Cegah Penularan, Perlu Aturan Berunjuk Rasa di Masa Pandemi
Peraturan Gubernur DKI tentang PSBB melarang adanya kerumunan, tetapi ada undang-undang di atas pergub yang menjamin hak menyampaikan pendapat. Perlu diantisipasi agar demo tidak jadi pusat penularan Covid-19.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menjelaskan, kerumunan apa pun, termasuk demonstrasi, berpotensi menimbulkan penularan Covid-19. Dengan demonstrasi yang terjadi di banyak tempat di Indonesia, peningkatan kasus dimungkinkan terjadi.
Menurut Miko, selama masa pandemi dan ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kerumuman bahkan demonstrasi dilarang. Namun, PSBB DKI saat ini baru sebatas diatur dalam peraturan gubernur. Sementara kebebasan menyampaikan pendapat merujuk pada aturan yang lebih tinggi dari pergub, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Untuk itu, seharusnya, dalam masa pandemi juga dibuat aturan mengenai cara menyampaikan pendapat. Aturan yang dimaksud, misalnya, antar-pengunjuk rasa harus menjaga jarak dan kerumunan maksimal lima orang. Selanjutnya, tidak perlu berbicara, berorasi, apalagi berteriak yang bisa digantikan dengan memakai tulisan saja. Hal ini supaya penyebaran Covid-19 bisa dihindari. Aturan itu kemudian hendaknya disosialisasikan kepada publik.
”Jadi, kerumunan apa pun, demonstrasi sekalipun, bisa menularkan Covid-19. Itu amat tergantung apakah ada kasus Covid-19 di sana, kemungkinan besar, sih, ada. Jadi, kalau ribuan demonstran, pasti ada yang positif dan akan menularkan ke yang lainnya. Untuk itu harus diantisipasi,” kata Miko.
Kenyataan di lapangan, para peserta demonstrasi berganti-ganti berbicara atau berorasi. Miko merujuk pada unjuk rasa di Filipina yang patut ditiru karena di negara itu sudah menerapkan aturan jaga jarak saat demonstrasi, pengunjuk rasa berkelompok masing-masing lima orang, tidak berbicara, membawa hand sanitizer, dan memakai masker.
Dengan adanya demonstrasi dan kerumunan, Miko menjelaskan, kasus positif akan meningkat. Untuk penambahan kasus, bisa dilihat dalam 3-7 hari ke depan, melihat ada gejala atau dari hasil tes.
”Apakah fasilitas kesehatannya cukup? Kita tunggu saja, kita lihat minggu ke minggu. Kalau minggu pertama setelah demonstrasi pertambahan kasus tidak dua kali lipat, aman. Kalau dua kali lipat pertambahannya, itu wow. Indonesia kasus harian sekitar 4.000. Kalau bertambahnya menjadi total 5.000, masih oke, fasilitas kesehatan tidak penuh. Kalau kemudian 8.000 atau 7.000 kasus, mungkin fasilitas kesehatan akan penuh,” tuturnya.
Adapun kasus positif di Jakarta per 8 Oktober 2020 ada penambahan 909 kasus. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia memaparkan, per Kamis ini, dilakukan tes PCR terhadap 9.435 spesimen. Dari tes itu didapati 909 kasus positif dan 6.450 kasus negatif.
”Namun, total penambahan kasus positif sebanyak 1.009 kasus, lantaran sejumlah 100 kasus adalah data positif dari tanggal 5 dan 6 Oktober yang baru dilaporkan. Untuk rata-rata tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 96.714 orang. Jumlah yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 61.971 orang,” tuturnya.
Adapun jumlah kasus aktif di Jakarta sampai saat ini sebanyak 13.202 (orang yang masih dirawat / isolasi). Sementara jumlah kasus konfirmasi secara total di Jakarta sampai hari ini sebanyak 83.392 kasus. Dari jumlah total kasus tersebut, yang dinyatakan telah sembuh sebanyak 68.352 orang dengan tingkat kesembuhan 82 persen. Total 1.838 orang meninggal dengan tingkat kematian 2,2 persen, sedangkan tingkat kematian Indonesia 3,6 persen.
Untuk positivity rate atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta sebesar 11,3 persen, sedangkan persentase kasus positif secara total sebesar 8,1 persen. WHO menetapkan standar persentase kasus positif tidak lebih dari 5 persen.