Tanpa Pengetatan Mobilitas Warga, Kebijakan Pemkot Tangsel Disorot
Wilayah penyangga DKI Jakarta lainnya seperti Bogor dan Bekasi telah lebih dulu mendukung PSBB ketat DKI Jakarta dengan menerapkan batas jam malam.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS – Pemerintah Kota Tangerang Selatan belum menyesuaikan kebijakan pembatasan jam malam dengan wilayah penyangga DKI Jakarta lainnya. Keputusan itu dikritisi epidemiolog, Senin (5/10/2020), yang menilai upaya meredam penyebaran Covid-19 tidak bisa bersandar sepenuhnya pada kesadaran masyarakat.
Pada saat wilayah penyangga DKI Jakarta seperti Bogor, Depok, dan Bekasi turut mendukung pembatasan sosial berskala besar (PSBB) DKI Jakarta dengan menerapkan batas jam malam, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) bergeming. Belum ada tanda-tanda Pemerintah Kota Tangsel bakal mengikuti.
Kepala Seksi Penyelidikan dan Penyidikan Satuan Polisi Pamong Praja (satpol pp) Tangsel Muksin Al Fachry mengatakan, hingga saat ini anggota Satpol PP melakukan penertiban berdasarkan Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Perubahan Kelima atas Perwal Nomor 13 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka Penanganan Covid-19.
“Di perwal itu tidak membatasi jam operasional, tapi terkait dengan protokol kesehatan yang dijalankan. Artinya pengelola (rumah makan atau toko) harus memastikan kapasitas maksimal 50 persen dan pelayanan menggunakan sarung tangan dan face shield,” kata Muksin.
Apa yang terjadi di Tangsel kontradiktif dengan upaya pemerintah daerah di wilayah penyangga DKI Jakarta. Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor, misalnya, mendukung PSBB ketat DKI Jakarta dengan menerapkan batas jam malam. Meski, batas jam malam di wilayah tersebut berbeda-beda karena menyesuaikan dengan kondisi wilayah.
Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany pada beberapa kesempatan menyampaikan isyarat tidak akan mengetatkan PSBB di wilayahnya sebagaimana DKI Jakarta. Airin lebih memilih membiarkan restoran dan toko beroperasi tanpa batas jam asalkan pengunjung disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Kendati demikian, opsi mengetatkan PSBB Tangsel akan diambil bila situasi penyebaran Covid-19 di Tangsel dinilai sudah semakin mengkhawatirkan.
“Karena biar bagaimana pun juga, kami (Tangsel) kan PSBB. Ya (masyarakat yang datang untuk makan di restoran Tangsel) ikuti protokol kesehatan,” kata Airin (Kompas.id, 1/10/2020).
Kebijakan Airin tersebut dikritisi oleh sejumlah pihak. Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko, kebijakan batas jam malam diperlukan pemerintah daerah untuk mencegah adanya kerumunan warga, terutama di malam hari.
Bila pemerintah daerah bersikukuh tak menerapkan batas jam malam, dikhawatirkan penyebaran Covid-19 makin meluas akibat banyaknya kerumunan warga. “Karena kerumunan warga itu biasanya makin banyak setelah pukul 18.00,” kata Tri Yunis.
Adapun epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mempertanyakan pernyataan Airin yang mengedepankan penerapan protokol kesehatan oleh warga untuk meredam penyebaran Covid-19. Menurut Pandu, tidak ada yang bisa memastikan seluruh masyarakat bisa patuh menerapkan protokol kesehatan.
“Itu namanya pembiaran warganya berisiko. Ayo, dong, kepala daerah itu punya tanggung jawab melindungi warganya,” kata Pandu.
Hingga saat ini, penularan Covid-19 masih terus terjadi di Tangsel. Data harian Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Tangsel per 5 Oktober 2020 melaporkan tambahan kasus terkonfirmasi positif sebanyak 3 kasus sehingga total kasus positif Covid-19 di Tangsel menjadi 1.178 kasus. Selain itu, ada tambahan satu korban meninggal akibat Covid-19. Total korban meninggal akibat Covid-19 di Tangsel kini mencapai 59 orang.