Kemampuan Laboratorium Pemeriksa Sampel Tes Usap di Jakarta di Bawah Target Awal
Di tengah jalan, laboratorium-laboratorium swasta mitra Pemerintah Provinsi DKI Jakarta salah memperhitungkan kemampuan mereka.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kapasitas laboratorium di DKI Jakarta yang memeriksa sampel hasil tes reaksi berantai polimerase atau PCR ternyata meleset dari target awal. Banyak laboratorium yang di awal pandemi Covid-19 menyatakan mampu menganalisis 1.000 sampel per hari ternyata paling banyak memeriksa 500 sampel per hari.
”Evaluasi terus berjalan. Akan tetapi, memang harus diakui, laboratorium-laboratorium swasta yang menjadi mitra Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ternyata di tengah jalan salah memperhitungkan kemampuan mereka,” kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jakarta Widyastuti ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Dinkes Jakarta bekerja sama dengan 54 laboratorium untuk pemeriksaan hasil tes PCR guna melihat jika sampel usap tenggorokan ataupun kerongkongan itu positif memiliki virus korona jenis baru. Setengah dari laboratorium itu bagian dari program kerja sama sejak sebelum pandemi Covid-19. Sisanya laboratorium swasta berbayar yang diswakelola Dinkes Jakarta dengan memakai anggaran daerah. Semuanya telah diperiksa oleh para pakar seperti laboratorium klinis dan mikrobiologi untuk memastikan kelayakan alat dan metode.
Kami sudah menerima tiga laboratorium mobil dari BNPB. Belum beroperasi karena menunggu alat PCR dan reagen. (Widyastuti)
Widyastuti menjelaskan, laboratorium di bawah pengelolaan pemerintah beroperasi 24 jam setiap hari, termasuk Sabtu dan Minggu. Sebaliknya, laboratorium swasta bervariasi, ada yang hanya beroperasi lima hari dalam sepekan dan ada yang bisa menambah hingga enam hari. Hal ini yang mengakibatkan kendala sampel hasil tes PCR mengantre untuk diperiksa.
Menurut dia, solusinya menambah kapasitas laboratorium dengan membangun laboratorium-laboratorium baru. Hanya saja daerah lain juga memikirkan hal serupa sehingga para teknisi pembuat laboratorium sibuk dan Jakarta harus mengantre. Pembangunan laboratorium baru ini turut dibantu berbagai pihak, seperti Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Kami sudah menerima tiga laboratorium mobil dari BNPB. Belum beroperasi karena menunggu alat PCR dan reagen,” tutur Widyastuti. Terkait harga alat dan reagen, 54 laboratorium ini telah menyatakan sanggup menerapkan tarif maksimal sesuai dengan arahan Kementerian Kesehatan, yaitu Rp 900.000 untuk satu kali tes PCR.
Di samping itu, juga ada faktor masalah dari berbagai fasilitas kesehatan (faskes) yang mengadakan tes PCR. Peraturan pemerintah ialah faskes, baik milik negeri maupun swasta, wajib langsung melaporkan data individu yang dites beserta nama-nama orang yang diduga berkontak dengannya sebelum menjalani tes setiap hari. Kenyataannya, tidak semua faskes menyanggupi mengirim laporan harian. Beberapa menunggu hingga dua sampai tiga hari.
Penelusuran kontak
Sebelumnya, pakar Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Iwan Ariawan, mengkritisi lemahnya data penelusuran kontak pasien positif. WHO meminta setiap satu kasus positif harus menelusuri 30 kontak erat. Di Indonesia, standarnya adalah 10 orang kontak per satu kasus. Akan tetapi, di Jakarta yang tercatat oleh UI hanya 4 kontak per kasus.
”Kami juga menemui kasus pasien positif Covid-19 yang memeriksakan diri di faskes swasta. Pihak Dinkes Jakarta tidak mengontak mereka untuk melakukan penelusuran kontak. Pasien menghubungi sendiri orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya, tetapi tidak diketahui jika individu-individu itu kemudian memeriksakan diri dan mengikuti tes PCR,” paparnya.
Pada kesempatan berbeda, ahli perkotaan Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengkritisi minimnya data kluster. Di laman corona.go.id hanya ada nama kluster dan jumlah kasus positif. Namun, tidak ada keterangan waktu kejadian kluster, apalagi data kontak setiap kasus positif. Hal ini menyulitkan penelitian perkembangan pandemi bagi para akademisi.
Terkait hal ini, Widyastuti menjelaskan bahwa jumlah rata-rata penelusuran kontak per satu kasus adalah 6 orang per kasus. Kadang-kadang juga 8 orang. Mereka tidak hanya kontak yang menunjukkan gejala sakit, seperti demam, pilek, batuk, sesak napas, dan mengalami gangguan pencernaan, tetapi juga kontak dari definisi epidemiologis yang berarti orang-orang yang berinteraksi dengan terduga Covid-19.
”Dinas Komunikasi dan Informasi Jakarta juga sedang mengembangkan teknologi yang bisa memetakan dan memantau para kontak sehingga kita bisa mendapat data mereka,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihaknya juga terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai akademisi dan lembaga riset yang mau membantu memetakan data serta mencari solusi menangani pandemi. Pengawasan faskes dan laboratorium di luar 54 yang bermitra dengan pemerintah juga bisa dilakukan bersama-sama dengan masyarakat karena sumber daya manusia di Pemprov Jakarta terengah-engah melakukan pemeriksaan, penelusuran, dan perawatan sejauh ini.