Satu Kebijakan, Pemkot Bogor Batasi Jam Operasional Unit Usaha
Pemkot Bogor menyelaraskan satu kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Jabodetabek dengan membatasi jam operasional unit usaha hingga pukul 18.00.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, kembali membatasi jam operasional unit usaha bagi pengunjung yang makan di tempat hingga pukul 18.00, mulai 2-16 Oktober 2020. Langkah ini diambil Pemkot Bogor untuk menyelaraskan satu kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di Jabodetabek.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sekaligus Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan, salah satunya terkait pembahasan pembatasan jam operasional unit usaha.
”Sejalan permintaan Pak Luhut, agar kepala daerah di Jabodetabek, termasuk unsur TNI dan Polri di DKI Jakarta, Jawa Barat, serta Banten, jika mengambil kebijakan harus sejalan antara satu wilayah dengan wilayah lain di Jabodetabek. Ada beberapa keputusan atau kesepakatan yang diambil Pak Menko dan didukung Ketua BNPB Doni Monardo, antara lain pengurangan jam operasional dine in (makan di tempat) di restoran. Terhitung Jumat besok, 2-16 Oktober 2020, layanan dine in di wilayah Jabodetabek dibatasi hingga pukul 18.00 WIB,” kata Dedie, Kamis (1/10/2020).
Dedie menambahkan, restoran, rumah makan, kafe, kedai, atau yang lainnya tidak boleh menerima tamu untuk makan di tempat pada pukul 18.00. Di atas jam tersebut, unit usaha hanya boleh menerima pesan-antar saja hingga pukul 21.00. Begitu pula dengan aktivitas warga dibatasi hingga pukul 21.00.
Dedie mengatakan, dari paparan Menko Luhut, tingkat risiko yang ada perlu dibarengi dengan satu kebijakan yang tepat mengingat ada pertimbangan-pertimbangan tentang kemampuan penanganan pasien Covid-19 secara medis. Jika tingkat risiko tidak ditekan, ketersediaan ruang isolasi dan tempat tidur akan terus meningkat.
”Paling tidak ini langkah yang paling simetris antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten agar di kemudian hari tidak terjadi pergeseran atau penularan lebih luas. Maksudnya, dengan kebijakan yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta (PSBB), ada warganya keluar makan di wilayah Jabodetabek yang lain, seperti Bogor. Ini hal yang mendasari Pak Menko mengambil keputusan tersebut dan harus dipatuhi,” kata Dedie.
Untuk mendukung penerapan kebijakan tersebut, kata Dedie, sesuai dengan arahan Menko Luhut, TNI dan Polri diminta untuk turun langsung mengawasi pelaksanaan kebijakan yang diambil pemerintah pusat. Selain itu, keberadaan tim elang juga akan membantu petugas TNI, Polri, dan Satpol PP untuk memantau kepatuhan protokol kesehatan di ruang publik dan tempat-tempat unit usaha. Sejauh ini, pengawasan oleh petugas gabungan membuat tingkat kedisiplinan di tempat unit usaha dinilai patuh aturan protokol kesehatan.
Jika melihat data, dari awal pandemi hingga saat ini, penularan di lingkungan sosial dan ditempat unit usaha sangat kecil. Jumlah kasus positif di lingkungan pertokoan dan pusat perbelanjaan ada 20 kasus (1,7 persen) dan pasar tradisional 8 kasus (0,7 persen). Meski begitu, Pemkot Bogor tetap tidak mau lengah dan terus mengawasi unit usaha yang tidak patuh protokol kesehatan atau menyebabkan kerumunan lebih dari ketentuan 50 persen agar tidak terjadi kluster baru.
Padahal, kondisi di ruang isolasi dan ketersedian tempat tidur dalam kondisi kritis. Dari awal pelonggaran pembatasan itu tidak sesuai dengan kondisi kasus positif yang terus meningkat. Dampaknya jangan dilihat dari sisi ekonomi saja, kesehatan juga sangat penting. Mau sampai kapan mengorbankan warga dan pasien. (Alif Noeriyanti Rahman)
Sementara itu, Juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana mengatakan, pihaknya sudah mendapat instruksi Gubernur Jawa Barat terkait pembatasan jam operasional unit usaha. Namun, saat ini pihaknya masih dalam pembahasan pelaksanaan pembatasan jam operasional unit usaha.
”Untuk pelaksanaan pembatasannya masih kami bahas. Tapi intinya, kami akan segera menyesuaikan arahan dari pusat dan Pemprov Jawa Barat dengan tentunya memperhatikan daerah sekitar,” kata Dadang.
Terkait penyedian ruang isolasi nonfasilitas kesehatan, lanjut Dadang, pihaknya saat ini dalam proses koordinasi untuk menggunakan Wisma Makara Universitas Indonesia dengan kapasitas sekitar 150 tempat tidur. Selain di Wisma Makara, Pemkot Depok juga mempertimbangkan Wisma Diklat Kemendikbud di Bojongsari, untuk dijadikan lokasi karantina pasien Covid-19.
Ketua Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia Kota Depok Alif Noeriyanti Rahman mengatakan, Pemkot Depok harus segera memutuskan kebijakan pembatasan aktivitas jam operasional unit usaha sebagai satu kebijakan serentak di Jabodetabek. Apalagi, sudah ada instruksi dari Gubernur Jawa Barat dan permintaan langsung oleh Menko Kemaritiman untuk membatasi.
”Langsung dijalankan, diimplementasikan, jangan tunggu-tunggu. Langkah pembatasan itu tidak hanya untuk mengurangi kedatangan warga Jakarta ke Depok dan wilayah sekitarnya, tetapi juga untuk kepatuhan protokol kesehatan warga Kota Depok sendiri,” kata Alif.
Alif menilai, pelonggaran pembatasan aktivitas di Kota Depok sebagai langkah blunder karena kasus positif di Kota Depok sangat tinggi yang kemudian berdampak pada penuhnya ruang isolasi di rumah sakit rujukan. Sementara Pemkot Depok juga belum menyediakan gedung nonfasilitas kesehatan sebagai ruang isolasi untuk pasien Covid-19. Berdasarkan pembaruan data Kamis (1/10), jumlah pasien terkonfirmasi mencapai 4.386 kasus, pasien sembuh 3.010 kasus, dan meninggal 138 kasus.
”Padahal, kondisi di ruang isolasi dan ketersediaan tempat tidur dalam kondisi kritis. Dari awal pelonggaran pembatasan itu tidak sesuai dengan kondisi kasus positif yang terus meningkat. Dampaknya jangan dilihat dari sisi ekonomi saja, kesehatan juga sangat penting. Mau sampai kapan mengorbankan warga dan pasien,” kata Alif.