Sebagian Warga Menghindari Paparan Berita tentang Pandemi
Masifnya pemberitaan membuat orang lebih berjarak dengan informasi soal Covid-19. Sebagian orang menghindari terpaan berita Covid-19 agar tidak merasa gelisah.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lewat dari enam bulan pandemi Covid-19, sebagian warga jenuh dengan pemberitaan terkait pandemi. Mereka mengurangi konsumsi berita dengan tujuan agar tidak merasa gelisah. Paparan informasi tentang pandemi tidak membuat mereka tenang.
Sejumlah warga yang menjalani pembatasan sosial di Jakarta, Bogor, dan Tangerang, Senin (21/9/2020), merasakan kondisi itu. Siti Nurhayati (28), warga Pademangan, Jakarta Utara, kini tidak lagi rutin membaca atau menonton berita soal Covid-19. Sejak awal Agustus, perempuan guru ini hanya menonton berita televisi pada pukul 05.00 hingga sekitar pukul 06.30. Setelah itu, dia lebih banyak beraktivitas secara daring di rumah.
”Sewaktu Agustus, kebetulan mertua saya yang berbeda rumah positif Covid-19. Saat itu saya makin jarang baca atau nonton berita karena bawaannya gelisah. Belakangan juga akhirnya saya sengaja mengurangi nonton berita soal Covid-19, kecuali pagi-pagi,” ujar perempuan ini kepada Kompas.
Adef (47), warga Ciomas, Bogor, Jawa Barat, biasanya kerap menonton berita di televisi pada pagi dan siang hari. Pekerja di kedai kawasan Puncak ini tidak banyak membaca berita dari media massa cetak dan daring. Dia juga cenderung mengurangi informasi soal Covid-19 meski tidak bisa sepenuhnya karena berita tersebut beredar di mana-mana.
Setelah keputusan pembatasan sosial berskala mikro di Bogor pada September ini, Adef mengurangi terpaan berita Covid-19. Hal tersebut juga lantaran kedai tempat bekerjanya tutup beberapa hari. ”Niatnya, sih, mengurangi berita soal Covid-19, tetapi beritanya juga tersebar di mana-mana. Yang penting waspada saja,” jelas Adef.
Bastari (50) dan Hendi (40), warga Tangerang, Banten, juga jenuh diterpa berita soal Covid-19. Namun, menyimak topik selain Covid-19 saat ini pun tidak ada baiknya. Mereka berdua cenderung muak dengan berita tentang problem di kota.
”Ganti kanal televisi, bahasannya itu-itu lagi. Enggak ada pilihan lain. Situasi juga sedang parah saat ini. Jadi, saya cenderung matikan televisi kalau lagi jenuh,” kata Bastari.
Sementara itu, Hendi cenderung muak karena pemberitaan Covid-19 yang makin parah sebab pemerintah tidak berusaha melindungi publik. ”Saya sebalnya melihat pernyataan pemerintah dalam berita yang seakan mengutamakan warga, tetapi di satu sisi juga membiarkan warga sengsara. Kalau kasusnya makin banyak, nanti yang disalahkan warga juga,” tuturnya.
Jenuhnya warga terhadap pemberitaan Covid-19 sesuai dengan survei Kompas. Hasil jajak pendapat yang dilakukan pada 6-9 Mei 2020 terhadap 596 responden menunjukkan adanya tren kejenuhan terhadap pemberitaan Covid-19. Hal tersebut dapat dipahami karena berita soal Covid-19 terus menerpa publik hingga kini.
Dari survei tersebut, 65,8 persen responden mengaku jenuh terhadap pemberitaan Covid-19. Meski begitu, 59,7 persen reponden masih terus mengikuti perkembangan soal Covid-19, sementara 36,1 persen responden memilih berhenti mengikuti berita soal Covid-19.
Begitu pula survei serupa pada 7-9 Agustus 2020 yang melibatkan 536 reponden, sebanyak 52,8 persen responden masih mengikuti perkembangan soal Covid-19 dan 36,1 persen responden kadang-kadang mengikuti perkembangan seputar Covid-19. Sisanya cenderung tidak pernah dan tidak tahu.
Litbang Kompas juga memantau pemberitaan halaman depan di enam surat kabar nasional pada Januari-April 2020. Tercatat hingga April 2020 terdapat 589 berita terkait Covid-19 yang disajikan di halaman depan sebagai berita utama (headline) ataupun non-berita utama di enam surat kabar nasional. Ini artinya, surat kabar memberikan ruang dan panggung pandemi ini sebagai masalah serius yang harus dituntaskan.
Laporan lembaga Asosiasi Kegelisahan dan Depresi Amerika Serikat (ADAA) menyebutkan, terpaan berita di masa pandemi Covid-19 terbukti menyebabkan gelisah. Situasi tersebut dapat dipahami karena pandemi serba tidak pasti, sementara informasi terus menerpa warga dengan berbagai versi.
Sekretaris Jenderal Asian Federation of Psychiatric Association Nova Riyanti Yusuf mengatakan, pandemi Covid-19 serta berbagai hal yang meliputinya dapat menambah beban depresi seseorang. ”Berbagai tekanan itu antara lain ketakutan akan kehilangan orang terdekat karena tertular Covid-19, rasa frustrasi dan bosan untuk terus berada di rumah, juga ketakutan kehilangan pekerjaan dengan situasi ekonomi saat ini,” tutur Nova (Kompas, 13/8/2020).
Terkait itu, Jacqueline Bullis, psikolog klinis yang tergabung dalam ADAA dan berbasis di Boston, Amerika Serikat, menyarankan agar warga mengambil jarak dengan berbagai pemberitaan soal Covid-19. Warga disarankan mengikuti satu media massa yang dirasa kredibel dan tepercaya sebagai sumber utama informasi soal Covid-19. Upayakan agar diri sendiri tidak terjebak dalam banjir informasi.