Endapan Sampah Kali Blencong di Bekasi Capai 350 Ton
Persoalan sampah yang mengendap di aliran sungai menjadi masalah berulang di Kabupaten Bekasi setiap tahun. Di Kali Blencong, sampah yang diangkut mencapai 350 ton.
Oleh
STEFANUS ATO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampah yang mengendap di aliran Kali Blencong, Desa Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sudah selesai diangkut Pemerintah Kabupaten Bekasi pada Minggu (4/10/2020). volume sampah yang memenuhi aliran Kali Blencong sepanjang 200 meter itu mencapai 350 ton.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Peno Suyatno mengatakan, sampah yang mengendap di sepanjang aliran Kali Blencong diangkut petugas sejak 2 Oktober 2020. Selama tiga hari, petugas berhasil mengeluarkan total 350 ton sampah dari aliran kali yang bermuara di pesisir utara Jakarta itu.
”Hari ini, kami sudah selesai pengangkatan sampah di Kali Blencong. Fokus kami masih di Kali Blencong. Nanti secara berkala akan dilakukan pengangkatan sampah di wilayah lain di Kabupaten Bekasi,” kata Peno dalam siaran pers yang diterima Kompas, Minggu malam.
Sampah di Kali Blencong sudah mengendap di tempat itu sejak dua bulan lalu. Sampah itu diperkirakan tidak hanya dari wilayah Kabupaten Bekasi karena Kali Blencong mengalir dari hulu di Kota Bekasi.
Menurut Peno, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi sudah menyiapkan Pasukan Kepiting Muara atau petugas yang akan bertugas khusus mengawasi sampah di berbagai aliran sungai di daerah itu.
”Kami juga berharap agar masyarakat turut berperan. Kami berupaya membersihkan sampah, tetapi jika masyarakat tidak ikut andil juga akan terasa sulit,” ujarnya.
Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto mengatakan, persoalan sampah di aliran sungai tak hanya melanda Bekasi, tapi juga menjadi persoalan merata hampir di seluruh wilayah Jabodetabek. Sungai masih dianggap sebagai tong sampah raksasa.
”Masalahnya itu hierarki pengelolaan sampah belum dijalankan. Tiap daerah itu punya pemimpin formal dan informal. Namun, selama ini belum menyatu dan bersinergi mengelola sampah dari sumbernya,” ucap Bagong.
Menurut Bagong, pengelolaan sampah masih dipandang sebagai proyek yang berorientasi bisnis. Hal ini menyebabkan pemerintah cenderung berupaya memonopoli sistem pengelolaan sampah mulai dari rumah warga hingga ke tempat pembuangan akhir. Padahal, sudah banyak komunitas peduli lingkungan yang kian terlibat aktif dalam isu lingkungan, tetapi minim dukungan pemerintah.
”Dari hasil pendampingan kami ke beberapa komunitas yang ingin mengelola sampah itu, mereka tidak diakomodasi pemerintah. Kalau ada pendampimgan pun, teknologi yang diberikan tidak sesuai kebutuhan,” katanya.