Elang dan Merpati Bantu Penanganan Covid-19 di Kota Bogor
Pembentukan tim merpati dan tim elang merupakan langkah antisipasi yang harus segera diambil karena peningkatan kasus masih terjadi di Kota Bogor. Saat ini jumlahnya mendekati 1.000 kasus positif.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
Kasus terkonfirmasi positif Kota Bogor secara akumulatif mendekati angka 1.000. Terus bertambahnya kasus positif tersebut membuat Pemerintah Kota Bogor membentuk tim merpati dan tim elang untuk penanganan pandemi, terutama terkait kepatuhan protokol kesehatan warga Kota Bogor.
Berdasarkan pembaruan data pada Selasa (15/9/2020), terjadi penambahan sebanyak 29 kasus sehingga total ada 915 kasus positif. Sementara kasus sakit atau dalam perawatan bertambah 14 orang, total 283 kasus; kasus sembuh bertambah 15 orang, total 594 kasus; dan kasus meninggal sebanyak 38 orang.
Terus meningkatnya angka kasus positif di Kota Bogor membuat pemerintah setempat membentuk tim merpati dan tim elang untuk semakin memperkuat penanganan Covid-19 pada masa pembatasan sosial berskala mikro (PSBM).
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, pembentukan tim merpati dan tim elang tersebut merupakan langkah antisipasi yang harus segera diambil karena peningkatan kasus masih terjadi di Kota Bogor.
”Selain itu, pembentukan tim juga sebagai antisipasi PSBB di Jakarta yang berpotensi terjadi pergerakan warga Ibu Kota berkunjung pada libur akhir pekan besok ke Kota Bogor,” kata Bima, Rabu (16/9/2020).
Pembentukan tim merpati dan tim elang juga merupakan respons dari hasil survei Pemerintah Kota Bogor bersama Lapor Covid-19 yang melibatkan peneliti dari Nanyang Technological University, Singapura.
Berdasarkan hasil survei kepada 21.544 responden, persepsi warga Kota Bogor terhadap Covid-19 berada di skor 3,21. Hasil ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan Jakarta yang sebesar 3,30 dan Surabaya sebesar 3,42.
Sementara untuk sumber informasi yang memiliki tingkat kepercayaan paling tinggi, warga Kota Bogor lebih memercayai dokter atau pakar kesehatan (4,01 persen). Berada di urutan kedua adalah tokoh agama (3,71 persen), sedangkan pejabat pemerintah (3,67 persen) di urutan ketiga.
Untuk indeks Covid-19, hasil riset menunjukkan, 16 persen menyatakan, Covid-19 adalah buatan manusia. Sebanyak 29 persen menyatakan, Covid-19 bukan buatan manusia, sedangkan swing voter sebanyak 54 persen. Terkait Indonesia aman dari Covid-19 karena beriklim tropis, sebanyak 50 persen menyatakan tidak aman, 20,50 persen menyatakan aman, dan 29 persen tidak tahu.
”Untuk meningkatkan pemahaman terkait bahaya Covid-19, mencegah penularan, dan cara penanganan Covid-19, ada tim merpati. Tim yang bertugas memberikan edukasi ini terdiri dari Ikatan Dokter Indoneisa (IDI), Majelis Ulama Indonesia, dan Forum Kerukunan Umat Beragama,” ujar Bima.
Adapun untuk penggunaan masker, 92,05 persen sering dan selalu menggunakan masker. Sementara untuk jaga jarak, hanya 77 persen mengatakan mematuhi aturan tersebut. Hanya 19,38 persen responden yang menyatakan tidak menjaga jarak ketika keluar rumah.
Selanjutnya sebanyak 64 persen responden menyatakan sangat kecil dan kecil kemungkinan terkena Covid-19. Ini bisa diartikan mereka merasa aman dan menganggap remeh atau enteng Covid-19.
Jika dikelompokkan berdasarkan usia, rentang usia yang menganggap remeh Covid-19 ada di rentang usia 36-45 tahun sebanyak 12,95 persen, diikuti 26-35 tahun (10,91 persen), 46-55 tahun (8,97 persen), 55 tahun (4,53 persen), dan 18-25 tahun (4,61 persen).
Bima mengatakan, karena masih ada sikap meremehkan protokol kesehatan, pihaknya membentuk tim elang. Tim yang bertugas mengawasi kepatuhan protokol kesehatan itu dipimpin oleh Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sekaligus Wakil Wali Kota Bogor, Dedie A Rachim.
