Masih Ada Pegawai Pemerintah Belum Disiplin Menjalankan Protokol Kesehatan
Memang yang diajak mengobrol hanya satu hingga dua orang, tetapi kita lengah karena menganggap mereka rekan kerja yang sehat. Bisa saja mereka orang tanpa gejala.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedisiplinan menjalankan protokol kesehatan di kantor-kantor pemerintahan menjadi sorotan setelah sekian banyak pejabat dan pegawai pemerintah yang terpapar Covid-19. Selain perlu aturan ketat mengenai standar pemakaian alat pelindung diri bagi pejabat dan semua pegawai pemerintah, pengawasan dari masyarakat untuk menegur dan mengadukan aparatur sipil negara yang tidak tertib memakai masker dan menjaga jarak juga harus digiatkan.
Data perkembangan Covid-19 di Jakarta per hari Minggu (20/9/2020) menunjukkan ada 12.116 kasus aktif. Secara keseluruhan, jumlah kasus positif adalah 62.886 kasus dengan rincian 42.209 sembuh dan 1.561 orang meninggal dunia. Salah satu pejabat yang tertular Covid-19 dan masih dirawat di Rumah Sakit Pertamina ialah Asisten Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Budaya Catur Laswanto. Ia juga merupakan Ketua Tim Tanggap Covid-19 Pemerintah Provinsi Jakarta.
Catur adalah pejabat provinsi Jakarta kesebelas yang terpapar Covid-19. Selain dia, juga ada 212 karyawan Pemprov Jakarta yang sedang menjalani perawatan dan isolasi di fasilitas kesehatan karena positif mengidap Covid-19. Dari sisi korban jiwa, sudah tiga pejabat, yaitu Sekretaris Daerah Jakarta Saefullah, Camat Kelapa Gading M Harmawan, dan Lurah Meruya Selatan Ubay Hasan wafat akibat penyakit ini.
”Ada dua poin mengenai kinerja ASN (aparatur sipil negara) yang belum jelas. Pertama, untuk ASN di lingkungan pemerintahan yang pekerjaannya bisa dilaksanakan dari rumah belum ada pembagian jadwal yang jelas,” kata anggota DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia, Idris Ahmad.
Ia mengamati di lingkungan Balai Kota Jakarta sendiri, termasuk di gedung DPRD, pembagian jadwal piket untuk masuk kantor ataupun bekerja dari rumah tidak efektif. Alasannya karena para pegawai yang semestinya berada di rumah terkadang masih harus ke kantor akibat ada panggilan mendadak atau ada tugas yang hanya bisa dilakukan dari kantor karena berkas ataupun alatnya tidak bisa dibawa ke rumah. Oleh sebab itu, perlu pengelolaan jadwal kerja yang ketat dan jelas dari Badan Kepegawaian Daerah.
Poin kedua ialah untuk kinerja ASN di kecamatan dan kelurahan yang memang masih berbasis pertemuan dengan warga harus memiliki standar operasional ketat mengenai perlindungan diri. Idris menjelaskan, gubernur perlu membuat aturan semua ASN dan tenaga pembantu di kecamatan dan kelurahan wajib memakai setidaknya masker kain tiga lapis. Jika perlu ditambah perisai pelindung wajah. Benda-benda ini juga disuplai ke kelurahan dan kecamatan agar tidak terjadi penyelewengan anggaran dengan dalih membeli alat pelindung diri.
”Dari sisi warga maupun sesama ASN harus ada keberanian menegur dan melapor jika ada pegawai kelurahan dan kecamatan yang tidak tertib. Termasuk para pegawai yang langsung bersentuhan dengan warga, seperti petugas keamanan, resepsionis, dan satpol PP. Pelaporan ini semakin kuat apabila aturan pemakaian masker secara standar sudah ada,” ujarnya.
Tidak disiplin
Pantauan Kompas di kantor-kantor kelurahan dan kecamatan, pekan lalu, menunjukkan pemakaian masker di kalangan pegawai dan ASN belum sepenuhnya terjadi. Selain masih banyak yang memakai masker dari bahan scuba, pemasangannya juga belum menutup hidung dan mulut. Masih ada yang membiarkan hidung terbuka.
Di kantor Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, petugas penerima tamu malah tidak bermasker. Ketika ditegur, ia tidak merespons. Di kantor Kelurahan Pademangan Barat, Jakarta Utara, dan Kelurahan Melawai, Jakarta Selatan, pada jam istirahat makan siang masih terlihat ASN yang mengobrol sebanyak dua hingga tiga orang dalam satu kelompok. Ada yang tidak bermasker dan yang masker hanya menutupi mulut.
Padahal, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, kluster kantor merupakan penyebab penularan terbanyak saat ini. ”Memang, yang diajak mengobrol hanya satu hingga dua orang, tetapi kita lengah karena menganggap mereka rekan kerja yang sehat. Bisa saja mereka orang tanpa gejala,” tuturnya pekan lalu.
Pertemuan langsung
Idris mengatakan, perlu juga ada tes Covid-19 berkala di jajaran pemerintah, mulai dari provinsi hingga kelurahan. Metode ini memungkinkan deteksi yang cepat dan bisa segera digunakan untuk memberi tahu warga yang melakukan kontak erat dengan ASN-ASN terpapar Covid-19 agar segera memeriksakan diri ke puskesmas.
Pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya, Fadillah Putra, menjelaskan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan relasi yang berlandaskan nilai. Oleh sebab itu, tidak bisa 100 persen dilakukan secara daring. Apalagi di tataran pemerintah daerah yang berurusan dengan masyarakat akar rumput, kepercayaan politik, emosi, dan psikologis dipupuk melalui tatap muka langsung.
Apalagi, pada tingkat camat, lurah, dan bupati/wali kota kewajibannya adalah menemui rakyat untuk memastikan penerapan kebijakan tidak simpang siur di lapangan. Satu-satunya cara ialah dengan memastikan protokol kesehatan yang ketat dijalankan. Kepala daerah justru contoh praktik kedisiplinan bagi warganya.
”Perlu dikurangi perjalanan dinas yang tidak ada hubungannya dengan mengurus kesejahteraan rakyat, seperti rapat-rapat yang bisa dilakukan lewat aplikasi daring,” ujarnya.
Selain itu, Fadillah mengamati kabupaten/kota mayoritas menyisihkan setidaknya Rp 200 miliar dari pendapatan daerahnya untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Tindakan selanjutnya ialah memantau spesifikasi pemakaian uang tersebut agar tepat guna dan tepat sasaran.