Evaluasi Pelonggaran Aktivitas Warga di Depok
Terkait masalah kesehatan, Pemkot Depok jarang melibatkan tim ahli, seperti epidemiolog dan Ikatan Dokter Indonesia, dalam mengeluarkan aturan atau kebijakan.
DEPOK, KOMPAS — Kebijakan pelonggaran aktivitas warga dan unit usaha oleh Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, dinilai belum mempertimbangkan angka kasus positif yang terus meningkat dan status zona merah. Kebijakan pelonggaran tersebut butuh evaluasi mendalam. Pemkot Depok harus berkoordinasi dengan tim ahli, seperti epidemiolog dan Ikatan Dokter Indonesia, dalam merumuskan kebijakan penanganan pandemi Covid-19.
Ketua Satuan Tugas IDI Alif Noeriyanti Rahman mengatakan, kebijakan pelonggaran aktivitas warga harus segera dievaluasi. Pemkot Depok juga harus melihat langsung situasi di lapangan terkait penanganan pandemi Covid-19 di lingkungan sosial dan di rumah sakit. Berdasarkan pembaruan data, jumlah terkonfirmasi positif mencapai 3.513 kasus, sedangkan angka meninggal mencapai 118 kasus.
Baca juga : Penanganan Tak Terkendali, Kota Depok Terancam Masuk Zona Hitam
”Harus dievaluasi pelonggaran ini. Depok saat ini masih zona merah. Angka kasus terus meningkat. Warga yang terkonfirmasi positif tidak bisa masuk perawatan. Dokter-dokter di sejumlah rumah sakit rujukan bingung mau merujuk pasien ke mana. Kondisi rumah sakit sudah 90 persen, bahkan ada yang sudah 100 persen penuh. Sementara pemerintah belum menyiapkan ruang isolasi seperti di hotel,” tegas Alif, Rabu (23/9/2020).
Penuhnya rumah sakit, menurut Alif, tidak hanya berdampak pada penanganan pasien, tetapi juga terhadap rumah sakit karena kekurangan tenaga medis dan kelelahan sehingga penanganan pasien tidak optimal. Sementara perhatian pemerintah setempat terhadap tenaga medis juga sangat kurang.
Alif mengatakan, setiap peraturan yang dikeluarkan Pemkot Depok, terutama pelonggaran aktivitas warga, tidak melalui proses penilaian dan evaluasi terlebih dahulu. Ia mempertanyakan pelonggaran karena daerah lain, seperti Jakarta, ada pengetatan untuk unit usaha, begitu pula dengan Kota Bogor ada pengawasan dan pengetatan aktivitas.
”Kebijakan aturan yang dibuat seharusnya berdasarkan data dan fakta lapangan. Ini sangat bersinggungan dengan penanganan Covid-19 karena yang kita hadapi masalah serius. Bukti dan fakta di lapangan seharusnya menjadi landasan pemerintah mengambil kebijakan. Tidak bisa asal mengeluarkan aturan pelonggaran,” kata Alif.
Alasan ekonomi
Sebelumnya diberitakan, pemerintah daerah justru melonggarkan pembatasan jam operasional unit usaha dari sebelumnya hingga pukul 18.00 menjadi pukul 20.00. Begitu pula dengan pembatasan aktivitas warga dari pukul 20.00 menjadi pukul 21.00 (Kompas, 23/9/2020).
Wali Kota Mohammad Idris dalam keterangan tertulis mengatakan, Pemkot Depok resmi memberikan pelonggaran terhadap pembatasan aktivitas warga selama dua pekan ke depan.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota Nomor 443/347/Kpts/Dinkes/Huk/2020 tentang pembatasan jam operasional kegiatan toko, pusat perbelanjaan, rumah makan, kafe, tempat usaha atau pusat kegiatan lain, serta layanan antar dan aktivitas warga.
”Pembatasan aktivitas warga tersebut berlaku selama dua pekan, terhitung Sabtu (19/9/2020) hingga Sabtu (3/10/2020),” ujar Idris.
Alasan kebijakan pelonggaran yang diambil Pemkot Depok adalah dampak ekonomi dan sosial. ”Karena memang kami memperhatikan masalah pemulihan ekonomi,” ujar Idris.
Pelonggaran aktivitas karena alasan ekonomi itu dipertanyakan oleh Alif. Menurut dia, jika memang alasan ekonomi, seharusnya pemkot memberikan paparan data terkait seberapa besar dampak kerugian ekonomi kepada publik. Alasan ekonomi jangan hanya karena sekadar keluhan dari pelaku usaha atau desakan dari pihak lainnya.
Selain itu, lanjut Alif, jika pemerintah setempat serius menangani pandemi, seharusnya ada langkah untuk masalah kesehatan. ”Terkait kesehatan, lalu apa kebijakannya? Kenapa hanya ekonomi saja? Apakah masalah kesehatan tidak penting? Jika Pemkot Depok melihat ekonomi menjadi penting, silakan, tetapi seharusnya jangan sampai jumlah meningkat. Jika mau fokus pada kesehatan, seharusnya ada koordinasi dengan IDI dan epidemiolog (dari Universitas Indonesia), serta pihak lainnya,” tutur Alif.
Menurut Alif, selama penanganan Covid-19, pihaknya jarang dilibatkan atau diajak bicara. Inisiatif untuk berkolaborasi dari Pemkot Depok sangat kurang. Hal itu menyebabkan edukasi terkait mitigasi pencegahan, protokol kesehatan, dan bahaya Covid-19 kepada masyarakat sangat kurang, lemah, dan tidak jalan. Padahal, edukasi tersebut sangat penting agar terbangun kesadaran dan kewaspadaan bersama sehingga Covid-19 tidak semakin meluas.
