Tarif batas atas seharga Rp 900.000 masih belum terjangkau bagi sebagian warga. Mereka berharap tarif tes diagnosis Covid-19 itu terjangkau kelompok masyarakat yang lebih luas.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah penentuan batas atas tarif tes usap atau PCR menjadi Rp 900.000, sebagian warga masih merasa keberatan dengan harga tersebut. Mereka berharap ada skema pengaturan dari pemerintah agar tarif tes dengan akurasi tinggi itu lebih terjangkau.
Mereka mengeluhkan tarif tes untuk diagnosis Covid-19 di atas ketentuan pemerintah. Adapun ketentuan tersebut diatur dalam Surat Edaran Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR per 5 Oktober 2020. Pemerintah meminta seluruh penyedia fasilitas kesehatan, baik rumah sakit maupun klinik, memberlakukan tarif PCR paling mahal Rp 900.000.
Abu Athifah (30), warga Bekasi, Jawa Barat, mengakui harga Rp 900.000 jauh lebih murah dibandingkan dengan tes yang pernah dilakukannya, Agustus lalu, senilai Rp 1,5 juta. Meski kini lebih murah, dia merasa tarif tersebut tidak terjangkau untuk kemampuan keluarganya.
”Walau sekarang lebih murah, harga itu tetap enggak terjangkau buat saya. Saya sebelumnya rencana mau tes PCR untuk istri dan anak juga, berarti harus ngumpulin uang sampai gajian bulan depan,” kata Abu Athifah yang berprofesi penjual keramik, Rabu (7/10/2020).
Karena tarif yang kurang terjangkau, Abu cenderung mengandalkan tes cepat antibodi seharga Rp 150.000 untuk tes diagnosis Covid-19. Meski demikian, dia berharap dapat menjangkau harga tes PCR yang hasilnya lebih akurat.
Radinda Assyfa (28) juga menilai harga tes PCR itu kurang terjangkau. Selasa (6/10/2020) kemarin, dia mendapat publikasi harga dari Rumah Sakit Universitas Indonesia yang memasang tarif Rp 900.000 untuk tes PCR dengan hasil tiga hari kerja. Sementara untuk layanan ekspres satu hari kerja, dikenai tarif tambahan Rp 300.000.
Radinda juga menyayangkan tes PCR ekspres secara lantatur (drive-thru) di sana dikenai biaya tambahan Rp 500.000. ”Harga layanan regulernya memang Rp 900.000, tapi ada biaya tambahan untuk yang sehari jadi dan mahal sekali. Padahal, dengan batas atas harga tes, saya berharap pelayanan menjadi rata,” ujar pekerja bidang personalia di perusahaan teknologi itu.
Mai (33), warga Kembangan, Jakarta Barat, berharap pembiayaan tes PCR dapat disandingkan dengan program seperti BPJS Kesehatan. Dengan demikian, dia berharap tes bisa gratis dengan iuran yang rutin dibayarnya.
Terkait itu, Ketua Perkumpulan Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menyampaikan kalau fasilitas kesehatan (faskes) jangan menjadikan layanan tes PCR sebagai sektor yang wajib memberi laba ekonomi. Di tengah situasi pandemi, tidak setiap layanan perlu memberikan keuntungan. Faskes juga semestinya kreatif menyilang pendanaan dari sektor layanan lainnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir mengatakan, tarif batas atas berlaku untuk semua layanan pemeriksaan tes PCR, termasuk layanan tes dengan hasil yang cepat. Persoalan yang selama ini terjadi adalah adanya penetapan harga pemeriksaan yang bergantung pada waktu tunggu hasil tes. Makin cepat hasil tes keluar, harga yang ditawarkan pun semakin tinggi, bahkan sampai belasan juta.
Tarif belum sama
Kondisi tarif tes yang belum mengikuti ketentuan masih dilaporkan sejumlah warga pada Rabu. Hana Suryani (21), warga Bandung, Jawa Barat, yang tes pada Rabu ini menyebut dua klinik di Bandung masih menawarkan tarif tes PCR seharga Rp 1,3 juta.
”Belum semua lokasi menetapkan harga Rp 900.000. Karena itu, saya mencari lokasi tes yang telah ikut standar harga dari pemerintah,” tutur Hana saat dihubungi, Rabu sore.
Terkait hal itu, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan mengawasi secara ketat pelaksanaan tarif yang telah ditentukan. Pemerintah pusat juga akan melakukan pembinaan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan pemeriksaan tersebut (Kompas, 4/10/2020).
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Mirta Hediyati Reksodiputro, menuturkan, selain penetapan batas harga, pemerintah juga perlu menetapkan standardisasi mutu pelayanan dalam pemeriksaan tes PCR.
Biaya perawatan pasien
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menegaskan, seluruh pembiayaan pasien Covid-19 ditanggung oleh pemerintah. Pembiayaan ini termasuk perawatan pasien di rumah sakit rujukan Covid-19, rumah sakit lapangan, dan rumah sakit darurat yang ditunjuk untuk menangani Covid-19.
Adapun komponen pembiayaan pelayanan kesehatan yang ditanggung pemerintah di antaranya biaya administrasi pelayanan, akomodasi seperti layanan tempat tidur dan ruang isolasi, jasa dokter, pemakaian ventilator, obat-obatan, ambulans, dan kebutuhan pemulasaraan jenazah. Selain itu, pasien suspect dengan atau tanpa gejala serta pasien konfirmasi Covid-19 yang melakukan rawat jalan juga biaya perawatannya dapat ditanggung pemerintah.
”Jangan sampai ada rumah sakit yang merekomendasikan perawatan di luar standar yang ditanggung pemerintah. Untuk itu, semua rumah sakit diimbau mengevaluasi pelayanan yang dilakukan selama ini agar sesuai dengan tata laksana Covid-19 yang telah disetujui Kementerian Kesehatan,” kata Wiku.