Kebijakan Pelonggaran Pembatasan Aktivitas Warga di Depok Dinilai Tidak Tepat
Saat Kota Bogor kembali berstatus zona oranye, Kota Depok masih berstatus zona merah. Namun, Pemerintah Kota Depok justru melonggarkan pembatasan aktivitas warga.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Tidak seperti Kota Bogor, Jawa Barat, yang kembali berstatus zona oranye atau risiko sedang penyebaran Covid-19, Kota Depok masih berstatus zona merah. Namun, Pemerintah Kota Depok justru mengeluarkan kebijakan pelonggaran aktivitas warga di tengah kasus positif secara akumulatif yang menembus 3.337 kasus.
Selama 19 hari sejak 29 Agustus hingga 20 September 2020, Kota Bogor masuk zona merah atau risiko tinggi penyebaran Covid-19 karena terjadi lonjakan kasus positif yang cukup tinggi. Namun, Wali Kota Bogor Bima Arya memastikan, pada Senin (21/9/2020), ”kota hujan” tersebut kembali masuk zona oranye.
”Kepastian itu berdasarkan laporan dari satuan tugas Covid-19 nasional. Kota Bogor sudah tidak zona merah lagi. Namun, sekali lagi, status zona oranye bukan berarti situasi aman. Skor kita 1,99, lebih baik dari minggu lalu, skornya 1,73. Ini lebih baik dan coba kita jaga betul, kita tingkatkan, jangan sampai kita kendur,” kata Bima, Senin (21/9/2020).
Bima menegaskan, Pemerintah Kota Bogor tidak akan lengah dan kendur dengan perubahan status. Kebijakan pembatasan sosial berskala mikro (PSBM), pembatasan aktivitas warga, dan pembatasan jam operasional unit usaha masih harus dijalankan secara ketat.
Ia melanjutkan, dengan masuk zona oranye, pihaknya akan semakin menggencarkan pengawasan protokol kesehatan dan edukasi melalui tim elang dan tim merpati. Pembentukan dua tim pada Selasa (15/9/2020) itu merupakan langkah antisipasi dari peningkatan kasus yang masih terjadi di Kota Bogor.
Selain itu, pembentukan dua tim itu juga sebagai antisipasi PSBB di Jakarta yang berpotensi menimbulkan pergerakan warga Ibu Kota berkunjung pada libur akhir pekan ke Kota Bogor. Pembentukan tim sekaligus merespons hasil survei Pemerintah Kota Bogor bersama Lapor Covid-19 yang melibatkan peneliti dari Nanyang Technological University, Singapura.
”Kami tidak akan kendur dengan kebijakan yang sudah berjalan saat ini. Tim elang dan merpati yang sudah dikerahkan juga harus terus melakukan fungsinya dengan baik. Walaupun situasi status zona oranye, semua lini terus kita perbaiki. Tim elang, merpati, unit lacak dan unit pantau, pengawasan protokol kesehatan, menambah layanan faskes OTG, kita genjot terus,” tuturnya.
Bima melanjutkan, saat meninjau pelaksanaan pengawasan unit usaha oleh tim elang dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP) pada Sabtu-Minggu, situasi cukup sepi, terkendali, dan protokol kesehatan dipatuhi. Namun, masih ditemui tempat usaha yang melanggar aturan.
”Kedisiplinan dan kesadaran untuk patuh pada protokol kesehatan seperti ini yang kita harapkan sehingga angka kasus positif terus bisa berkurang, penularan rendah, ini semua untuk kita bersama,” katanya.
Pelonggaran di Kota Depok
Berbanding terbalik dengan kota Bogor yang kembali berstatus zona oranye, Kota Depok hingga saat ini masih berstatus zona merah. Bukan tak mungkin status Kota Depok bisa bergeser ke zona hitam karena pemerintah setempat justru melonggarkan pembatasan jam operasional unit usaha dari sebelumnya pukul 18.00 menjadi 20.00. Begitu pula dengan pembatasan aktivitas warga dari pukul 20.00 menjadi 21.00.
Wali Kota Mohammad Idris dalam keterangan tertulisnya mengatakan, Pemkot Depok resmi memberikan pelonggaran terhadap pembatasan aktivitas warga (PAW)selama dua pekan ke depan.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota Nomor 443/347/Kpts/Dinkes/Huk/2020 tentang pembatasan jam operasional kegiatan toko, pusat perbelanjaan, rumah makan, kafe, tempat usaha atau pusat kegiatan lain, serta layanan antar dan aktivitas warga.
