Tanpa Perda PSBB, Tidak Akan Ada Penegakan Hukum Pidana di Lapangan
Bila Pemerintah Provinsi Jakarta menginginkan adanya sanksi pidana bagi para pelanggar PSBB, mereka harus membuat perda terlebih dulu sehingga polisi dan pengadilan bisa ikut serta dalam penegakan hukum.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pihak pengadilan negeri meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membuat peraturan daerah atau perda mengenai pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Tanpa perda, pelanggaran PSBB tidak bisa diproses secara hukum pidana.
”Payung hukum terendah yang bisa menjadi landasan kerja pengadilan ialah perda. Tidak bisa peraturan gubernur (pergub) ataupun peraturan kepala daerah lainnya,” kata hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haruno Patriadi, ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (17/9/2020).
Ia menjelaskan konteks kehadiran hakim, panitera, dan jaksa PN Jaksel di wilayah Jatipadang ketika satuan polisi pamong praja (satpol PP) melakukan operasi yustisi terhadap para pelanggar PSBB. Hakim hanya sebagai pendamping dalam hal menjelaskan ketentuan hukum PSBB kepada masyarakat, dalam hal ini adalah pergub yang dikeluarkan Gubernur Jakarta Anies Baswedan terkait protokol kesehatan seperti memakai masker dan menjaga jarak.
”Para hakim tidak bisa memakai toga dan melakukan sidang karena PSBB diatur pergub yang sanksinya bersifat administratif, yaitu sanksi teguran, denda, dan kerja sosial seperti menyapu jalan,” papar Haruno.
Segala penegakan hukum administratif adalah ranah satpol PP yang memang bekerja berlandaskan pergub. Oleh sebab itu, bila Pemerintah Provinsi Jakarta menginginkan adanya sanksi pidana bagi para pelanggar PSBB, mereka harus membuat perda terlebih dulu sehingga polisi dan pengadilan bisa ikut serta dalam penegakan hukum.
Perda, Haruno mengatakan, bisa dikaitkan dengan Pasal 205 Kitab Hukum Acara Pidana. Di dalamnya membahas mengenai tindak pidana ringan yang hukumannya adalah kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebesar Rp 7.500.
Sebelumnya, pakar administrasi negara Universitas Indonesia Roy Valiant Salomo menilai keputusan Pemprov Jakarta memberikan kewenangan satpol PP untuk menjemput paksa para pasien positif Covid-19 yang menolak diisolasi sebagai tindakan emosional. Ia memahami hal itu karena tuntutan pengentasan penularan Covid-19 di masyarakat, tetapi hendaknya pemerintah jangan lupa bahwa intervensi di ranah pribadi merupakan kewenangan penegak hukum positif, yaitu polisi.
”Daripada membuat keputusan yang akan menjadi bumerang, segerakan pembuatan perda karena keniscayaan di situasi pandemi,” ujarnya.
Selain itu, Pemrov Jakarta juga dituntut untuk menghadirkan data penyebaran Covid-19 yang transparan, bukan sekadar memberi angka akumulatif kasus. Kritik ini diutarakan peneliti Center for Metropolitan Studies Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang. Pencatatan kluster penularan sudah ditampilkan di laman Pemrov Jakarta, tetapi tidak disertai tanggal kejadian setiap kluster.
Hal ini mengakibatkan pemetaan pola dan kronologis penularan sukar dilakukan. Padahal, ada berbagai pihak, seperti perguruan tinggi dan lembaga penelitian, yang bisa membantu pemerintah dengan memanfaatkan keterbukaan data.