Genangan Musim Hujan Makin Merepotkan Warga Hadapi Pandemi
Belum usai pandemi Covid-19, warga Jakarta dihadapkan pula dengan banjir saat musim hujan. Dua bencana yang datang sekaligus itu membuat mereka makin kerepotan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Andreas (30) baru pulang ke rumah setelah genangan surut di daerah Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (22/9/2020). Dia bersyukur karena genangan setinggi 70 sentimeter sudah surut dalam kurun waktu semalam. Dia kemudian membawa kembali keluarganya dari pos pengungsian.
Sebagai warga yang tinggal di bantaran sungai, Andreas sebenarnya sangat maklum dengan genangan yang muncul saat musim hujan. Namun, kali ini dia merasakan sedikit lebih awal dari periode semestinya. Hujan yang biasanya mulai pada Oktober tampak lebih cepat datang pada pekan keempat September ini.
”Sebenarnya sudah hafal kalau bulan yang berakhiran ’ber, ber...’ pasti mulai hujan. Karena ada pandemi Covid-19, pembatasan sosial, dan sebagainya, saya jadi lupa dan kurang siap,” kata warga RT 008 RW 001 Pengadegan itu.
Andreas mengakui, kegelisahan kondisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memecah fokusnya terhadap potensi banjir. Genangan yang meluap setelah hujan sepanjang Senin (21/9/2020) malam tidak segera disadari. Sekitar pukul 21.00, genangan itu masuk ke lantai satu rumahnya. Keluarganya belum beranjak dari rumah.
Malam itu, Andreas langsung tergesa membawa keluarga, terutama neneknya yang berusia 68 tahun. ”Saat genangan masuk, sudah ada Pak RT yang memanggil-manggil. Kami langsung evakuasi ke rumah susun sewa di Pengadegan, sudah enggak pikir panjang lagi,” ucapnya.
Tidak hanya Andreas yang diserbu luapan genangan. Sejak senin malam, ada puluhan titik genangan yang juga muncul seusai hujan lebat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat, ada 63 lingkungan RT serta 23 jalan yang terendam genangan pada Selasa pukul 06.00 tadi pagi.
Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI M Insaf menjelaskan, sebanyak 104 jiwa mengungsi karena genangan. Kondisi tersebut baru berangsur reda pada Selasa siang. ”Ada ratusan warga di lingkungan RT yang mengungsi karena genangan bervariasi, mulai dari 10 sentimeter hingga 100 sentimeter,” ujar Insaf.
Kewalahan
Selayaknya pengalaman Andreas, sejumlah warga kewalahan saat menghadapi luapan genangan seusai hujan. Ihin Solihin, Ketua RT 004 RW 007 Kelurahan Rawajati, Pancoran, tidak siap mengungsi saat genangan mulai naik pada Senin malam. Alhasil, perabotan rumah di lantai satu terendam genangan dari sungai.
”Sebenarnya sudah ada peringatan dari aplikasi Pantau Banjir, tetapi genangan naik relatif cepat. Saya sama istri enggak sempat angkut barang ke lantai atas, hanya menyelamatkan berkas yang penting di lemari,” ucap Ihin, saat dihubungi Selasa sore.
Tutik (52), warga kompleks perumahan Green Garden, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tidak menyangka hujan lebat datang lebih dini pada bulan September. Meski tidak sampai mengungsi, perempuan ini khawatir karena hujan deras menjadi pertanda bahwa lingkungannya akan sering banjir.
”Sebenarnya banjir di kompleks perumahan Green Garden sudah rutin tiap tahun. Tapi, saya agak gelisah karena hujannya datang sebulan lebih cepat. Sudah begitu, pandemi Covid-19 belum selesai, dampaknya dobel,” ujarnya.
Baik Andreas, Ihin, maupun Tutik tidak mengharapkan terpaan bencana banjir dan pandemi Covid-19. Mereka berharap sistem mitigasi berjalan, mulai dari waduk, peringatan, evakuasi, dan sebagainya untuk mengatasi banjir. Kalau hujan deras terjadi lagi, mereka takut tidak bisa bertahan dengan sumber daya yang mereka miliki.
Pengerukan waduk, embung, hingga saluran air dilakukan oleh Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta sejak Maret 2020. Pada Senin, Dinas SDA mengerahkan 15 ekskavator untuk mengeruk lumpur di Waduk Riario, Pulomas, Jakarta Timur. Pengerukan waduk itu sebelumnya dikerjakan oleh tujuh ekskavator.
Kepala Dinas SDA DKI Jakarta Juaini Yusuf mengejar target pengerukan waduk. Selain Waduk Riario, pengerukan juga dilakukan di sungai-sungai dan penampungan air di lima wilayah Jakarta. Ada 100 waduk dan embung yang tengah dikerjakan.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menekankan permasalahan Jakarta adalah gorong-gorong dan saluran airnya yang dibangun sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa itu masih banyak rawa dan lahan kosong untuk menampung air hujan.
Saat ini air hujan harus ditampung dan sisanya dialirkan. Penampungan memanfaatkan waduk dan embung, sedangkan pengalirannya dengan tali air dan drainase. Ketika Joko Widodo menjabat Gubernur DKI Jakarta telah dibangun sejumlah sumur resapan. ”Hanya kini tidak diketahui apakah masih berfungsi dan terawat,” kata Yayat.
Menurut Yayat, permasalahan tata kelola air juga sebaiknya tidak melupakan kepentingan warga. Di tengah bencana non-alam Covid-19 dan banjir yang akan datang, warga yang terdampak juga membutuhkan respons cepat mitigasi. Peringatan soal datangnya banjir diharapkan tidak terlambat. Butuh kekompakan antarwarga pula untuk merespons adanya bencana itu.
”Pemprov DKI harus tetap merespons langkah mitigasi dengan cepat meski sedang dalam situasi pandemi. Warga di bantaran sungai, misalnya, tetap butuh pertolongan evakuasi saat banjir,” ujar Yayat.