Badan Pembentukan Perda Dorong Pemprov DKI Segera Ajukan Raperda tentang Covid-19
Bapemperda DPRD DKI Jakarta mendorong Pemporv DKI segera mengajukan raperda tentang penanganan Covid-19 di Ibu Kota. Dengan demikian, semua tindakan penanganan, penegakan, dan pengawasan PSBB berpayung hukum kuat.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari enam bulan, tetapi DKI Jakarta belum juga memiliki peraturan daerah mengenai penanganan bencana non-alam tersebut. Kendati pihak Dewan berinisiatif menyusun perda, Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPRD DKI Jakarta cenderung mendorong eksekutif untuk segera mengajukan rancangan peraturan daerah.
Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan, Senin (21/9/2020), menjelaskan, akhir pekan lalu, ada inisiatif dari Dewan untuk menyusun perda tentang Covid-19. Mengingat prosedur yang harus ditaati oleh DPRD dan Bapemperda, Bapemperda DPRD DKI Jakarta lebih cenderung mendorong eksekutif untuk segera mengajukan rancangan perda.
Saat ini sudah ada Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta serta Peraturan Gubernur Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Apabila kedua pergub itu hendak dianggap sebagai rancangan perda, eksekutif atau Pemprov DKI Jakarta bisa mengajukan kedua pergub itu sebagai raperda.
”Apabila mau mengajukan kedua pergub itu sebagai rancangan perda nya, itu bisa lebih cepat (prosesnya) sambil kita perbaiki karena perda ini berlaku permanen, sementara sekarang Jakarta semacam keadaan darurat, kita katakan. Dengan demikian, karena aturan-aturan yang menyatakan pemberian sanksi harus diberikan melalui perda, mereka bisa mengajukan pergub itu untuk ditingkatkan menjadi perda, tentunya melalui paripurna,” jelas Nainggolan.
Dengan menjadikan pergub sebagai raperda, itu akan memangkas waktu pembahasan raperda. Begitu diserahkan melalui paripurna, DPRD akan memberikan raperda ke Bapemperda. Dari Bapemperda, naskah akan dibahas dengan mendengarkan masukan dari ketua DPRD dan semua pihak, termasuk masyarakat. Setelahnya Bapemperda akan melapor ke pimpinan Dewan. Apabila disetujui, akan ditetapkan menjadi perda pada paripurna yang berikutnya.
Nainggolan mengatakan, menurut Pasal 239 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Dewan juga bisa mengajukan inisiatif menyusun peraturan daerah tentang Covid-19. Namun, ia melihat prosesnya akan sedikit lebih panjang dan lama. Itu sebabnya Bapemperda cenderung mendorong pihak eksekutif segera mengajukan raperda.
Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhanah, yang dihubungi secara terpisah, belum juga merespons konfirmasi mengenai penyusuan raperda tentang penanggulangan pandemi itu. Penjelasan terbaru Yayan adalah pada Jumat (18/9/2020) bahwa raperda masih dalam proses penyusunan.
Secara terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menjelaskan, masalah perda itu sudah mendesak. Itu karena masalah Covid-19 ini sudah tidak tahu kapan akan berakhirnya sehingga memang harus ada peraturan yang jelas berbentuk perda. Berbentuk perda akan jelas karena ada partisipasi publik dalam perumusannya.
Selain itu, DKI Jakarta juga memerlukan aturan yang betul-betul memenuhi rasa keadilan masyarakat. ”Jadi, tidak bisa membuat aturan seperti di Pergub No 41/2020 itu, tidak pakai masker (denda) Rp 250.000, lalu kalau tidak pakai sampai berkali-kali bisa Rp 1 juta,” kata Trubus.
Selama ini, penanganan PSBB di DKI Jakarta hanya diatur dengan peraturan gubernur, mulai dari Pergub Nomor 33 hingga Pergub Nomor 88 Tahun 2020. Demikian juga dengan pemberian sanksi dan penegakan hukum hanya diatur di peraturan gubernur. Ia mencermati, pergub yang sudah terbit tumpang tindih dan tidak konsisten mengatur penanggulangan pandemi.
