PSBB DKI Dinilai Masih Lemah dalam Koordinasi dan Komunikasi dengan Bodetabek
Meski Jakarta tengah memperketat wilayah dengan menerapkan lagi PSBB, wilayah penyangga melonggar. DPRD menilai, hal itu karena lemahnya koordinasi.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki pekan ketiga pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, angka kasus Covid-19 di DKI Jakarta masih tinggi dengan daerah penyangga yang lebih longgar daripada Jakarta. Seharusnya, sebelum penerapan kembali PSBB, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkoordinasi dan mengomunikasikan kebijakan itu dengan pemerintah daerah penyangga supaya ada sinkronisasi kebijakan.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono, Selasa (29/9/2020), menjelaskan, dari pengamatannya, wilayah DKI Jakarta sejak 14 September 2020 menerapkan pembatasan kegiatan. Namun, di daerah penyangga, Bodetabek ia lihat malah melonggar.
”Saya melihat, koordinasi dan komunikasi antara Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah daerah penyangga tidak dikerjakan sebelum menerapkan PSBB ketat. Seharusnya sebelum Pemprov DKI menerapkan PSBB ketat, ada koordinasi dan komunikasi dengan daerah penyangga dulu. Tujuannya supaya ada sinkronisasi kebijakan antara Jakarta dan daerah penyangga,” kata Gembong yang juga anggota Komisi A bidang Pemerintahan itu.
Ia mengingatkan, sebagai bagian dari wilayah Jabodetabek, Jakarta tidak bisa hidup sendiri. Agak sulit Jakarta menerapkan sendirian kebijakan itu tanpa adanya dukungan dari daerah-daerah penyangga.
Apalagi, Gembong mencontohkan, antara masyarakat Jakarta dan Bekasi saja bisa berbeda. Namun, kultur yang berbeda itu seharusnya bisa terkoneksi melalui koordinasi itu.
”Makanya pemprov harus mampu menjalin itu. Jadi, kebijakan DKI dengan penyangga itu harus bersinergi walaupun tidak sama kebijakannya, tetapi ada sinergitas kebijakan karena kultur yang berbeda-beda,” ucapnya.
Ia pun mempertanyakan, selama ini untuk kerja sama di bidang lain Jakarta bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah penyangga. Mengapa untuk penanganan Covid-19 seolah tidak mampu.
Koordinasi penanganan pandemi perlu diikat dalam bentuk perda bersama. DKI Jakarta yang tengah menyusun perda tentang penanganan Covid-19 itu bisa menjadi perda payung bagi pemerintah di Jabodetabek. (Roy Valiant Salomo)
Menurut Gembong, soal koordinasi dan komunikasi tersebut harus masuk menjadi poin yang juga diatur dalam perda tentang penanganan Covid-19 yang tengah dalam proses pembahasan di Dewan.
Pantas Nainggolan, Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta, secara terpisah menjelaskan, untuk naskah akademis dari raperda tentang penanggulangan Covid-19 tengah didalami. Namun, ada tiga hal penting yang menjadi esensi perda tersebut.
Pertama tentang sanksi. Sanksi, lanjut Nainggolan, memang sebaiknya ditetapkan dengan perda. ”Pemberian sanksi pidana, semuanya, itu nanti ada dalam perda karena itu nanti jadi landasan di dalam prosesnya. Pemberian sanksi menjadi tidak efektif, tidak benar kalau hanya dengan pergub,” katanya.
Kedua, soal perilaku. Masyarakat, lanjut Nainggolan, diharapkan bisa berperilaku seperti yang dianjurkan pemerintah sebagai upaya kerja sama untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona. Penekanannya adalah bagaimana membangun disiplin masyarakat menuju pola hidup new normal atau normal baru.
Selama ini DKI Jakarta punya kerja sama dengan wilayah Bodetabek untuk urusan infrastruktur, untuk penanganan Covid-19 kenapa tidak? Ketiga provinsi itu bisa duduk bersama membentuk tim penanganan Covid-19 selama waktu tertentu katakan enam bulan. (Roy Valiant Salomo)
Kemudian yang ketiga, lanjut Nainggolan, adalah upaya untuk mendorong percepatan pemutusan penyebaran virus korona.
Ia menyadari, karena penerapan perda itu sifatnya regional atau di wilayah DKI Jakarta saja, sementara pandemi Covid-19 luas, khusus untuk Jabodetabek, Bapemperda DPRD DKI juga akan mengonsultasikan peraturan daerah itu kepada pemerintah pusat supaya perda itu menjadi semacam perda payung untuk semua wilayah di Jabodetabek.
”Jadi diharapkan, walau perda ini hanya berlaku di Jakarta, oleh pemerintah pusat, dalam hal ini koordinator Jabodetabek, bisa menjadi acuan untuk ditindaklanjuti, diikuti oleh daerah lain sebagai sebuah sinkronisasi kebijakan. Hendaknya supaya ada sinkronisasi dari daerah megapolitan, mereka harus belajar dari produk perda kita senyampang mereka belum punya perda,” tutur Nainggolan.
Roy Valiant Salomo, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, menyatakan, tiga provinsi yang menaungi wilayah Jabodetabek, yaitu Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, itu mestinya bekerja sama, khususnya untuk penanganan Covid-19. Ketiga provinsi itu bisa membentuk semacam tim ad hoc penanganan Covid-19.
Apabila selama ini masih dalam bentuk koordinasi, perlu diikat dalam bentuk perda bersama. DKI Jakarta yang tengah menyusun perda tentang penanganan Covid-19 itu bisa menjadi perda payung bagi pemerintah di Jabodetabek.
”Selama ini DKI Jakarta punya kerja sama dengan wilayah Bodetabek untuk urusan infrastruktur, untuk penanganan Covid-19 kenapa tidak? Ketiga provinsi itu bisa duduk bersama membentuk tim penanganan Covid-19 selama waktu tertentu katakan enam bulan,” katanya.
Apalagi, lanjut Roy, Polda Metro Jaya memiliki wilayah hukum yang luas, selain di DKI Jakarta juga di Jawa Barat (Bekasi dan Depok) serta di Banten (sebagian Tangerang Raya). Artinya, untuk urusan koordinasi penindakan dan pengawasan yang membutuhkan kepolisian akan lebih mudah.