa mendapat harga lebih murah jika membeli dalam jumlah banyak. Semua faktor ini ketika dihitung dengan biaya modal, operasional, dan layananm, tidak boleh melebihi Rp 900.000 sesuai surat edaran Kementerian Kesehatan.
”Setelah itu, baik pusat maupun provinsi, bisa mengeluarkan kebijakan mengenai jenis-jenis alat dan reagen yang bisa digunakan oleh faskes. Pengerucutan variasi ini mempercepat kinerja tes dan analisa sampel,” tutur Amal.
Terkait perusahaan pembuat alat dan reagen, menurut dia, hukum bisnis akan berlaku. Mereka akan beradaptasi dengan kebutuhan pasar, seperti mengubah tipe alat dan reagen sesuai yang dibutuhkan oleh Indonesia. RS dan klinik tidak perlu khawatir.
Data terintegrasi
Setelah mengerucutkan alat dan reagen PCR maksimal menjadi lima jenis, diperlukan integrasi data berbasis wilayah. Salah satu kendala belum maksimalnya penelusuran kontak erat pasien positif Covid-19 ialah belum semua faskes bisa membuat laporan harian kepada Dinkes Jakarta. Kian kompleks ketika individu yang dites di Ibu Kota ternyata bukan warga Jakarta.
Hal ini tampak dari pengetesan PCR di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, bulan Mei hingga Juni. Beberapa pembeli dan pedagang yang dites merupakan warga Bogor dan Depok di Jawa Barat serta Tangerang di Banten. Kepala Puskesmas Kebayoran Lama Rully Dewi Anggraeni, beberapa waktu lalu, mengatakan, pihaknya mengabari jika ada warga non-Jakarta yang positif ketika dites kepada Suku Dinas Kesehatan Jaksel yang meneruskan informasi itu kepada dinas kesehatan kabupaten/kota bersangkutan. Setelah itu, pihak Jakarta tidak tahu kelanjutannya.
”Penting untuk merumuskan aturan bersama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi secara komprehensif, mulai dari pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar, pengetesan dan penelusuran kontak, hinga isolasi. Pembagian kinerja berbasis wilayah itu tujuannya mengefektifkan pengelolaan data, tetapi tidak berarti egosektoral yang mengakibatkan satu wilayah masa bodoh dengan yang lain,” ujar Amal.
Satuan wilayah pemerintahan terkecil seperti kelurahan memiliki yurisdiksi atas semua fasilitas kesehatan di wilayahnya. Mereka yang bisa mengumpulkan data harian hingga jam tertentu dan diteruskan kepada kecamatan. Setelah itu kecamatan meneruskan kepada kabupaten/kota lalu provinsi. Jabodetabek bisa menyepakati tenggat waktu data per hari.