Penanganan PSBB DKI diatur dengan Pergub Nomor 33 Tahun 2020 sampai dengan Pergub Nomor 88 Tahun 2020. Pergub yang sudah terbit tumpang tindih dan tidak konsisten mengatur penanggulangan pandemi. (Trubus Rahadiansyah)
”Jadi, perlu diketahui bahwa pergub-pergub itu tidak bisa memberikan sanksi secara komprehensif. Sebab, dalam tata perundang-undangan kita yang bisa memberikan sanksi hukum adalah perppu atau perda,” jelasnya.
Adanya Pergub No 41/2020 dan Pergub No 79/2020 bisa diangkat sebagai rancangan perda. Kemudian dielaborasi dalam pembahasan di Dewan.
Trubus mengingatkan, karena situasi kedaruratan, maka di dalam perda itu mesti ada tentang bagaimana mengatur mobilitas masyarakat. ”Perda itu akan menjadi payung hukum dalam pengawasan mobilitas masyarakat karena penularan Covid-19 ini antarorang sehingga masalah mobilitas dan pengaturan dengan wilayah penyangga itu perlu. Terkait wilayah penyangga, untuk yang Pergub 88 saja wilayah penyangga tidak mau mendukung,” tuturnya.
Kemudian, perda itu akan mengatur tentang anggaran penanganan Covid-19. ”Sampai hari ini soal anggaran itu belum diaudit sampai mana, bagaimana penggunaan anggarannya,” kata Trubus.
Hal lainnya yang harus masuk dalam perda, menurut Trubus, tentang monitoring dan evaluasi. Selama ini masyarakat hanya mendapat pengumuman saja mengenai zona merah dan zona kuning. Namun, Trubus tidak melihat ada keterbukaan informasi mengenai zona-zona itu dan langkah-langkah yang mesti diambil untuk mengatasi supaya zona merah jadi zona hijau.
Seperti halnya saat Pemprov mengumumkan adanya wilayah pengendalian ketat (WPK) di tingkat RW. Trubus tidak melihat ada aturan ketat yang diikuti langkah-langkah untuk mengelola WPK itu bagaimana. ”Tidak ada. Nah, WPK itu pengaturannya seperti apa, itu harus diatur dalam perda,” jelasnya.
Sama halnya ketika terjadi penularan di pasar, di permukiman, atau di perkantoran, lanjut Trubus, langkah-langkah penanganan detail harus diatur dalam perda dan diinformasikan, apakah memerlukan lockdown atau pembatasan skala mikro atau bagaimana.
Keterbukaan informasi, kata Trubus, juga perlu. Jadi, bisa disebutkan seseorang yang tertular harus mengakui, jangan ditutup-tutupi. Demikian juga dengan Pemprov harus terbuka. ”Selama ini kita mengetahuinya data umum. Harusnya detail. ASN yang terpapar berapa, warga umum berapa, harus detail,” jelas Trubus.
Ia meyakini, dengan adanya inisiatif dari Dewan, pembahasan mengenai perda tentang Covid-19 tidak akan lama.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menilai, dengan sudah adanya inisiatif dari DPRD DKI, seharusnya Pemprov DKI Jakarta bertindak gesit. ”Materinya sudah ada, tersebar di pergub dan surat keputusan tentang penanganan Covid-19. Terkait sanksi yang berserakan dalam pergub, dijadikan satu, dikompilasi saja oleh biro hukum, dibunyikan menjadi raperda. Secara teknis biro hukum paham yang penting secara substansi,” jelasnya.
Secara teknis, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meyakini, Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta mampu merumuskan segera raperda. Tujuannya agar segera ada daya paksa lebih termasuk daya paksa ke kementerian dan lembaga, perkantoran, dan industri yang selama ini bergeming karena merasa sebagai lembaga pusat atau mendapat izin dari pusat.