Usia belia bukan halangan untuk bersuara menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disetujui wakil rakyat. K-Popers menggemakan penolakan ini lewat berbagai tagar hingga jadi tren perbincangan di Twitter.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Akun-akun dengan foto profil aktor dan aktris Korea dominan menggemakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Hasilnya berbagai tagar penolakan menjadi tren perbincangan di Twitter. Ternyata mereka juga punya keresahan terhadap aturan sapu jagat ini.
Drone Emprit mencatat tren perbincangan tentang RUU Cipta Kerja mulai berlangsung sejak 4 Oktober. Pada 4 dan 5 Oktober, kata kunci Omnibus Law, OmnibusLaw, Ciptaker, dan Cipta Kerja mulai jadi perbincangan sejak pukul 18.00 hingga puncaknya pukul 21.00 dengan 56.000 mention. Percakapan lalu perlahan turun ke 45.000 mention dan seterusnya.
Social Network Analysis pada pukul 17.00–22.00 menampilkan satu kluster besar, yakni kontra RUU Cipta Kerja. Akun-akun K-Popers mendominasi kluster ini diselingi akademisi, BEM, LSM, dan aktivis.
Iza (20) mahasiswi jurusan Hubungan Internasional turut menggemakan tagar penolakan RUU Cipta Kerja. Berulang kali K-Popers ini mencuit dan meretweet tagar GagalkanOmnibusLaw, JegalSampaiGagal, JEGALSAMPAIBATAL, MosiTidakPercaya, TolakOmnibusLaw, DPRRIKhianatiRakyat, OmnibusLawSampah, dan JegalOmnibusLaw.
"Ada obrolan sesama K-Popers di grup. Kami ngobrol bagaimana dampak RUU Cipta Kerja terhadap orangtua si A dan orang lain. Dari situ mulai sebarluaskan informasi tentang RUU ini ke teman-teman K-Popers lain," ucap Iza, Kamis (8/10/2020).
Anggota grup percakapan Iza berasal dari berbagai latar belakang seperti pelajar, pekerja, dan aktivis. Dari situ mereka mulai memilah-milah utasan dari sumber resmi atau kredibel supaya tidak terkecoh kabar bohong.
Mereka mencuitkan atau meretweet utasan berupa catatan kritis dari perguruan tinggi, LSM, dan aktivis. Salah satunya ulasan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada @PUKAT_UGM. Cuitan dan retweet ini muncul di lini masa pertemanan sehingga orang-orang dapat melihat, membaca, dan menyebarluaskannya. "K-Popers sudah sering memviralkan sesuatu. Tetapi RUU ini banyak suara (pendapat) dan adu argumen sehingga kami memilih suara yang kredibel dan mudah ditelaah," katanya.
Sebagian K-Popers juga secara spontan mencuit maupun meretweet penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Ada keresahan karena di tengah situasi pandemi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah justru fokus pada RUU ketimbang tingkatkan kapasitas tes, lacak, dan penulusuran Covid-19.
Rina (19) salah satunya. Mahasiswi jurusan Manajemen ini kesal lantaran pengesahan RUU Cipta Kerja tergesa-gesa dan tertutup. "Setega itu merugikan para pekerja," ujar K-Popers ini. Apalagi dari diskusi dengan dosen dan teman-teman sejurusan banyak kekhawatiran nasib pekerja dan lingkungan ke depannya belum tentu lebih baik.
Jasmine (27) meretweet paparan UU Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja supaya publik tahu dan menilai adil atau tidaknya. Spontanitas ini karena cukup banyak sesama K-Popers yang akan kena imbas apabila sapu jagat berlaku. "Salah satu cara familiar bagi kami untuk menyuarakan pendapat adalah membuat tren tagar di sosial media. Kami membantu masyarakat dengan cara itu," kata Jasmine.
Tidak ada keharusan untuk menggemakan penolakan. Sebab lingkungan K-Popers beragam, ada pekerja, aparatur negara, swasta, dan lainnya. "Spontanitas pribadi saja," ujarnya.
Pegiat media sosial Ismail Fahmi melihat gaung penolakan RUU Cipta Kerja lebih besar ketimbang aksi penolakan RUU kontroversi tahun lalu. Analisisnya lewat Drone Emprit mencatat tagar MosiTidakPercaya, tolakomnisbuslaw, tolakruuciptakerja, GagalkanOmnibusLaw, dan DPRRIKhianatiRakyat mencapai lebih dari 1,5 juta cuitan. "Akun-akun dengan foto profil aktor dan aktris Korea ini menaikan tagar penolakan RUU Cipta Kerja," ujar Fahmi.
Melejit
Prosen melejitnya tagar-tagar ini setelah DPR dan pemerintah mengesahkan RUU Cipta Kerja. Percakapan naik pesat dimotori narasi dari @PUKAT_UGM, LSM, dan aktivis. K-popers turut membaca narasi-narasi tersebut, lalu dalam waktu singkat membuatnya jadi tren pembicaraan.
Menurut Fahmi K-Popers punya cara khusus menaikan tagar sehingga tren. Ada kebiasaan di antara mereka untuk copy-paste narasi yang sudah ada sehingga tidak butuh waktu lama untuk berpikir menulis atau membuat narasi baru. "Tren bukan karena bot atau robot. Tetapi cara copy-paste supaya jadi tagar melejit. Percakapannya tidak terpusat, tetapi menyebar," katanya.
Di sisi lain mulai timbul melek persoalan politik di kalangan K-Popers yang dominan usia muda. Drone Emprit menemukan kecenderungan ini lewat viralnya puisi Wiji Thukul berjudul Peringatan (1986). Percakapan dengan kata kunci Wiji Tukul mulai ramai pada 5 Oktober pukul 19.00. Sehari berselang percakapan ini naik lagi pada pukul 11.00 hingga malam.
Social Network Analysis menunjukkan percakapan ini tersebar luas di lingkaran K-Popers. Berdasarkan analisa terhadap 17,43 persen dari 52.000 akun, ditemukan mayoritas usia 18 tahun ke bawah (57,59 persen). Disusul usia 19-29 tahun (37,29 persen), 30-39 tahun (2,86 persen), dan 40 tahun ke atas (2,27 persen).