Obat dan Makanan Ilegal Senilai Rp 3,25 Miliar akan Dijual secara Daring
Patroli siber guna menekan jual-beli daring obat dan makanan ilegal menjadi salah satu fokus BPOM di masa pandemi ini.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan mengungkap adanya gudang di Rawalumbu, Bekasi, yang dijadikan tempat menyimpan produk obat tradisional dan makanan ilegal senilai total Rp 3,25 miliar. Obat dan makanan itu belum memiliki izin edar dari BPOM serta ada yang diketahui mengandung bahan kimia obat. Makanan dan obat yang berisiko bagi kesehatan konsumen itu akan dijual secara daring.
Seiring banyaknya orang yang beraktivitas dari rumah saja selama wabah Covid-19, perdagangan lewat dunia maya meningkat, termasuk untuk produk obat dan pangan ilegal. ”Para penjahat memanfaatkan krisis ini dengan mengiklankan (obat dan makanan ilegal) secara berlebihan, tentunya akan sangat berbahaya jika dikonsumsi masyarakat,” tutur Kepala BPOM Penny K Lukito, dalam konferensi pers daring, Jumat (25/9/2020).
Penny mencontohkan, terdapat obat tradisional yang mengandung sildenafil sitrat sehingga memiliki efek samping berupa serangan jantung. Biasanya, bahan tersebut ditemukan pada obat peningkat stamina pria. Secara umum, obat tradisional dengan bahan kimia obat berisiko memicu kehilangan penglihatan dan pendengaran, stroke, serangan jantung, kerusakan hati, dan kematian.
Penny menjelaskan, dari informasi sementara, modus operandi pelaku adalah mengedarkan produk-produk itu lewat pelantar perdagangan elektronik (e-commerce). Itu terlihat dari adanya produk-produk yang sudah dikemas plastik berwarna hitam dan ditempeli bukti permintaan pengiriman. Diduga, barang itu akan didistribusikan kepada konsumen lewat jasa ekspedisi atau layanan transportasi daring.
Rustyawati, Direktur Penyidikan Obat dan Makanan BPOM, menambahkan, petugas menemukan gudang itu pada Rabu (23/9). Terdapat 60 item produk yang secara keseluruhan berjumlah 78.412 buah. ”Nilai keekonomian diperkirakan mencapai Rp 3,25 miliar,” ujarnya.
BPOM memperoleh informasi terkait gudang tersebut dari laporan masyarakat. Penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) BPOM pun menindaklanjuti dengan pendalaman dan penelusursan, hingga mendapatkan bukti adanya pelanggaran di bidang obat dan makanan.
Rustyawati mengatakan, seseorang berinisial W sudah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, penegak hukum secara persuasif masih menunggu kesediaannya untuk memenuhi panggilan pemeriksaan.
Selama paruh pertama tahun 2020, BPOM mengidentifikasi adanya 48.058 tautan terkait peredaran obat dan pangan ilegal. Jumlah itu melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan dengan yang diidentifikasi BPOM sepanjang 2019, yakni 24.573 tautan.
Sejauh ini, BPOM masih mendalami sumber barang-barang ilegal serta siapa saja aktor yang terlibat. Adapun sejumlah saksi sudah dimintai keterangan dan menuangkannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
”Dari operasi ilegal ini, tersangka berhasil mendapatkan omzet miliaran rupiah setiap tahunnya,” kata Penny.
Fakta-fakta itu membuat mereka yang terlibat terancam menjalani hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar. Ini sesuai dengan Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat (2) dan Ayat (3), serta Pasal 197 juncto Pasal 106 Ayat (1) Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
Selain itu, tersangka juga bisa dijerat dengan pasal dalam UU No 18/2012 tentang Pangan serta UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Penny menyebutkan, patroli siber guna menekan jual-beli daring obat dan makanan ilegal menjadi salah satu fokus BPOM di masa pandemi ini. Selama paruh pertama tahun 2020, BPOM mengidentifikasi adanya 48.058 tautan terkait peredaran obat dan pangan ilegal. Jumlah itu melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan dengan yang diidentifikasi BPOM sepanjang 2019, yakni 24.573 tautan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) Dwi Ranny Pertiwi Zarman menyampaikan, pebisnis obat tradisional ilegal terus beroperasi meski BPOM dan penegak hukum berkali-kali menindak karena pangsa pasarnya terus ada. Konsumen biasanya menyukai obat tradisional dan jamu ilegal—yang sudah ditambahi bahan kimia obat—karena khasiatnya cepat dirasakan.
Namun, yang kerap tidak disadari, efek samping obat dan jamu semacam itu lebih besar dibandingkan dengan obat tradisional dan jamu tanpa bahan kimia. Salah satu dampaknya, bisa mengganggu fungsi ginjal.
Ranny menceritakan, sekitar dua tahun lalu, GP Jamu menggelar edukasi bagi tukang jamu gendong. Para tukang jamu itu diminta menunjukkan jamu berbentuk kapsul dan serbuk yang mereka tawarkan ke konsumen. Hasilnya, hampir semua berbahan kimia obat.
Ranny mengimbau masyarakat untuk mengecek terlebih dahulu kandungan jamu dan obat tradisional yang akan dikonsumsi jika memang menghindari obat-obatan kimia. ”Kalau jamu murni tidak akan ada bau obat farmasi dan tidak ada bintik-bintik putih. Serbuk jamu itu berwarna coklat hijau,” ujarnya.