”PAW tersebut berlaku selama dua pekan, terhitung Sabtu, 19 September, hingga 3 Oktober 2020,” ujar Idris.
Alasan kebijakan pelonggaran yang diambil oleh Pemkot Depok adalah dampak ekonomi dan sosial. ”Karena memang kami memperhatikan masalah pemulihan ekonomi,” ujar Idris.
Ia melanjutkan, keputusan PAW berlaku jika Depok masuk dalam kategori zona merah penularan Covid-19 nasional. Pembatasan aktivitas ini dikecualikan untuk sektor-sektor kedaruratan, seperti layanan fasilitas kesehatan, termasuk toko obat dan apotek. Pekerja yang kembali dari aktivitas bekerja ataupun pegawai sif malam juga dikecualikan dari pembatasan tersebut.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengkritik kebijakan Pemkot Depok yang melonggarkan pembatasan aktivitas warga di tengah angka kasus positif yang terus meningkat. Meski ada permasalahan ekonomi, unsur kesehatan tidak bisa dikesampingkan. Kebijakan Pemkot Depok dinilai kurang tepat jika melihat peningkatan kasus yang tinggi serta tidak singkron dengan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang secara bersama berupaya untuk menekan angka kasus atau penularan Covid-19.
”Kebijakan Pemkot Depok gagal dalam penanganan Covid-19 karena terbukti secara kepemimpinan tidak kuat dan tidak tahan dalam menghadapi tekanan. Pemkot Depok mengambil jalan ketiga atau jalan tengah di antara ketat dan longgar sehingga sektor usaha yang dilonggarkan. Ini tentu tekanan dari pelaku usaha,” kata Trubus.
Ia juga menilai, dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemkot Depok kurang berkoordinasi dengan Pemrov DKI dan Pemkot Bogor. Pemkot Depok tentu menyadari, wilayahnya diapit dua daerah tersebut sehingga seharusnya ada penguatan sinergi dan kolaborasi. Pemkot Bogor, misalnya, responsif mengambil langkah kebijakan serta koordinasi yang cukup terbuka, tidak hanya dengan Pemprov Jawa Barat, tetapi juga dengan Pemprov DKI Jakarta.
Kebijakan Pemkot Depok gagal dalam penanganan Covid-19 karena terbukti secara kepemimpinan tidak kuat dan tidak tahan dalam menghadapi tekanan. Pemkot Depok mengambil jalan ketiga atau jalan tengah di antara ketat dan longgar sehingga sektor usaha yang dilonggarkan. Ini tentu tekanan dari pelaku usaha.
”Jika ingin ada pelonggaran, Pemkot Depok harus mempertimbangkan banyak hal, tidak hanya ekonomi. Itu memang penting, tetapi kesehatan juga penting. Seharusnya kebijakan pelonggaran diiringi dengan kebijakan atau pendekatan langkah penanganan bersama dengan Pemprov DKI dan Pemkot Bogor,” lanjut Trubus.
Selain itu, ujarnya, kebijakan pelonggaran juga harus diiringi dengan kebijakan pengawasan yang ketat. ”PSBM yang dijalankan sebelum dan sesudah pelonggaran bedanya apa? Mereka harusnya, bahkan dari awal, sering masuk ke kampung-kampung untuk pengawsan, terutama di kampung zona merah. Ini yang abai, lemah, dan kurang dari awal,” tuturnya.
Ia menambahkan, selama ini hampir semua wilayah di Jabodetabek lemah dalam pengawasan. Depok termasuk lemah sekali. Pengawasan perlu memperhatikan sisi epidemiologi, surveilans atau tingkat penularan, layanan kesehatan, hingga perilaku masyarakat. Terkait perilaku masyarakat, Pemkot Depok perlu melihat perilaku masyarakat selama masa pandemi terkait kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
”Ini tidak hanya membutuhkan kesadaran dari masyarakat, tetapi juga keteladanan dan edukasi dari para pemimpinnya langsung. Ini kunci untuk sampai kepada prilaku kepatuhan protokol kesehatan. Potret di Jakarta dan Depok, contohnya, seberapa sering kita melihat pemimpin mereka turun ke kampung melihat langsung permasalahan warganya?” kata Trubus.