Skeptis Pemerintah Bisa Tangani Covid-19, Lebih Baik di Rumah Saja
Di tengah maraknya ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan pencegahan Covid-19, sejumlah orang memilih tetap tegas pada diri sendiri, yaitu menjaga jarak dan aturan lain agar terhindar dari pandemi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Kian meningkatnya angka kasus positif Covid-19 membuat anak-anak muda yang bisa bekerja dari rumah memutuskan untuk nyaris tidak keluar rumah sama sekali selama pembatasan sosial berskala besar. Mereka skeptis bahwa pemerintah pusat dan daerah mampu menangani pandemi.
Maria Fatima (24) sudah hampir enam bulan berada di kamar kosnya di wilayah Palmerah, Jakarta Barat. Ia hanya keluar seminggu sekali, bahkan bisa juga dua minggu sekali untuk berbelanja kebutuhan pokok. Ia sangat mengkhawatirkan risiko tertular virus korona jenis baru sehingga memilih dicap paranoid oleh tetangga-tetangganya daripada menunjukkan batang hidungnya di luar rumah tanpa ada keperluan yang jelas.
”Waktu PSBB (pembatasan sosial berskala besar) transisi bulan Juni-Agustus kemarin pun sebenarnya kantor memperbolehkan untuk kembali bekerja ke lapangan. Tapi, saya selalu minta izin bekerja penuh dari rumah karena saya tinggal sendiri dan keluarga ada di luar kota,” kata Fatima yang bekerja di salah satu perusahaan media ketika dihubungi pada Rabu (30/9/2020).
Ia benar-benar mengubah gaya hidupnya. Jika dulu terbiasa makan di rumah makan atau warung, sejak April ia membiasakan diri memasak di dapur rumah kos. Segala kebutuhan pokok ia beli di swalayan yang dikunjungi sekali sepekan atau sekali dua pekan. Fatima masih menolak untuk mendatangi pasar tradisional karena takut dengan adanya kluster pasar meskipun jarak kos ke pasar dekat.
”Kalau untuk sayur dan ikan, saya masih membeli di tukang sayur keliling. Biasanya, saya telepon untuk memesan jumlah dan jenis sayur yang mau dibeli. Besoknya atau beberapa hari kemudian, tukang sayur akan mengantarkan ke kos,” tuturnya.
Ia mengakui menjadi antisosial secara fisik karena interaksi langsung dengan sesama penghuni rumah kosnya pun berkurang drastis. Walaupun demikian, Fatima tidak memedulikan omongan miring yang mengatakan dirinya berlebihan dalam menghadapi pandemi.
Kekhawatiran itu, menurut dia, bukan tanpa dasar karena wilayah permukiman padat tempat ia tinggal seolah tidak ada PSBB. Pengurus rukun warga memang rutin berkeliling menyosialisasikan 3M (memakai masker, menjaga jarak fisik, dan mencuci tangan dengan sabun), tetapi pengaruhnya di warga terasa lama. Setiap kali keluar kos untuk belanja di swalayan, Fatima memperhatikan warga memang sudah bermakser, tetapi pemakaiannya kadang tidak menutup hidung atau sekadar menutupi dagu.
Bahkan, di swalayan dan di jalanan, ia kerap melihat orangtua yang membawa anak kecil. Orangtua mengenakan masker, tetapi anaknya tidak. Mereka tetap berinteraksi dengan sesama warga tanpa menjaga jarak fisik. Wastafel-wastafel untuk mencuci tangan yang awalnya ada di setiap gang, kini jarang ditemukan.
”Di swalayan memang ada petugas keamanan yang selalu mengecek suhu dan membatasi jumlah pengunjung yang masuk. Tapi, mereka belum tegas menegur pengunjung yang memakai masker salah ataupun yang anaknya tidak mengenakan masker. Makanya, saya jadi makin khawatir tiap kali keluar rumah,” tuturnya.
Sementara itu, Ismoyo (29), warga Bendungan Hilir, juga memilih tetap tinggal di rumah. Sama seperti Fatima, wilayah tempat tinggalnya tidak menunjukkan tanda PSBB karena masih ramai dan warga mengenakan masker seadanya. Bedanya, ia masih keluar rumah untuk berolahraga, jalan sore, dan membeli makanan.
”Sejauh ini, sih, ada perubahan. Apalagi di bulan Mei sering ada razia petugas satpol PP (satuan polisi pamong praja), meminta pedagang kaki lima supaya bermasker. Memang masih ada satu dua orang didapati tidak bermasker,” tuturnya.
Kekhawatiran justru terjadi di tempat kerjanya di wilayah Sudirman-Thamrin. Sudah beberapa rekan kerjanya dinyatakan positif Covid-19. Bermula pada PSBB transisi ketika para karyawan, walaupun masuk kerja digilir 50 persen, sering duduk bersama untuk makan siang. Kebiasaan ini terbawa hingga Agustus dengan jumlah karyawan yang masuk di kantor tersebut mencapai 90 persen.
Satu orang terkena Covid-19 karena berkegiatan di luar dan menyebarkan ke rekan kerjanya ketika makan siang bersama. Setelah itu, satu demi satu rekan kerja Ismoyo mengungkapkan mereka terkena virus korona jenis baru. Adanya kejadian ini baru mengubah pola kerja di kantor dan kedisiplinan karyawannya untuk bermasker.
Jumlah kasus positif di DKI Jakarta mencapai 74.368 orang dan terus meningkat selama sepekan terakhir. Ada 12.317 kasus aktif yang masih dirawat ataupun menjalani isolasi. Sebanyak 60.320 orang dinyatakan sembuh dan 1.731 orang meninggal dunia.
Mengetatkan pasar
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Reynaldi Sarijowan menuturkan, keputusan warga untuk tinggal di rumah dan berbelanja di swalayan ataupun toserba memukul para pedagang pasar dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sejauh ini memang selalu ada dorongan dan pengarahan agar mereka bisa mengalihkan bisnis ke lapak daring atau setidaknya menggunakan media sosial untuk berkomunikasi dengan pelanggan. Akan tetapi, metode ini sulit diterapkan bagi pedagang pasar yang telah lansia.
Oleh karena itu, pengetatan pasar menjadi keniscayaan. Menurut dia, pedagang pasar memang masih ada yang belum memiliki pengetahuan mengenai bahaya Covid-19 dan dampaknya kepada kesehatan ataupun perekonomian. Akan tetapi, jika memakai bahasa bahwa apabila pedagang terkena Covid-19, mereka akan dipaksa berhenti berjualan selama 14 hari umumnya bisa meningkatkan kepatuhan mereka bermasker.
”Kami meminta pemerintah daerah, misalnya Pemerintah Provinsi Jakarta, membuat aturan mewajibkan semua pedagang pasar memakai sekat plastik guna membatasi interaksi dengan pembeli. Nanti, di setiap pasar, pengelola bisa berdialog dengan perwakilan pedagang tentang cara penyediaan sekatnya. Minimal begitu dulu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat,” tutur Reynaldi.
Selain itu, Ikappi juga meminta pemerintah pusat dan daerah meninjau kembali kebijakan jam malam, seperti di Depok dan Bogor. Berdasarkan laporan pengusaha warung, terjadi kepadatan pembeli di pagi hingga sore hari karena ketakutan kehabisan barang, terutama makanan. Padahal, tujuan jam malam itu ialah mengurai kepadatan.
”Adanya razia warung yang masih menyediakan layanan makan di tempat sudah cukup. Jangan pukul rata menimpakan kesalahan satu penjual kepada semua penjual di bisnis tersebut,” katanya.