Penyangkalan Warga Terjadi karena Terdesak Kebutuhan Hidup
Penyangkalan menjadi pilihan sebagian orang supaya tetap beraktivitas meski Covid-19 semakin dekat.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian orang memendam kekhawatiran tidak punya pemasukan kalau positif Covid-19. Karena alasan itu, mereka menyangkal keberadaan virus sembari menghindari tes. Padahal, mereka sudah tahu kalau ada warga di sekitar tempat tinggalnya hingga pejabat publik positif dan meninggal akibat Covid-19.
Spanduk kawasan wajib pakai masker dan cuci tangan terpampang di gang-gang serta persimpangan jalan di area Grogol Utara, Jakarta Selatan, Jumat (18/9/2020). Warna spanduk itu kuning dengan tulisan tercetak tebal.
Hasan Abadi (36) tengah mengecilkan ukuran pinggang celana seorang pelanggan. Masker menutup mulut hingga leher warga RT 008 RW 016 Grogol Utara, Kebayoran Lama, ini. ”Enggak percaya (Covid-19) karena dari dulu setiap hari ada orang meninggal. Baru sekarang ini orang meninggal dibilang Covid-19,” ucap Hasan.
Ia bertanya mengapa harus takut Covid-19? Sebab, takdir ada di tangan yang empunya kehidupan. Apalagi ada orang yang disiplin jaga jarak, kenakan masker, cuci tangan, dan di rumah saja terpapar Covid-19. Walakin, mau tidak mau dirinya harus menerapkan protokol kesehatan supaya usaha menjahit tetap berjalan.
Menurut dia, ada banyak warga di sekitar situ terpapar Covid-19. Pekan lalu, di RW 014 datang tenaga kesehatan menjemput warga untuk isolasi di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. Puskesmas juga mengadakan tes cepat dan tes usap di masjid sekitar. ”Ogah ikut, kuota terbatas,” ujarnya. Hasan merasa kondisinya sehat. Tidak demam, batuk, dan pilek.
Andi (57) mengantongi masker di kantong celana ketimbang menutupi area hidung hingga dagu. Penjual gorengan ini menyangkal keberadaan Covid-19 sehingga enggan ke puskesmas saat batuk dan pilek. ”Batuk dan pilek sudah ada dari zaman dahulu. Tetapi, sekarang harus ikut tes cepat dan tes usap. Nanti dibilang Covid-19,” kata Andi.
Ia pun mencontohkan salah satu warga Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Warga ini, menurut dia, menderita sakit jantung. Walakin petugas menyatakan positif Covid-19 ketika meninggal.
Selain itu, bapak empat anak ini tidak siap menjalani isolasi kalau positif. Isolasi mengganggu pekerjaannya. ”Nanti tidak bisa apa-apa. Tidak dapat pemasukan. Saya tidak dapat bansos,” ucapnya.
Berbeda dengan ayahnya, Indra (18) memendam waswas setiap bekerja sebagai juru parkir. Semenjak pandemi, dirinya jarang nongkrong. Paling banter minum kopi dan merokok di warung kelontong. ”Pakai masker, takut virus dan takut petugas juga,” ujar Indra.
Associate Professor dan Sosiolog Bencana di Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, dalam webinar ”Siapkah Warga DKI Menghadapi PSBB 2.0?” pada Kamis (17/9/2020) menuturkan, kemampuan warga merespons bencana, seperti pandemi, bergantung pada institusi pemerintah dan berbagai lapisan warga itu sendiri. Kolaborasi keduanya sangat krusial membentuk ketahanan sosial.
Respons warga
LaporCovid19.org dan Social Resilience Lab Singapore Nanyang Technological University Singapura menyurvei sejauh mana warga Jakarta merespons pembatasan sosial berskala besar ketat untuk menekan laju penularan. Survei pada 11-14 September ini menjaring 82.655 responden dari berbagai kelurahan.
Sulfikar memaparkan bahwa warga mendukung PSBB ketat meski ada dampak signifikan terhadap pekerjaan, mulai dari tidak ada pekerjaan hingga pemutusan hak kerja.
Dampak signifikan terhadap pekerjaan, yakni 10 persen responden kehilangan pekerjaan dan belum bekerja sampai sekarang, 7 persen banting setir dengan wirausaha setelah kehilangan pekerjaan, 7 persen pindah kerja dengan penghasilan lebih kecil atau tetap bekerja dengan pemotongan gaji, dan 18 persen sudah menganggur sebelum pandemi. Sisanya, 57 persen responden dalam kondisi ekonomi yang relatif stabil.
Lebih jauh, ada 35 persen responden yang bisa bekerja dari rumah sepenuhnya. Lainnya, 26 persen sistem campuran dengan lebih banyak bekerja dari rumah, 17 persen sesekali bekerja dari rumah bergantung pada situasi, 20 persen tidak bisa bekerja dari rumah, dan 2 persen tidak boleh bekerja dari rumah oleh manajemen. ”Pekerja harian paling tidak bisa bekerja dari rumah,” ujar Sulfikar.
Lewat survei ini pula warga menyatakan bahwa Covid-19 semakin dekat dengan lingkungan tempat tinggalnya ketimbang tiga bulan lalu. Kini, sudah ada orang dekat, keluarga, teman kerja, atau tetangga yang terpapar Covid-19.
Hasil survei serupa pada Juni-Juli lalu mencatat, 96 persen responden tidak tahu ada Covid-19 di lingkungannya. Sementara Agustus lalu, jumlahnya turun menjadi 77 persen. Survei kali ini naik tipis menjadi 82 persen responden.