”Tim elang, terdiri dari para pemuda, organisasi masyarakat, dan karang taruna, membantu satpol PP, TNI, dan polisi untuk memantau kepatuhan dan kedisiplinan terhadap protokol kesehatan. Kami namakan elang karena matanya yang sigap dan tajam sehingga memastikan tidak ada pelanggaran protokol kesehatan,” tutur Bima.
Bima melanjutkan, dua tim yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada Selasa (15/9/2020) itu sudah aktif bergerak ke lapangan. Kamil mengapresiasi inovasi dan langkah antisipasi dari Pemkot Bogor yang selalu memberi respons cepat dalam penanganan Covid-19. Salah satu adalah kebijakan Pemkot Bogor menerapkan pembatasan sosial berskala mikro komunitas.
”Kebijakan dan langkah antisipasi Pemkot Bogor menjadi contoh tidak hanya di wilayah Jawa Barat, tetapi juga secara nasional,” katanya.
Kamil menuturkan, survei Pemkot Bogor bersama NTU Singapura menunjukkan, hampir 16 persen warga ”Kota Hujan” tidak percaya Covid-19. Hal itu harus disikapi Pemkot Bogor untuk segera mengambil langkah agar persepsi bahwa Covid-19 tidak ada atau tidak akan tertular harus berubah.
”Persepsi tersebut akhirnya membuat warga tidak peduli dan remeh, protokol kesehatan pun dilanggar. Edukasi, pengawasan, dan penegakan aturan jadi penting. Hasil survei menunjukkan, tenaga kesehatan, dokter, ahli agama, dan tokoh masyarakat dan agama dipercaya dan didengar,” kata Kamil.
Bima melanjutkan, penambahan kasus positif di Kota Bogor mengakibatkan Kota Bogor masih berstatus zona merah dan terjadi peningkatan jumlah pasien di sejumlah rumah sakit. ”Tingkat keterisian rumah sakit rujukan mencapai 54 persen, masih stabil. Namun, jangan sampai 70 persen, kami tekan ini. Oleh karena itu, patuh protokol kesehatan, pengawasan, dan edukasi kami tingkatkan,” lanjutnya.
Penegakan PSBMK
Selama masa pembatasan sosial berskala mikro komunitas (PSBMK) sejak 29 Agustus hingga 13 September 2020, Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bogor menindak 718 pelanggar protokol kesehatan.
Kepala Satpol PP Kota Bogor Agustiansyah mengatakan, dari 718 pelanggar protokol kesehatan terkumpul Rp 32,8 juta hasil denda administratif. ”Jumlah pelanggar yang terjaring paling banyak adalah pelanggaran masker, sebanyak 293 pelanggar. Sementara unit usaha yang melanggar ada 14 restoran dan kafe, total akumulasi Rp 29,9 juta. Unit usaha tersebut kami segel dan kenakan sanksi denda,” kata Agustiansyah.
Namun, penindakan sanksi dan denda tersebut, lanjutnya, mendapat perlawanan dari salah pengelola tempat hiburan di kawasan Kelurahan Babakan, Bogor Tengah. Tempat tersebut nekat membuka segel yang sebelumnya dipasang petugas satpol PP.
”Kami akan menindaklanjuti dengan membawa kasus tersebut ke jalur hukum. Padahal, dalam aturan, pembukaan segel dalam bentuk apa pun berujung pada pidana,” ujarnya.
Menurut Agustiansyah, perusakan segel tertuang dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 107 Tahun 2020 tentang Ketertiban Umum dalam Masa Pembatasan Sosial. Oleh karena itu, tindakan pengelola tersebut bisa dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Ia menuturkan, pada Sabtu (12/9/2020) malam lalu, pihaknya melakukan patroli rutin jam malam. Saat melintas di wilayah Babakan, petugas menemukan sejumlah tempat usaha melanggar aturan pembatasan jam operasional. Salah satu unit usaha tersebut adalah tempat hiburan yang sudah membuka segel yang dipasang petugas satpol PP sebelumnya.
”Kafe itu terciduk masih beroperasi, padahal waktu sudah pukul 23.00 dan sudah disegel. Bahkan, saat diinspeksi, ada kegiatan live music dan sejumlah wanita pemandu lagu, dan menimbulkan keramaian. Tidak ada yang kebal hukum. Jika melanggar aturan pembatasan akan didenda atau (diberi) sanksi lebih berat karena sudah membuka segel,” katanya.