Mayoritas Risiko Kebakaran di Gedung Pemerintah Tak Terpantau
Ada skema pelaporan rutin yang tidak berjalan pada aspek pemeliharaan gedung milik pemerintah. Hal ini turut membuat risiko kebakaran dari gedung tersebut tidak terpantau.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan aspek kelaikan pada gedung pemerintah di Jakarta kerap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu membuat risiko keamanan di gedung pemerintah tidak terpantau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sayangnya, laporan itu paling banyak tidak ditemukan pada gedung-gedung pemerintah termasuk gedung Kejaksaan Agung yang hangus terbakar.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta Heru Hermawanto menjelaskan, seharusnya ada laporan rutin terkait aspek pemeliharaan sarana dan prasarana gedung tiap enam bulan sekali. Secara prosedur, hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Menurut ketentuan itu, pengelola gedung wajib melaporkan pemeliharaan rutin kepada Dinas Citata DKI. Dinas kemudian meninjau ulang keamanan gedung tersebut.
Walakin, prosedur semacam itu tidak berjalan pada gedung milik pemerintah. Termasuk pada gedung Kejaksaan Agung yang terbakar Agustus lalu, tidak ada laporan pemeliharaan rutin ke Dinas Citata DKI. Hal tersebut pula yang menyebabkan aktivitas pemeliharaan gedung tidak terpantau.
”Hampir sebagian besar kondisi gedung pemerintah jarang dilaporkan ke Dinas Citata DKI Jakarta. Sekalipun ada, pengelola gedung cenderung memberdayakan divisi umum yang tidak paham secara spesifik soal aspek keselamatan. Mekanisme pemeliharaan harus dilakukan oleh ahli sehingga paham kapan masa penggantian secara berkala, tidak hanya menunggu saat sarana atau prasarana rusak,” ujar Heru di kantornya, Senin (28/9/2020).
Dalam pengamatannya, Heru memastikan sebagian besar gedung pemerintah tidak melaporkan pemeliharaan fungsi seperti yang ditentukan. Dia hanya menyebut sebagian kecil gedung kementerian dan gedung perbankan nasional yang rutin melaporkan pemeliharaan secara berkala.
Padahal, laporan pemeliharaan sangat urgen bagi gedung milik pemerintah yang umumnya sudah berusia tua. Usia gedung tua berisiko lebih cepat terbakar atau terdampak bencana lain.
Pada bangunan yang sudah tua, mitigasi risiko kebakaran harus sangat dipikirkan. Alat-alat berupa alat pemadam api ringan (apar), alat penyiram air di dinding dalam gedung, serta adanya hidran pilar mesti dipastikan berfungsi. ”Kalau sistem itu bekerja dengan baik sejak kemunculan titik api, semestinya kebakaran tidak akan menjalar ke banyak area gedung,” tutur Heru.
Gedung Kejaksaan Agung yang terbakar Agustus silam sebelumnya dilaporkan sulit mencari sumber air. Kepala Peleton B, dari Stasiun Pemadam Kebakaran Sektor II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Dedy, yang bersama timnya pertama kali di lokasi kebakaran, mengungkapkan, terdapat selang yang tersambung ke hidran yang ada di halaman gedung, tetapi tidak dapat mengalirkan air.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, sistem hidran adalah salah satu sistem proteksi aktif dalam sebuah bangunan gedung. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan juga menyebutkan, pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 38 liter per detik serta mampu mengalirkan air minimmal selama 30 menit. Sementara pasokan air pada hidran di dekat lokasi kebakaran tidak ada.
”Kami harus mencari air sampai ke Mabes Polri dan tangki air di luar gedung,” ujar Dedy, pekan lalu.
Oleh karena itu, butuh waktu cukup lama bagi petugas untuk mengambil sumber air dari Mabes Polri yang berjarak sekitar 500 meter. Saat itu, kobaran api terus membesar, tidak hanya di sisi utara, tetapi juga ke sisi-sisi lainnya. Kebakaran pun kian menjadi-jadi di tengah cuaca panas dan angin yang bertiup kencang.
Karena sulitnya situasi pemadaman, gedung utama Kejagung yang terbakar turut menghanguskan ruang kerja Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Ari Muladi, Jaksa Agung Muda Pembinaan beserta stafnya, dan Jaksa Agung Muda Intelijen. Di dalam gedung juga ada beberapa biro di bawah Jaksa Agung Muda Pembinaan, misalnya, Kepala Biro Kepegawaian, Kepala Biro Perlengkapan, Kepala Biro Keuangan, Kepala Biro Umum, dan Kepala Biro Perencanaan.
Di antara sejumlah ruangan yang terbakar itu terdapat pula bekas ruangan Pinangki Sirna Malasari, mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan, yang berada di bawah Jaksa Agung Muda Pembinaan. Pinangki dicopot dari jabatan itu pada akhir Juli 2020 atau sebulan sebelum kebakaran karena terlibat suap untuk membebaskan terpidana kasus cessie Bank Bali, Joko Tjandra. Adapun kasus Joko Tjandra selama belasan tahun ini memang ditangani Kejaksaan Agung.
Alarm mitigasi kebakaran
Ahli kebakaran yang juga dosen Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Fatma Lestari, menekankan kasus gedung Kejaksaan Agung sebagai alarm untuk mitigasi kebakaran. Dalam risetnya hingga akhir 2019 silam, Fatma menyebut sekitar 70 persen gedung pemerintah tidak memenuhi standar keselamatan kebakaran.
Fatma menegaskan perlunya audit keselamatan kebakaran untuk seluruh gedung pemerintah. Sebab, banyak usia gedung yang sudah tua tidak mungkin lagi menahan kebakaran secara pasif. Apabila bangunan sangat rentan terbakar, sistem proteksi harus responsif mengantisipasi potensi kebakaran.
”Sebagian kasus kebakaran besar berawal dari sistem proteksi yang kurang andal. Segala prasarana harus dipastikan berfungsi saat kemunculan titik api pertama kali,” ungkapnya.
Kebakaran gedung termasuk hal yang sering terjadi di Jakarta. Dari 1.563 kasus kebakaran di Jakarta yang terjadi selama Januari-September 2019, 228 kasus di antaranya terjadi pada kategori bangunan umum dan perdagangan, serta 12 bangunan industri.
Berdasarkan data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Jakarta, kebakaran bangunan gedung adalah terbanyak peringkat kedua setelah kasus bangunan perumahan. Kebakaran di bangunan perumahan paling banyak terjadi dengan total 460 kasus.