Kluster angkutan umum sempat dikhawatirkan merebak saat pandemi Covid-19. Kecemasan itu ditepis sejumlah pihak. Salah satunya berkat disiplin menaati protokol kesehatan.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·4 menit baca
Ada yang berubah di Stasiun Bogor saat ini. Nyaris tak ada lagi pemandangan penumpang berdesakan saat hendak naik kereta. Di dalam kereta di luar jam sibuk, penumpang masih bisa duduk hingga ke tujuan kendati kursi sudah diberi jarak.
Pemandangan itu tak hanya terjadi di Stasiun Bogor. Stasiun lain pun begitu. Tak ketinggalan halte-halte bus Transjakarta yang tampak digunakan segelintir orang saja.
Pandemi memang membuat orang mengurangi bepergian. Sebagian orang yang kudu keluar rumah memilih memakai kendaraan pribadi mereka. Kendati jumlah pengguna angkutan umum merosot tajam, masih saja ada orang yang memakai angkutan umum ke tempat tujuan mereka.
Angkutan umum yang dibicarakan di tulisan ini adalah angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya yang dioperasikan operator. Bagi KRL, misalnya, pada minggu keempat Juli 2020 mengangkut 3,4 juta penumpang atau sekitar 485.000 penumpang sehari. Dibandingkan tahun 2018, angka ini merosot sekitar 50 persen dibandingkan sebelum pandemi. Pada Mei 2018 saja, rata-rata 997.000 penumpang KRL sehari.
Penggunaan angkutan umum kian marak, antara lain, karena ada waktu tempuh yang bisa diprediksi, kenyamanan, serta tarif terjangkau. Ada sistem dalam penggunaan angkutan umum, seperti pemakaian uang elektronik sebagai tiket, pengaturan jam operasi, dan awak angkutan yang menjadi pekerja di operator.
Sistem yang dibangun di angkutan umum ini sedikit banyak ikut menyelamatkan awak angkutan dan penggunanya dari potensi penularan Covid-19. Transaksi nontunai, misalnya, mengurangi interaksi orang dan penggunaan uang kertas yang disebut sebagai salah satu medium penularan penyakit.
Pergerakan bus atau kereta juga bisa diatur demi mencegah penumpang berdesakan di dalamnya. Banyak sedikitnya kendaraan yang beroperasi diatur berdasarkan jumlah penumpang di jalur. Begitu juga jam operasi angkutan dan waktu keberangkatannya.
Penumpang menjalani pemeriksaan suhu tubuh di stasiun dan halte bus. Petugas juga mengatur jarak antarpenumpang. Tidak ketinggalan, subsidi pemerintah berperan penting bagi operator yang bertahan di tengah seretnya pemasukan saat ini. Subsidi ini sedikit banyak membuat sistem angkutan umum bisa diterapkan dengan baik. Pengaturan serupa itu sulit dilakukan di angkutan umum yang mengandalkan tiket sebagai pembayaran untuk awak angkutan.
Protokol kesehatan di atas penting dijalankan di ruang publik, tidak terkecuali di angkutan umum. Di awal pandemi Covid-19 merebak, angkutan umum dicemaskan menjadi salah satu kluster penyebaran virus korona baru. Apalagi minat orang memakai angkutan umum sebelum pandemi tergolong tinggi. Padatnya kereta atau bus terlihat hampir sepanjang hari.
Kecemasan itu tidak hanya muncul di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar lain di dunia. Tren perbaikan layanan dan perluasan jangkauan angkutan umum meningkatkan minat orang memakai moda ini.
Kekhawatiran merebaknya Covid-19 di angkutan umum tentu beralasan. Padatnya penumpang menyulitkan menjaga jarak satu sama lain. Belum lagi penumpang yang berada di dalam kendaraan yang tertutup selama melaju.
Namun, sejumlah negara sementara ini mendeklarasikan tidak adanya kluster angkutan umum. Salah satunya Jepang. Kunci keberhasilan pencegahan penularan virus korona baru di Jepang adalah kebiasaan memakai masker yang sudah mendarah daging, termasuk saat berada di angkutan umum. Kebiasaan memakai masker, bahkan masker bedah, bisa dilacak dari sejumlah informasi yang tersebar di internet.
Situs www.japantimes.co.jp pada 4 Juli 2020, pernah menulis kisah di balik kebiasaan orang Jepang menggunakan masker. Selain karena menjaga kesehatan, pemakaian masker juga memiliki aspek historis-kultural.
Kekhawatiran merebaknya Covid-19 di angkutan umum tentu beralasan. Padatnya penumpang menyulitkan menjaga jarak satu sama lain. Belum lagi penumpang yang berada di dalam kendaraan yang tertutup selama melaju.
Dalam artikel itu, Tamotsu Hirai, apoteker dan kolektor peralatan medis kuno menyebutkan, menutup mulut dengan kertas atau daun sakaki suci (cleyera Jepang) bisa mencegah napas seseorang yang dianggap bisa menodai ritual dan festival agama. Praktik yang berlaku sejak zaman Edo (1603-1868) ini masih dipatuhi di Kuil Yasaka di Kyoto serta Kuil Agung Otori di Osaka hingga kini. Kebiasaan itu bahkan merambah ke warga di seluruh wilayah Jepang.
Sebagian kalangan bahkan menyebutkan, pemakaian masker serta earphone di ruang publik menjadi penanda bahwa yang bersangkutan membutuhkan privasi. Produsen masker di Jepang juga memproduksi aneka ragam masker, semisal masker yang sesuai saat musim dingin tiba.
Selain itu, sebagian besar penumpang angkutan umum di Jepang secara sadar berdiam selama perjalanan. Seperti kita ketahui, droplet yang keluar saat berbicara atau menelepon menjadi medium penularan virus korona baru. Dengan menahan diri tidak berbicara selama di perjalanan, setiap orang mengurangi kemungkinan menularkan penyakit ini. Orang juga terbiasa tidak mengangkat telepon saat di kereta dan memilih bertukar pesan saja.
Kebiasaan itu menjadi kunci penentu belum ditemukannya kluster angkutan umum di Jepang. Kebijakan memakai masker, menjaga jarak, serta mengurangi berbicara saat di ruang publik ini juga menjadi bentuk kampanye operator kepada pengguna angkutan umum.
Barangkali, Indonesia tidak mempunyai cerita historis terkait pemakaian masker. Meskipun begitu, sebelum pandemi pun sudah ada pengguna angkutan umum yang terbiasa mengenakan masker.
Kebiasaan bermasker bisa dibangun saat ini. Unsur keharusan yang dikerjakan sejak awal pandemi diharapkan membentuk kebiasaan baru berangkutan umum dan di ruang publik pada umumnya. Siapa tahu, kebiasaan ini menorehkan kisah bermasker bagi anak-cucu kita kelak. Juga panduan kalau—semoga tidak—terulang pandemi di masa depan.