Upaya menjaga dapur tetap mengepul membuat para pedagang keliling di Ibu Kota jeli melihat situasi. Lokasi unjuk rasa menjadi salah satu ladang pengharapan untuk mengais rezeki.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Bagi pedagang kecil, lokasi unjuk rasa menjadi tempat favorit untuk menjajakan dagangan. Semakin banyak peserta aksi, kian besar peluang dagangan terjual. Di tengah pandemi Covid-19, mereka dituntut untuk lebih lihai mencari tempat berjualan agar asap dapur tetap mengepul.
Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, seketika berubah menjadi panggung para pedagang, Kamis (8/10/2020). Penjaja kopi, bakso, es krim keroncong, hingga es cendol berjejeran di pinggir jalan. Mereka terselip di antara polisi satuan brigade mobil yang menjaga kawasan ini. Para pengunjuk rasa yang memprotes Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja belum datang siang itu. Akan tetapi, gelagat aksi sudah tercium oleh pedagang sejak pagi.
Penjual es krim keroncong Ali (46) semula akan ke Pasar Asemka, Jakarta Barat. Saat melewati Lapangan Banteng, dia melihat banyak polisi. ”Lalu saya mikir, ini pasti ada demo. Makanya saya ke sini (Jalan Medan Merdeka Barat),” katanya.
Sepotong es krim dia jual Rp 5.000. Dia membawa satu tabung es krim. Jika semua habis, dia akan membawa pulang Rp 300.000. Siang itu, baru enam orang yang membeli dagangannya. ”Mudah-mudahan jadi demonya. Kalau enggak, rugi saya. Mending jualan di Pasar Asemka,” tambahnya.
Pedagang kopi keliling Husnul Khotimah (29) juga mengubah tempat jualan dari Pasar Tasik, Tanah Abang, ke kawasan Patung Arjuna Wijaya di Jalan Medan Merdeka Barat. Isu unjuk rasa sudah menyebar di kalangan pedagang pakaian di Pasar Tasik.
”Beberapa pedagang yang tinggal di Bandung pulang cepat pagi tadi. Mereka tidak mau terjebak demo. Karena toko-toko mulai tutup, saya langsung saja ke sini,” ujar perempuan asal Madura ini.
Tiba pukul 10.30, Husnul sudah menjual 10 gelas pada tengah hari. Setiap gelas dijual Rp 5.000. Jika ditambah es, harganya Rp 6.000.
Dia berjualan kopi sejak dua tahun lalu. Awalnya, hanya suaminya, yang juga pedagang kopi, yang bekerja. Sejak anak mereka mulai sekolah, uang yang dibutuhkan semakin besar. Kini, sepasang suami istri ini sama-sama mengadu nasib di Jakarta. Suaminya menjajakan dagangan di kawasan Kuningan, Jakarta, sementara Husnul di Pasar Tasik. ”Kalau enggak kerja keduanya, enggak cukup uangnya,” ucapnya lagi.
Pedagang siomai Ridwan Wijiastopo (30) mengayuh sepedanya dari Pademangan, Jakarta Utara, ke Jalan Medan Merdeka Barat. Sejak kemarin, ia mendapat informasi terkait unjuk rasa. ”Saya lihat di status WA (Whatsapp), teman pedagang bilang ada demo di Patung Kuda,” katanya.
Biasanya, pria asal Klaten, Jawa Tengah, ini menyasar pekerja proyek di Sarinah, Jakarta Pusat. Dia bisa menjual 50 porsi siomai sehari kepada pekerja proyek. Satu porsi dihargai Rp 10.000 ”Biasanya pekerja proyek keluarnya sore. Saya jualan di sana sampai isya. Ini kalau demonya enggak jadi, saya langsung ke Sarinah,” tuturnya.
Penjual bakso malang Lutfi (29) punya tips khusus saat berjualan di tengah unjuk rasa. Bagi Lutfi, lebih baik berada di belakang aparat ketimbang menggelar dagangan di tengah massa. Selain faktor keamanan, aparat sudah dipastikan akan membeli makan sebelum bertugas.
”Kalau pengunjuk rasa biasanya lebih banyak beli minuman ketimbang makanan. Belum lagi nanti risiko kena gas air mata kalau demonya rusuh,” ujarnya.
Para pengunjuk rasa yang memprotes Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja belum datang siang itu. Akan tetapi, gelagat aksi sudah tercium oleh pedagang sejak pagi.
Prediksi Lutfi tak meleset. Pengunjuk rasa mulai memadati kawasan di sekitar Patung Arjuna Wijaya pukul 13.30. Satu jam sesudahnya, situasi memanas dan aparat melepas gas air mata untuk mengurai massa.
Ketika gas air mata menyasar kerumunan, tidak hanya pengunjuk rasa yang kocar-kacir. Para pedagang pun turut berurai air mata.