Warga Miskin DKI Bertambah 1,11 Persen, Pemprov Didorong Memperbarui Data Penerima Bansos
Koalisi Pemantau Bansos Jakarta menemukan masih banyak warga yang tidak menerima bansos dan tidak terdaftar dalam penerima bantuan sosial. Pemprov DKI mesti memperbarui data supaya bansos tepat sasaran dan efektif.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret silam menyebabkan angka warga sangat miskin bertambah. Sayangnya, meski ada bantuan sosial yang didistribusikan pemerintah, pada kenyataannya ditemukan banyak masalah. Permasalahannya, di antaranya, ada banyak keluarga miskin yang tidak terdaftar sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH), juga ada penerima bantuan menerima bansos hingga dua kali.
Dika Muhammad, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), dalam webinar yang digelar Koalisi Pemantau Bansos Jakarta yang terdiri dari sejumlah organisasi nonpemerintah, seperti SPRI, IBP, FITRA, KOTAKOTA, Perkumpulan Inisiatif, dan KPRI, Jumat (2/10/2020), tentang kertas kebijakan reformasi perlindungan sosial menyatakan, dengan adanya pandemi lalu diikuti kebijakan pemberian bantuan sosial, SPRI melakukan audit sosial atau pendataan independen di 35 kelurahan di Jakarta.
Ari Nurman, Kepala Irdev Perkumpulan Inisiatif yang juga bagian dari Koalisi Pemantau Bansos Jakarta (KPB), menjelaskan, untuk bantuan sosial, monitoring diawali dengan pendataan warga miskin Jakarta pada 20 April-29 Juni 2002. Upaya itu mendapatkan data, ada 4.445 keluarga miskin di 98 kelurahan atau di sepertiga jumlah kelurahan di Jakarta.
KPB Jakarta kemudian dilakukan monitoring untuk bansos tahap 1 pada 30 April-13 Mei 2020; monitoring atas bansos tahap 2 pada 13 Juni-23 Juni 2020; dan monitoring atas bansos tahap 4 pada 24 Juli-10 Agustus 2020.
Dari temuan itu, kata Ari, meski warga miskin sudah terdaftar dalam PKH, tetapi mereka banyak yang tidak menerima bansos pemerintah atau malah ada yang dobel menerima. Untuk warga yang tidak mendapat bansos, itu berkaitan dengan masalah pendataan dan kuota PKH nasional.
Berangkat dari temuan pendataan warga miskin dan monitoring bansos di DKI Jakarta itu, Ari menambahkan, koalisi menawarkan beberapa solusi. Pertama, Pemprov DKI menyempurnakan proses pendataan warga miskin; memperbaiki proses pendataan dan pemeringkatan calon kepada penerima manfaat (KPM) PKH menjadi lebih terbuka, transparan, dan responsif; serta mempemudah proses pendaftaran aktif warga miskin.
Solusi kedua, Pemprov DKI memperbaiki sistem layanan bantuan sosial bagi warga miskin di masa pandemi Covid-19 di DKI Jakarta; dan memperbaiki bantuan sosial dalam hal bentuk, isi, volume, mekanisme penyaluran dan memperbaiki basis data penyaluran bantuan sosial.
Untuk DKI Jakarta, angka kemiskinan naik sekitar 1,11 persen. Dengan demikian, bila sebelum pandemi jumlah penduduk miskin 3,42 persen per September 2019, per Maret 2020 sudah menjadi 4,53 persen.
Dalam perbaikan proses pendataan warga miskin atau calon KPM PKH, Ari melanjutkan, maka solusi yang bisa ditawarkan adalah pemerintah memberikan kemudahan untuk fakir miskin dan orang tidak mampu melalui sejumlah cara. Pertama, pendaftaran aktif harus dibuka setiap saat, tidak hanya dua kali dalam setahun. Kedua, prosedur pendaftaran aktif harus menghilangkan birokrasi yang berbelit dan persyaratan dokumen yang menyulitkan.
Kemudian, khusus dalam implementasi PKH, maka pemerintah harus secara aktif menyosialisasikan kriteria keluarga penerima program PKH secara terbuka kepada warga dan aparat RT, RW, dan Kelurahan. Warga dilibatkan secara terbuka dalam proses pendataan, musyawarah kelurahan dan proses verifikasi dan validasi dibuka untuk umum, bukan hanya untuk undangan serta membuka hasil verifikasi dan validasi dan membuka proses dan hasil pemeringkatan. ”Warga calon KPM PKH berhak mengetahui ’nasib’ mereka,” kata Ari.
Untuk mengimplementasikan solusi yang koalisi tawarkan, Ari menambahkan, maka Pemerintah Pemprov DKI Jakarta harus mengintegrasikan proses pendataan dan pendaftaran aktif calon KPM dengan pelayanan administrasi kependudukan; memastikan agar proses musyawarah kelurahan untuk verifikasi dan validasi pendaftaran calon KPM transparan, partisipatif, dan akuntabel; serta memastikan adanya alokasi anggaran untuk memperbaiki data dan prosedur pendataan ini.
Angka kemiskinan DKI naik 1,11 persen
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, yang seharusnya hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut tetapi tidak bisa bergabung, memberikan apresiasi dan dukungan untuk perbaikan melalui video rekaman.
Dalam video yang diputar dalam webinar tersebut, Ahmad Riza mengakui, pandemi Covid-19 menambah jumlah warga miskin. Untuk Indonesia, jumlah penduduk miskin sebanyak 26,42 juta orang. Untuk DKI Jakarta, angka kemiskinan naik sekitar 1,11 persen. Dengan demikian, bila sebelum pandemi jumlah penduduk miskin 3,42 persen per September 2019, per Maret 2020 sudah menjadi 4,53 persen.
Ia setuju, penduduk miskin yang meningkat akibat pandemi Covid-19 harus sepenuhnya masuk ke dalam jangkauan perlindungan dan jaminan sosial pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta. Salah satu program yang sudah digulirkan adalah bansos dengan total penerima 2,46 juta keluarga dan disalurkan bagi warga di DKI Jakarta di daratan dan Kepulauan Seribu.
Ahmad Riza juga menyatakan, untuk bisa menyalurkan program bansos secara efektif dan tepat sasaran, diperlukan manajemen pendataan yang baik. Salah satunya seperti yang disarankan LSM yang selama ini fokus pada perlindungan sosial. Caranya, yaitu dengan memperbarui data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) melalui variabel khas daerah daftar negatif atau kriteria warga yang tidak layak daftar.
Dengan pembaruan dan perbaikan data, ia berharap penyaluran bantuan tidak lagi salah sasaran. ”Kami Pemprov DKI harus mampu turun tangan langsung melindungi warga, terutama yang kategori miskin dan rentan miskin,” ungkap Ahmad Riza.
Waode Herlina, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, dalam webinar itu mengapresiasi solusi perbaikan kebijakan perlindungan bantuan sosial yang sudah dibuat oleh Koalisi Pemantau Bansos. ”Ini sudah sangat jelas rekomendasi dan solusinya, misalnya dalam pendataan yang harus mudah, tidak berjenjang, terbuka dan akuntabel,” katanya.
Waode Herlina juga sangat tertarik dan berkomitmen mendiskusikan kertas kebijakan yang dibuat oleh Koalisi Pemantau Bansos DKI Jakarta.