Lalu Lintas Lebih Lancar karena PSBB, tetapi Angka Kecelakaan Meningkat
Pandemi Covid-19 yang memperbesar peran teknologi untuk menopang aktivitas manusia menjadi momentum tepat untuk mengakrabkan pengendara dengan sistem pengendalian kecepatan secara otomatis.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan sosial berskala besar yang diperketat kembali di DKI Jakarta membuat volume kendaraan yang lalu lalang menurun sehingga arus lalu lintas cenderung lebih lancar dibandingkan dengan saat PSBB transisi. Efek sampingnya, jumlah kecelakaan malah naik. Keleluasaan untuk melaju dengan kecepatan tinggi diduga sebagai salah satu faktor pemicu.
Selain jumlah kejadian, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan pun naik dibanding saat PSBB transisi. ”Mungkin karena volume kendaraan menurun, jalan lebih sepi, kecepatan kendaraan lebih tinggi. Akhirnya, ketika terjadi kecelakaan, tentu tingkat fatalitasnya lebih tinggi,” kata Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo, Kamis (1/9/2020).
Sambodo memaparkan, menilik perbandingan data antara saat PSBB transisi (31 Agustus-14 September) dan saat PSBB disertai pengetatan (14-27 September), jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat 1 persen, dari 168 kejadian menjadi 169 kejadian. Adapun jumlah korban meninggal karena kecelakaan naik 40 persen dari 10 jiwa menjadi 14 jiwa.
Selain itu, jumlah pelanggaran lalu lintas pun meningkat 6,43 persen dengan membandingkan data 7-13 September (PSBB transisi) terhadap data 14-20 September (PSBB), yaitu dari 21.908 pelanggaran menjadi 23.316 pelanggaran.
Sementara itu, volume kendaraan bermotor menurun 18,19 persen-21,45 persen dengan membandingkan data satu pekan sebelum PSBB terhadap data satu pekan selama PSBB. ”Kami menghitung dari lalu lintas di jalan-jalan protokol, terutama Sudirman-Thamrin, serta dari pintu-pintu tol, seperti Pintu Tol Halim yang dari arah Bekasi, Cililitan yang dari arah Jagorawi, dan Kebon Jeruk yang dari arah Tangerang,” ujar Sambodo.
Ia mencontohkan, di ruas Sudirman-Thamrin, volume pada 7 September tercatat 89.446 kendaraan. Adapun pada 14 September atau hari pertama PSBB dengan pengetatan, volume kendaraan 70.509 unit atau turun 21,1 persen.
Pola ini sudah terlihat sejak pembatasan jarak fisik (antara lain penerapan kerja dari rumah, pembelajaran jarak jauh, dan pembatasan operasional angkutan umum) mulai digaungkan sebelum Pemerintah Provinsi DKI secara resmi menggunakan PSBB per 10 April. Dari 9-15 Maret (sebelum pembatasan fisik) ke 16-22 Maret (masa pembatasan fisik), jumlah kendaraan di setiap Gerbang Utama Tol Dalam Kota dan Tol Prof Sedyatmo turun 15,2 persen-29,4 persen.
Sementara itu, jumlah kecelakaan lalu lintas pada 15-21 Maret sebanyak 113 kejadian, berkurang hanya 13 kejadian atau 10 persen dibandingkan dengan pada 8-14 Maret yang sebanyak 126 kejadian. Jumlah korban meninggal malah naik 100 persen, dari lima orang menjadi 10 orang. Jumlah korban luka berat juga naik, dari 11 orang menjadi 12 orang (9 persen).
Leksmono Suryo Putranto, Guru Besar Ilmu Transportasi dan Rekayasa Lalu Lintas Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara, berpendapat, penurunan volume kendaraan dan kenaikan jumlah kecelakaan merupakan hubungan yang logis. Sebab, penurunan volume kendaraan biasanya disertai peningkatan kecepatan kendaraan.
Leksmono menyebutkan, ia sedang membimbing skripsi tiga mahasiswa yang mengkaji penyebab pengemudi cenderung menambah kecepatan di tempat yang salah. Ia meminta mereka meneliti bagaimana hubungannya dengan sifat suka mencari sensasi, suka menyalahkan orang lain, dan mudah bosan. Namun, riset belum usai dan mereka masih mengumpulkan data.
”Intinya, ada banyak faktor mengapa manusia meningkatkan kecepatannya, tetapi yang jelas, kecepatan adalah faktor yang paling banyak membunuh manusia,” kata Leksmono. Ia mencontohkan, kecepatan kendaraan di jalan-jalan lokal idealnya 30 kilometer per jam. Lebih dari itu, jika terjadi benturan, tubuh manusia tidak mampu menahan dengan baik.
Koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman) Edo Rusyanto mengajak para pengendara dan pengguna jalan menggeser persoalan keselamatan lalu lintas dari sebatas kewajiban menjadi sebuah kebutuhan.
”Ketika keselamatan sudah menjadi kebutuhan, seseorang cenderung lebih disiplin dalam berlalu lintas dan sudi berbagi ruas jalan,” ujar Edo. Ujungnya, saat disiplin menguat, pelanggaran menyusut dan risiko kecelakaan kian kecil.
Leksmono menambahkan, pandemi Covid-19 yang memperbesar peran teknologi untuk menopang aktivitas manusia—guna menekan mobilitas dan memperkecil risiko penularan—menjadi momentum tepat untuk mengakrabkan pengendara dengan sistem pengendalian kecepatan secara otomatis. Pemerintah, pemerintah daerah, dan kepolisian didorong memperbanyak serta memperluas pemasangan kamera yang disertai pengukur kecepatan, yang rekamannya bisa menjadi alat bukti sah di pengadilan guna mengganjar sanksi ke pelanggar.