Pemberitaan yang detail mengenai pembunuhan disertai dengan mutilasi disebarkan secara luas melalui media sosial. Kondisi itu dapat menyebabkan orang tertarik untuk meniru tindakan mutilasi jika terpaksa.
Oleh
WINDORO ADI
·4 menit baca
Tingkat keterbacaan di balik pengungkapan kasus-kasus pembunuhan berencana masih tergolong tinggi di Indonesia. Apalagi, jika kasus tersebut diwarnai mutilasi oleh pelakunya. Kisah perselingkuhan, cinta segitiga, disorientasi seksual, perebutan harta, dan petualangan di balik kasus ini memicu bermacam emosi pembacanya. Apalagi, pembaca di kalangan remaja.
Pergunjingan mengenai cerita seperti ini tidak lagi sebatas di kalangan pembantu dan ibu rumah tangga, para pedagang sayur, kalangan pengemudi kendaraan bermotor daring, atau di kedai kedai nasi, tetapi sudah jauh meluas melalui media sosial (medsos).
Pergunjingan pun kian seru,dengan bermacam ”bumbu” tambahannya. ”Bumbu” tersebut bisa berupa bualan, atau perbandingan cerita serupa di daerah, kota, atau negara lain, yang lebih memicu adrenalin pembaca.
Dibanding media konvensional, medsos, seperti ditulis Varinder Taprial & Priya Kanwar dalam bukunya, Understanding Social Media (2012), memiliki sejumlah keunggulan. Medsos lebih mudah diakses karena karena tidak membutuhkan kemampuan khusus untuk menggunakannya.
Medsos sangat mudah menghubungkan satu individu dengan yang lain sebagai bagian dari komunitas. Siapa pun dapat berbicara tentang apa saja. Medsos dapat menginisiasi percakapan dengan siapa saja. Konten Medsos dapat diakses semua orang dalam jejaringnya, dan cepat terpublikasi. Selain itu, konten Medsos juga bisa bertahan lama, bahkan bisa selamanya. Dapat diubah, atau diperbarui kapan saja oleh penyampainya.
Mereka yang berkomunikasi di medsos bisa berkomunikasi tanpa faktor eksternal yang bisa memengaruhi apa yang ia sampaikan. Responsnya bersifat spontan. Penyampai dan perespons dapat berdialog layaknya di dunia nyata. Internet menawarkan akses yang tidak terbatas untuk semua jenis konten. Melalui Medsos, informasi apa pun bisa dibagikan kepada siapa saja.
Menurut hasil riset Wearesosial Hootsuite pada Januari 2019, pengguna medsos di Indonesia mencapai 56 persen dari total populasi, atau sekitar 150 juta orang. Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia menambahkan, pada tahun tersebut, dari 171,17 juta pengguna internet, remaja berusia 15-19 tahun lah yang terbanyak memanfaatkannya. Sebanyak 90,61 persen pengguna internet bermain di medsos.
Sosok para pelaku dan korban
Di tengah situasi itulah muncul kasus pembunuhan berencana disertai mutilasi terhadap korban, Renaldi Harley Wismanu. Pelakunya adalah sepasang kekasih—Laeli Atik Supriyatin dan Djumadil Al Fajri. Korban tewas dibunuh di Apartemen Pasar Baru Mantion, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimutilasi, lalu dibawa ke Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Motif pembunuhan, menguasai harta korban.
Di mata pengguna medsos berusia 15 sampai 20-an tahun yang jumlahnya lebih dari separuh populasi penduduk Indonesia itu, semakin rinci cerita dan motif kasus ini, akan semakin menimbulkan rasa ngeri yang menggoda mereka. Itu artinya, makin tinggi pula tingkat keterbacaan kasus ini.
Selanjutnya pembaca dihibur oleh cerita tentang sosok kedua pelaku dan korban. Pada babak ini, pelaku Laeli tampaknya lebih populer di mata pembaca karena serangkaian masa lalunya yang diungkit, penuh petualangan, dan agresif.
Di kalangan remaja, pergunjingan kasus ini lebih cepat viral melalui medsos. Mereka tidak menyadari, di tengah kepungan medsos mereka mulai terbiasa terhibur. Diam-diam mereka menginternalisasi cerita yang penuh kengerian, kebencian, cacian, kemarahan, dan petualangan kotor ke dalam diri mereka.
Satu waktu, didorong kondisi invididu dan situasi sosial yang buruk, mereka tergoda meniru, melakukan sendiri apa yang dilakukan para pelaku. Hal itu terjadi pada kedua pembunuh Renaldi.
Mereka mengaku belajar memutilasi dari tayangan Youtube, salah satu bentuk medsos paling populer saat ini. Hasil penelitian Hootsuite & We Are Social tahun 2018 menyebutkan, 88 persen penduduk Indonesia paling banyak menggunakan Youtube. Angka persentase tersebut diperkirakan makin tinggi tahun ini. Kehadiran Youtube menarik karena di sana seseorang bisa menghasilkan uang dengan menjadi Youtuber.
Copycat atau meniru
Saat terungkap kasus pembunuhan berantai yang diwarnai mutilasi oleh Ferry Idham Henyanzah alias Ryan, pertengahan Juli 2008, Youtube belum sepopuler saat ini. Meski demikian, tindakan meniru atau belajar dari kejahatan orang lain, yang lebih populer dengan sebutan copycat, terjadi.
Sri Haryati yang membunuh suaminya, Hendra sang supir angkot pada September 2008, mengaku, meniru cara Ryan membunuh dan memotong-motong jenazah korban, Heri Santoso. ”Saya membaca kasus Ryan dari beberapa koran yang dibawa suami saya,” tuturnya.
Yati mengaku, dengan cara memotong-motong jenazah, ia lebih leluasa dan mudah mengeluarkan dan membuang jasad korban dari rumahnya yang berlokasi di gang sempit, padat penduduk, di Sepatan, Kabupaten Tangerang, Banten.
Dua tahun kemudian, Oktober 2010, Muryani membunuh dan memutilasi suaminya, Karyadi, anggota bantuan polisi di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Ia mengaku meniru cara Yati memotong-motong jenazah untuk memudahkan membuang jenazah di tempat yang berbeda.
Kasus pembunuhan disertai mutilasi terhadap Renaldi mengingatkan kita akan dampak buruk menguatnya daya resonansi atau amplifliying terhadap copycat melalui medsos. Media massa daring, yang sebagian menjadi sumber informasi medsos, sudah sepantasnya mengendalikan diri memaparkan kasus-kasus kejahatan keji secara rinci, dan berpanjang-panjang ”menggoreng” kasus tersebut dengan membuat drama mengenai masa lalu para pelaku dan korban.
Imbauan ini tentu saja mudah diabaikan bila tak ada aturan main yang jelas disertai sanksi, serta penindakan tegas para penegak hukum. Maklum, kasus kasus seperti ini laris manis dijual media massa maupun di medsos.
Tanpa langkah tersebut, kalangan remaja yang saat ini mendominasi penggunaan medsos bakal lebih cepat matang mengenal dunia kejahatan, dan mencoba-coba melakukan copycat.