”Jika membuat aturan, seharusnya diterapkan dan aplikatif, lalu dievaluasi. Dari hasil evaluasi didiskusikan kepada tim ahli, epidemiolog, IDI, dan pihak lainnya. Lalu dari hasil tersebut dibuat kebijakan yang lebih kuat dalam penanganan pandemi. Namun, nyatanya itu tidak pernah terjadi,” tutur Alif.
Masalah lainnya, tambah Alif, selama ini jumlah tes usap di Kota Depok sangat rendah dan hasil tes keluar terhitung lama, 5-7 hari. Hasil tes yang lama ini tentu menyulitkan upaya deteksi, pelacakan, sehingga penanganan warga atau pasien menjadi terhambat. Sekali lagi yang dikorbankan adalah kesehatan warga, pasien, dan tenaga kesehatan.
Baca juga : RS Rujukan Covid-19 Penuh, Kota Depok Darurat Fasilitas Kesehatan
Masalah selanjutnya, muncul kluster kantor dan keluarga. Kluster tersebut, kata Alif, memberikan dampak bagi tenaga medis yang terpapar justru tidak di rumah sakit, tetapi dari luar saat mereka pulang dan berkumpul bersama keluarga atau terpapar dari warga lainnya.
”Ini terkait lemahnya pengawasan protokol kesehatan dan pelacakan sehingga penularan menjadi tidak terkendali,” ujarnya.
Hal senada disampaikan epidemiolog Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, sekaligus tim ahli epidemiologi Covid-19 Kota Depok. Miko mengatakan, pihaknya jarang dilibatkan dalam penanganan Covid-19 di Kota Depok. Ia juga mempertanyakan kebijakan Pemkot Depok melonggarkan aktivitas warga, padahal sudah menginjak angka 3.513 kasus positif dan meninggal 118 kasus.
”Tidak seperti Pemkot Bogor, jika ada masalah, mereka telepon saya. Bahkan, kami rapat untuk menentukan kebijakan. Makanya sekarang Kota Bogor statusnya zona oranye. Depok dari awal sudah diingatkan untuk menyiapkan ruang isolasi jika terjadi lonjakan, tetapi hingga saat ini tidak ada,” kata Miko.
Miko meminta Pemkot Depok tidak hanya memikirkan dampak ekonomi, tetapi juga dampak kesehatan yang saat ini sangat mengkhawatirkan. Ia juga menilai, mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga berganti menjadi pembatasan sosial berskala mikro (PSBM) sangat lemah dan kurang pengawasan hingga tingkat kelurahan-RW.
”Lemahnya pengawasan karena tidak diiringi ketegasan dari pemimpinnya dan aturannya tidak aplikatif. Harus galak seperti Kota Bogor. Kota itu berhasil karena wali kota dan wakilnya galak, mau turun pula ke lapangan. Nah, Wali Kota Depok kurang galak,” papar Miko.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengkritik kebijakan Pemkot Depok yang melonggarkan pembatasan aktivitas warga di tengah angka kasus positif yang terus meningkat. Meski ada permasalahan ekonomi, unsur kesehatan tidak bisa dikesampingkan. Kebijakan Pemkot Depok dinilai kurang tepat jika melihat peningkatan kasus yang tinggi serta tidak sinkron dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang secara bersama berupaya untuk menekan angka kasus atau penularan Covid-19.
”Pemkot Depok gagal dalam penanganan Covid-19 karena terbukti secara kepemimpinan tidak kuat dan tidak tahan dalam menghadapi tekanan. Pemkot Depok mengambil jalan ketiga atau jalan tengah di antara ketat dan longgar sehingga sektor usaha yang dilonggarkan. Ini tentu tekanan dari pelaku usaha,” kata Trubus.
Ia juga menilai, dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemkot Depok kurang berkoordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bogor. Pemkot Depok tentu menyadari wilayahnya diapit dua daerah tersebut sehingga seharusnya ada penguatan sinergi dan kolaborasi. Pemkot Bogor, misalnya, responsif mengambil langkah kebijakan serta koordinasi yang cukup terbuka, tidak hanya dengan Pemprov Jawa Barat, tetapi juga dengan Pemprov DKI Jakarta.
”Jika ingin ada pelonggaran, Pemkot Depok harus mempertimbangkan banyak hal, tidak hanya ekonomi. Itu memang penting, tetapi kesehatan juga penting. Seharusnya kebijakan pelonggaran diiringi dengan kebijakan atau pendekatan langkah penanganan bersama dengan Pemprov DKI dan Pemkot Bogor,” lanjut Trubus.
Selain itu, kebijakan pelonggaran juga harus diiringi dengan pengawasan yang ketat. ”PSBM yang dijalankan sebelum dan sesudah pelonggaran bedanya apa? Mereka seharusnya, bahkan dari awal, sering masuk ke kampung-kampung untuk pengawasan, terutama di kampung zona merah. Ini yang abai, lemah, dan kurang dari awal,” tutur Trubus.
Ia menambahkan, selama ini hampir semua wilayah di Jabodetabek lemah dalam pengawasan, termasuk Depok. Pengawasan perlu memperhatikan sisi epidemiologi, surveilans atau tingkat penularan, layanan kesehatan, hingga perilaku masyarakat. Terkait perilaku masyarakat, Pemkot Depok perlu melihat perilaku masyarakat selama masa pandemi terkait kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
”Ini tidak hanya membutuhkan kesadaran dari masyarakat, tetapi juga keteladanan dan edukasi dari para pemimpinnya langsung. Ini kunci untuk sampai kepada perilaku patuh pada protokol kesehatan. Potret di Jakarta dan Depok, contohnya, seberapa sering kita melihat pemimpin mereka turun ke kampung melihat langsung permasalahan warga?” kata Trubus.